Jumat, 28 November 2008

Yang Tidak Pintar Dilarang Sekolah

By Sigit Setyawan

Ada sekolah yang mencari murid seperti mencari pegawai. Di koran, banyak lowongan kerja memberi syarat: berpengalaman kerja. Di sekolah, sekolah mencari siswa dengan syarat: harus pintar. Jadi, yang tidak pintar jangan sekolah di sini.

Sekolah tersebut masuk dalam kategori mendidik orang pintar menjadi pintar. Sekedar mengingatkan, kalau anak sudah pintar, kemungkinannya cuma dua, yaitu menjadi lebih pintar atau menjadi kurang pintar dari sebelumnya. Kaprahnya, sekolah yang menjadikan anak pintar menjadi lebih pintar seringkali membusung dada dengan mengatakan, “Inilah hasil pendidikan sekolah kami”.

Sementara itu, ada pula sekolah yang siapapun bisa masuk ke sana. Bahkan, seringkali yang masuk ke sekolah tersebut telah ditolak di semua sekolah. Jadi, memang kasarnya disebut sebagai anak yang “terbuang” karena dianggap kurang pintar untuk masuk ke sekolah “bagus”. Namun, ketika beberapa siswanya mampu merebut juara keempat atau juara harapan, tidak seorang pun terkesan. Apa sih hebatnya menjadi juara tapi harapan?

Orang lebih suka bangga pada anak yang memang layak jadi juara satu karena memang dia pintar, dibandingkan dengan anak yang sama sekali dianggap tidak layak tetapi dengan perjuangannya berhasil mendapatkan juara harapan.

Alkisah tersebutlah seorang anak yang terlahir sebagai juara, waktu batita selalu juara bayi sehat, waktu balita juara di acara tujuh belasan tingkat RT, waktu TK juara tingkat kecamatan, dan waktu SD juara cerdas cermat tingkat kabupaten. Anak ini mau disekolahkan di mana pun tetap saja juara. Benar juga, di SMP dia juara dan di SMA dia juara juga. Alhasil anak semacam ini menjadi target empuk sekolah yang ingin cari nama dengan mamakai dia sebagai “hasil dari pendidikan sekolah kami” sambil menyembunyikan siswa yang lainnya.

Mungkin ilustrasi di paragraf di atas agak berlebihan dan menyinggung perasaan, itu cuma sekedar ilustrasi, tapi bukan berarti tidak terjadi. Intinya, benarkah sekolah kita telah “mencetak” atau “melahirkan” sesuatu bagi dunia, bangsa dan negara, atau minimal bagi RT di mana dia tinggal?

Anak sekolah Indonesia bingung mau menjadi apa. Sebagian karena sekolah kita telah memberi arah bahwa kalau sekolah, kamu harus berprestasi. Dengan menuturkan terus menerus dan meng-imej-kan bahwa prestasi-lah yang mendapat penghargaan, para orangtua kelas menengah Indonesia pun kemudian menganggap bahwa itu adalah arah yang paling tepat bagi pendidikan anaknya. Jadi, anak yang tidak berprestasi merasa termarjinalkan.

Padahal, sekolah adalah untuk belajar dan asyik belajar. Sayangnya, bahkan para guru pun lupa akan hal itu sambil justru menciptakan “neraka” atau sebuah “camp” belajar bagi para anak. Ngapain kamu sekolah? Arah lain selain meraih prestasi harus juga di-imej-kan.Ada sekolah khusus untuk talented dan gifted dan sekolah semacam itu pastilah menuntut “harus pintar”, tetapi ingatlah bahwa itu bukanlah barometer pendidikan.

Anak yang agak pintar dan kurang pintar seharusnya masuk sekolah bagus agar menjadi lebih pintar. Sudah kurang pintar masuk sekolah kurang bagus, hasilnya tentu saja tidak akan sebagus yang diharapkan. Jadi, pandai-pandailah kita memilih sekolah, sebab kita sebagai orang tua tidak bisa memilih anak.

Jodoh

By Sigit Setyawan


Teman saya bilang bahwa jodoh di tangan Tuhan. Saya bilang, “Kalau begitu, nunggu aja dikasih. Kan, itu masih ditanganNya, belum di tanganmu.” Tapi teman saya tidak sabar. “Ada nggak sih REG spasi JODOH lalu besok aku ketemu sama jodohku?” Ah, naïf sekali temanku itu, menganggap bahwa jodoh bisa ditemukan lewat sekedar SMS. Selanjutnya di Kompas Komunitas...


Senin, 03 November 2008

Famili Kota Ini

Puisi Sigit Setyawan

Papa pulang membawa marah
Mama pulang membawa membawa diam
Upik diam membawa buku pelajaran
Buyung menggeleng tertawa, di telinga ada nyanyi suka-suka

Telepon bernyanyi, pembantu berlari
Nyonya, ada telepon dari bapak guru, si Upik mendapat nilai satu
Telepon bernyanyi lagi, pembantu berlari lagi
Tuan, ada telepon dari ibu guru, si Buyung berkelahi

Papa mama, tuan dan nyonya memaki-maki
Untuk apa bekerja kalau hasilnya begini
Dasar anak tak tahu diri

Esok pagi Buyung berkelahi lagi
Upik dapat nilai satu lagi

Papa pulang membawa diam
Mama pulang membawa marah
Upik menggeleng tertawa, di telinga ada nyanyi suka-suka
Buyung diam membawa buku pelajaran

Pak guru meminta papa mama menghadap pak kepala
Sopir tiba-tiba menjadi wali
Mengaku-aku menjadi famili
Soalnya setiap bulan sudah digaji

Papa pulang membawa diam
Mama pulang membawa diam
Upik diam, Buyung pun diam
Televisi tak tahu diri berbunyi
Komputer memainkan em pe tri

Sampai besok pagi,
Seperti berita di televisi,
Papa mama jadi selebriti,
Tak mampu bersama lagi,
Karena cinta tak ada lagi.

Esok pagi Buyung berkelahi lagi
Upik dapat nilai satu lagi
Siapa yang peduli?

(Jakarta, November 2008)

Kamis, 25 September 2008

Di Sydney

Puisi Sigit Setyawan

Inikah dunia barat
Ataukah dunia tenggara?

Inikah pulau
Ataukah benua?

Di sini kuterdiam di pantainya
Menikmati tubuh terbuka
Di Bondi katanya tidak boleh merekam dalam kamera
Maka kurekam saja di kepala.

Sesampainya aku di rumah putih
Aku kagum dibuatnya.

O, itulah kebanggaan dunia.

Tunggu aku sampai menyeberang jalannya,
Tombol kutekan
Menunggu lampu hijau merah menyala
Meski tak ada mobil lewat di sana.
Di tempat asalku, aku menguasai jalan raya.

Lalu sekelompok teman bercanda
Berjanji makan bersama
Di restoran
Tapi semua membayar sesuai yang dimakannya.
Di tempat asalku, akulah yang membayarinya
Jika aku mengajaknya.

Ah,
Mungkin inilah negeri multi baru.
Ada putih, ada kuning, ada hitam.

“How are you mate?”
tepuk seorang temanku di pundak.
Aku tersenyum sipu dan membungkukkan badanku.

(Jakarta Sept 2008)

Teman Sejati

Puisi Sigit Setyawan

Tahun kuhitung satu dua tiga
Kita terus bersama
Saat suka saat duka
Susah senang kita bersama

Tahun kuhitung empat dan lima
Kadang ada canda
Kadang ada tawa
Tapi ada pula derita

Tidak selalu kita rukun
Kadang kita saling menjauh
Tapi kita Satu
Berteman selalu

Hingga kita tua nanti
Meski kadang ada benci
Tapi kamu selalu di hati

Teman sejati
Tak ada ganti
(Jakarta 2007, untuk kelas 7.1)

Senin, 08 September 2008

Menanti Keadilan Pendidikan

Oleh: Sigit Setyawan

Baik anak “pintar” di sekolah “bagus” maupun anak “kurang pintar” di sekolah “kurang bagus” akan diuji dengan standar ujian yang sama, yaitu UN. Lebih menyakitkan lagi, mereka dituntut untuk sama-sama sukses.

Dari sekian banyak faktor yang dipertimbangkan oleh para orangtua ketika mendaftarkan anak ke sebuah sekolah, tentulah faktor kelulusan dalam Ujian Nasional masuk dalam pertimbangan. Bahkan, bagi kalangan ekonomi menengah ke atas, faktor tersebut seringkali menjadi begitu penting. Sementara itu, bagi masyarakat menengah bawah, sekolah di manapun asal biaya terjangkau, tidak menjadi masalah.

Faktor kesenjangan fasilitas dan kualitas pengajar di kota besar dengan sekolah di kota kecil atau pedesaan dan kesenjangan kualitas siswa yang masuk ke sekolah-sekolah tersebut seolah-olah terabaikan dalam kebijakan standarisasi pendidikan. Apa yang sebenarnya harus dikhawatirkan oleh sekolah “bagus” dan bersiswa “pintar” dalam menghadapi Ujian Nasional nantinya? Jika dibandingkan dengan sekolah yang minim fasilitas dan minim guru, kekhawatiran sekolah “bagus” dengan siswa “pintar” itu tidak terlalu berarti.

Bagi para siswa, hal itu mungkin tidak dirasakan sebagai sebuah ketidakadilan. Namun, mereka akan tiba-tiba saja merasa terpukul ketika di akhir masa sekolah nanti mereka dinyatakan tidak lulus. Bagi banyak siswa di mana fasilitas merupakan kemewahan dan guru kompeten merupakan impian, target kelulusan yang ditetapkan merupakan sebuah beban yang begitu berat.

Sementara itu, target kelulusan dikejar dengan begitu dinamis di kota besar. Bukan hanya itu, di kota besar, tuntutan persaingan global dipersiapkan dengan cukup serius oleh para orangtua. Sepulang sekolah, anak diharuskan oleh orangtua mereka untuk les ini dan itu. Bagi kalangan ekonomi menengah atas, berbagai les keterampilan dan bakat disediakan begitu lengkapnya. Demikian pula les pribadi pelajaran sekolah, seperti Matematika dan ilmu pasti pun sudah sangat lazim diadakan di rumah. Lembaga-lembaga bimbingan belajar tidak pernah sepi siswa, bahkan terus tumbuh.

Namun sebaliknya, gegap-gempita dan dinamika itu begitu berbeda dengan apa yang terjadi di kota kecil atau di desa. Les mata pelajaran yang menjadi “gizi” tambahan siswa di kota besar tidak dapat mereka nikmati.

Meskipun perbedaan di atas begitu nyata, tetap saja standar mengenai kelulusan dan ujian tetaplah sama. Dengan demikian, kadangkala ketidakpercayaan diri siswa atau sekolah, termasuk para gurunya, mejadi begitu rendah ketika Ujian Nasional dilaksanakan. Hal itu memicu berbagai kecurangan demi untuk “menyelamatkan wajah” sekolah atau nasib para siswanya.

Ketidakadilan sistem terus berlanjut masuk ke dalam sekolah. Ketika bidang studi tertentu dilombakan di tingkat nasional dalam bentuk kompetisi atau olimpiade, masalah menjadi lebih rumit bagi para guru dan siswa. Siswa yang ikut kompetisi akan meninggalkan begitu banyak mata pelajaran di sekolahnya selama banyak hari dalam masa karantina. Berdasarkan apa siswa tersebut akan dinilai nantinya, sedangkan dia tidak pernah berada di kelas bersama teman-temannya?

Tentu saja sekolah akan mengambil berbagai cara agar terlihat adil. Akan tetapi, bagi siapakah keadilan itu? Dalam pembagian rapor nanti, siswa yang ikut kompetisi itu tiba-tiba mendapat nilai sama atau mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang bekerja keras dan berproses bersama guru di kelasnya. Bahwa hal itu karena siswa telah mengharumkan nama sekolah, “jasa” tersebut sesungguhnya adalah untuk sekolah dan diri siswa yang menang itu, tetapi belum tentu bagi teman-teman yang berjuang keras di kelas. Kompetisi yang bertujuan baik dan menghasilkan hal yang baik pun kadang-kadang memiliki ekses yang tidak diinginkan seperti itu.

Sayangnya, faktor prestasi dalam kompetisi juga menjadi faktor penting pula bagi orangtua untuk memasukkan anak mereka ke sebuah sekolah. Sekolah yang bagus adalah sekolah yang banyak prestasinya. Itu berarti, seringkali tidak ada tempat bagi siswa dengan kemampuan rata-rata. Perjalanan panjang pendidikan generasi muda Indonesia terasa begitu berat. Siswa dengan kemampuan rata-rata, tingkat ekonomi yang rata-rata bahkan miskin, dan perjuangan sekolah-sekolah di desa dan kota kecil yang serba terbatas seperti sebuah cerita yang nyaris tidak terdengar. Kita menantikan sebuah sistem pendidikan yang lebih adil bagi seluruh siswa Indonesia, bukan hanya bagi mereka yang pintar atau yang kebetulan dilahirkan di kalangan berada.

Selasa, 29 Juli 2008

Konferensi Guru Bahasa Indonesia New South Wales di Bali

Sigit Setyawan
(dan Diedit oleh Bu Ida Harsojo)

The MLTA (Modern Language Teachers' Association) of NSW (New South Wales) bertajuk ‘Intercultural Immersion’ Conference yang diadakan di Ubud, Bali pada tanggal 11- 17 Juli 2008 berlangsung dengan sukses sekali. Konferensi ini dihadiri oleh 20 orang delegasi yang terbang dari Darwin, Canberra, Jakarta, Sydney dan Brisbane. Panitia konferensi adalah Ibu Lee Gilliland dari Macksville HS dan Ibu Melissa Gould Drakeley dari Macarthur Anglican School dan sebagai Presiden dari MLTA NSW.

The conference was officially opened by Mr Anwar Raudin, the Minister of Counsellor and Information from The Embassy of RI, Canberra. He really supported this event and stated that the Embassy of RI will give the on-going support for the Indonesian teachers in Australia.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi pertama ‘Intercultural Language Learning’, oleh Ibu Melissa Gould-Drakeley. Bu Melissa menjelaskan bahwa untuk dapat menjadi intercultural, seseorang harus melakukan intracultural terlebih dahulu. Intracultural yaitu memahami budayanya sendiri. Begitu menariknya sesi tersebut, Pak Anwar memutuskan untuk mengikuti konferensi sepanjang hari itu dan keesokan harinya.

Cultural Baggage in a word is very interesting to discuss. Ibu Ida Harsojo needed quite a long time in her session “Belajar Budaya Lewat Kata” only to talk about one word arisan. This word is so dense in Indonesian cultural aspect that it does not exist in English. Arisan can be categorised as event, verb, noun, or even an adjective.

Sesi menarik lainnya dipresentasikan oleh Ibu Nicola Barkley dari Canberra tentang ‘Berjalan dengan ringan di SD St Francis os Assisi’. Bu Nicola bercerita bagaimana siswa belajar bahasa dan menjaga lingkungan secara bersamaan dan menggunakan Bahasa Indonesia seperti ‘Jagalah Kebersihan’ di sekolahnya. Sementara itu, Bu Ayu dari IALF, Denpasar mempresentasikan program club Bahasa Inggris dan program radio ‘Kang Guru’ (Brother Teacher). Menurut Bu Ayu, club di sekolah-sekolah berusaha untuk menghubungkan antara siswa di Indonesia dan Australia melalui surat. Jadi, siswa di Australia bisa mengirimkan surat langsung ke siswa di Indonesia dan bertanya tentang budaya dan topik menarik antara Indonesia dan Australia.

In the Conference, delegates also did some fantastic workshops. Workshop Cartooning with Pak Bundhowi was brilliant. He taught the delegates how to draw cartoon. To start with, some delegates were very reluctant and they did not feel confident at all. They thought they could not draw. But with his magical techniques, Pak Bundhowi made them practise and draw cartoons very easily while counting one, two, one two, three four... Abrakadabra, the cartoon pictures appeared beautifully on their paper. It was very useful to teach Indonesian in the classroom.

Seperti tema ‘Intercultural Immersion’, workshop lain yang menarik adalah Tari Kecak, kite making, memasak (membuat kue kelepon dan sate Bali yang enak), membuat sesaji, dan ketupat. Mungkin tidak banyak yang tahu kalau setelah menonton Tari Kecak di Puri Ubud, Pak Jes dari sekolah IPEKA Jakarta menari kecak versi Pak Jes di depan penari kecak yang disambut tepuk tangan dan tawa para penari. Sehari sebelumnya Pak Jes ikut latihan Tari Kecak di Tampaksiring.


Not only talking about culture, Bu Lee from Macksville HS shared her experiences and ideas in ‘Fun ways to motivate students in the calssroom’ on how to make teaching and learning Indonesian attractive in class. Moreover, while visiting IALF Denpasar, the delegates got a lot of ideas to teach Indonesian through games and other fun ways.

Apart from excellent program, the delegates immersed in rich cultural experiences, such as watching Ladies’ Kecak Dance, Barong Dance and Wayang Kulit Performance. We were so lucky that we had the golden opportunity to attend the biggest event in Bali since 1979, Pelebon ( Upacara Ngaben) or royal cremation ceremony of the King of Ubud (Tjokorda Gede Agung Suyasa) and Tjokorda Raka Kerthyasa. Both were public figure. According to www.kompas.co.id, this Upacara Ngaben was hosted by 68 banjar and attended by more than 300.000 people. On that occasion, some delegates looked beautiful like the princesses of Bali. Bu Tini helped sewing tailor made Kebayas for most of us.

In welcome dinner on Friday night, the delegates were just introducing themselves, however, in farewell dinner the delegates were reluctant to depart. Apart from gaining knowledge and skills, delegates brought home beautiful memories of Pulau Dewata and new friends and colleagues from Indonesia and Australia.

Senin, 23 Juni 2008

Dari Indonenglish sampai ke Gaulnesia

Perjalanan ke Pondok Indah Mal membuat kami lelah. Macet luar biasa hampir di semua traffic light. Sebenarnya, kemacetan itu tidak terlalu parah jika saja orang tidak seenaknya masuk ke jalur bus way. Untunglah ada handphone, sehingga kita bisa SMS dan main game. Temanku lebih beruntung karena dia membawa laptop, sehingga bisa surfing internet. Saat itulah aku teringat kalau aku harus ke Bank BCA (BCA = Bank Central Asia).

Paragraf di atas mungkin lebih “biasa” dibandingkan dengan Bahasa Indonesia berikut ini:

Perjalanan ke Mal Pondok Indah membuat kami lelah. Kemacetan yang luar biasa terjadi hampir di semua perempatan di mana ada lampu pengatur lalu lintas. Sebenarnya, kemacetan itu tidak terlalu parah, jika orang-orang tidak seenaknya menggunakan jalur bis. Untunglah ada telepon genggam, sehingga kita bisa mengirimkan pesan singkat atau memainkan permainan di dalam telepon genggam. Temanku lebih beruntung karena dia membawa laptop, sehingga bisa menjelajahi internet. Saat itulah aku teringat kalau aku harus ke BCA.

Tidak ada yang salah dengan kedua paragraf tersebut. Dalam percakapan sehari-hari kita telah terbiasa menggunakan dan membentuk kata sesuai keinginan kita.

Bagaimana dengan paragraf berikut ini?

Jalan ke PI Mal bikin gue capek. Macetnya tuh amit-amit, di semua traffic light bok! Sebenernya sih, macetnya tuh gak bakal parah-parah amat kalo orang gak maen srobot tuh jalur busway. But lucky deh, gue ada hape, jadi gue bisa smsan dan ngegame. Sohib gue more lucky tuh, soalnya dia bawa laptop. Dia bisa internetan segala. Nah, saat itulah gue inget kalau gue musti ke BCA.

Bagi anak muda, paragraf paling enak dibaca mungkin adalah paragraf ketiga. Bahasa gaul dicampur dengan sedikit Bahasa Indonesia dan Inggris, jadilah Gaulnesia.

Berabad-abad yang lalu, bahasa Melayu telah menjadi “lingua franca” di Indonesia. Bahasa Melayu pada waktu itu tidaklah sekaya Bahasa Indonesia sekarang. Sebagai tonggaknya, setelah Sumpah Pemuda 1908, Bahasa Indonesia membentuk dirinya sebagai sebuah bahasa yang memiliki kaidah dan perkembangan pesat seperti sekarang ini. Demikian juga Bahasa Indonesia 5 sampai 10 tahun mendatang, pastilah akan lebih kaya dalam hal kosa kata dan ekspresi budaya.

Bagi pengguna Bahasa Indonesia, mungkin fenomena tiga paragraf di atas tidak terlalu dipikirkan. Pakai saja kenapa sih? Apa salahnya? Namun, bagi pengajar Bahasa Indonesia, fenomena di atas cukup memusingkan. Di sanalah awal munculnya inkonsistensi kaidah kebahasaan. Ketika siswa diminta membuat pidato dengan gaya bahasa formal, mereka akan kesulitan.

Lebih pusing lagi: pengajar Bahasa Indonesia untuk penutur asing. Nah, terbayangkah bagaimana mengajarkan bahasa yang masih terus tumbuh?

Selasa, 10 Juni 2008

Dicari: Cewek Bohai!

Survey bahasa gaul Juni 2008

“Kalo lu nyari cewek bohai, bisa-bisa lu dimarahin bonyok!”

Kalimat di atas tidak muncul di tahun 90-an, tapi hanya muncul dewasa ini. Ada beberapa kata gaul yang merupakan singkatan, misalnya bonyok (orangtua) adalah singkatan dari bokap (ayah) dan nyokap (ibu). Pemakaian kata “bonyok” rupanya lebih populer daripada “ortu”. Kata “bohai” atau juga ditulis “bohay” merupakan singkatan dari “bodi aduhai” yang menggantikan kata “seksi”.

Saya melakukan survey kepada murid saya mengenai bahasa gaul ini karena penasaran dan karena ada banyak kata yang saya tidak tahu.

Metodenya :
1. Siswa menulis secara spontan kata gaul yang mereka ketahui dalam waktu 5 menit;
2. Setiap kata gaul yang ditulis disertai juga dengan padanan kata dalam bahasa Indonesia baku menurut pemahaman mereka sendiri;
3. Jumlah responden: 63 siswa kelas 12 di IPEKA INTERNATIONAL, Jakarta Barat pada 6 Juni 2008.

Berikut ini adalah daftar kata yang muncul berdasarkan frekuensi kemunculannya (paling populer di kalangan siswa kelas 12 IPEKA INTERNATIONAL, Jakarta.

Bonyok (bokap nyokap) = orangtua, nyokap = ibu, bokap =ayah, camen (cacat mental) = aneh, gokil = gila/nekat, lu/loe = kamu, gue/gua = saya, bete = bosan, jayus = tidak lucu, cupu = payah/lugu, bohay/bohai (bodi aduhai) = seksi, boker = buang air besar, golo = gila/konyol/gigolo, gw = saya, dodol = bodoh/kurang pintar, gahar = perkasa/kuat, jomblo = tidak punya pacar, najis = jijik, nyolot = menyebalkan, bokep = porno.

Percakapan antara dua cewek:
“Lu dah punya bokin blum?”
“Boro-boro, gebetan aja gw blum ada.”
“Ada mongki tajir abis, lu mau gak?”
“Boleh tuh. Nggak nyolot kan orangnya?”
“Ngga banget. Tapi dia gokil abis.”
“Mau, mau...”

Untuk Anda yang tertarik dengan hasil survey saya, kirim e-mail ke s.setyawan@gmail.com saya berikan hasil survey lengkap dengan arti dan frekuensi kemunculannya.

Salam Gaul Bok!

Sabtu, 24 Mei 2008

Berbahasa Adalah Berbudaya dan Berpikir

Sigit Setyawan

Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global akan menciptakan suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jaringan komunikasi internasional yang begitu luas, dengan batas-batas yang tidak begitu jelas (Abdullah, 166). Kalimat itu telah menyeret saya ke dalam pikiran tatanan global yang dimaksud sebagai globalisasi bahasa. Izinkan saya menyorot dua fenomena umum yang sering kita lihat. Pertama, penggunaan bahasa Inggris yang terus meluas dan kedua, memudarnya identitas budaya dalam diri anak muda.

Fenomena yang berkembang adalah bahwa orang yang dapat memakai bahasa Inggris dengan sangat lancar atau cas-cis-cus, akan dianggap sebagai orang hebat. Pengguna bahasa Indonesia, meskipun dengan gagasan yang lebih cemerlang, kadang kala dianggap lebih inferior atau dipandang rendah. Hal itu seakan-akan merupakan sebuah proses pembangunan identitas budaya “baru”. Sama seperti ketika pembantu rumah tangga pulang kampung saat lebaran dan menggunakan bahasa gaul Jakarta, seperti “ngapain”, “elu”, “gue”, “nggak keren tuh”, status seorang dianggap akan lebih tinggi daripada menggunakan bahasa daerah karena bahasa Jakarta dianggap lebih “hebat”, demikian juga sekarang orang akan “dinilai tinggi” ketika mampu mempresentasikan dirinya dengan cas cis cus bahasa Inggris. Dengan demikian, perlu kita tanyakan dalam diri kita, bukankah itu sebuah awal bagi tercerabutnya seseorang dari komunitas budayanya?

Bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan dan transfer nilai, tetapi bahasa adalah pembangun nilai-nilai, makna dan pengetahuan tersebut (Barker, 69). Itulah mengapa bagi bapak Semiotika, Saussure, untuk memahami kebudayaan berarti harus mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis melalui pemakaian bahasa. Dari pemahaman itulah kita tahu bagaimana sulitnya menerjemahkan suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain berdasarkan maknanya karena setiap kata mengandung muatan kebudayaan yang begitu dalam. Itulah juga mengapa kita sering menemukan pemakaian bahasa Inggris di Indonesia lebih sering mencomot kata dan menempatkannya dalam alur pikiran bahasa Indonesia. Mengapa? Karena bahasa adalah makna dan pengetahuan, sebuah sistem berpikir.

Hal itu juga disinggung oleh Sugiharto (hlm.95) ketika membahas pendapat Rortry. Bahasa adalah apa yang biasa kita sebut “pikiran” dan tak ada cara lain untuk berpikir tentang kenyataan, selain lewat bahasa. Jadi, berbahasa adalah juga kegiatan berbudaya. Berbahasa bukan hanya sekedar ber-gaya, tetapi juga mengekspresikan diri dalam hidup ini.

Identitas budaya seorang anak memudar ketika seorang orangtua memutuskan untuk menggantikan bahasa ibu anaknya dan menggantinya dengan bahasa asing, bahkan sejak mereka belajar berbicara. Apalagi jika sang orangtua tidak pula fasih berbicara bahasa asing tersebut, gagap budaya akan dirasakan si anak ketika beranjak dewasa. Meskipun saya belum membaca riset tentang hal itu, saya mengamati fenomenanya. Fenomena lain adalah lebih sukanya anak muda berbahasa asing daripada bahasa ibu. Ini adalah concern saya pula.

Dalam hal meresponi perkembangan globalisasi, pertahanan kebudayaan akan menjadi semakin lemah. Bukankah peradaban akan runtuh bila gagal memunculkan kreativitas dalam menghadapi tantangan? (lih. Putranto, dalam Sutrisno: 71). Oleh karena itu, identitas budaya yang kuat justru dibutuhkan di tengah-tengah globalisasi informasi ini karena batas-batas budaya itu memudar dan orang yang tidak memiliki akar akan termakan oleh arus budaya yang menyeretnya.

Oleh karena itu, menurut hemat saya, generasi muda sekarang perlu menempatkan dirinya dalam posisi budayanya masing-masing. Dengan budayanya, kelokalannya, komunitasnya, ke-nasional-annya, dan keseluruhan hidupnya di sini dan kini, akan membangun sebuah dasar yang teguh baginya kelak ketika bergaul dengan orang lain dari seluruh dunia.

Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik, diterjemahkan oleh Nurhadi, cetakan pertama. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Kanisius: Yogyakarta.
Sugiharto, I Bambang.1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Kanisius: Yogyakarta.

Kamis, 22 Mei 2008

Pendidikan untuk Kehidupan

Sigit Setyawan

Hirsch (Cultural Literacy, 1989:110) menulis bahwa sekolah adalah satu-satunya institusi paling penting untuk melatih dan menyiapkan anak-anak untuk berperan lebih luas dalam kehidupan nasional. Sayangnya, pendidikan kita masih jauh dari apa yang dikatakan Hirsch. Kita masih berkutat pada masalah administrasi, sertifikasi, dan hal-hal legal lain di atas kertas.

Peningkatan kualitas pendidikan kita dinilai dari angka-angka APBN sampai dengan angka-angka kelulusan. Praktik-praktik jalan pintas, dari bimbingan belajar agar sukses UN sampai dengan hal yang negatif seperti berbuat curang, tidak ada habisnya dilakukan oleh siswa. Sementara itu, kasus pemalsuan data sertifikasi oleh para guru, sampai pembocoran soal ujian, berulang kali kita baca di media massa. Kesemuanya itu merupakan sebagian dari banyaknya persoalan pendidikan.

Kotornya jalanan karena orang seenaknya membuang sampah, aksi vandalisme, semrawutnya orang berlalu-lintas, dan budaya suap untuk membuat KTP atau SIM seperti tidak ada kaitannya sama sekali dengan kurikulum atau sistem pendidikan kita. Maka, untuk meningkatkan mutu pendidikan, jalan pintasnya dikira semudah meningkatkan nilai kelulusan atau anggaran APBN. Seakan-akan, pendidikan di dalam kelas terpisah sama sekali dari realita kehidupan di jalanan. Kita berhenti pada “tahu” saja, bukan pada tahap aplikasi dan manivestasi pengetahuan.

Agaknya apa yang kita butuhkan sekarang ini mirip dengan apa yang dikemukakan Hirsch. Hirsch (hlm.126) menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah pendidikan untuk perubahan, bukan untuk menghasilkan kemampuan-kemampuan untuk bekerja secara statis semata-mata. Agaknya tidak ada pilihan lain, untuk meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia, mau tidak mau, pendidikan kita harus menyentuh kebutuhan mendasar kehidupan kita sebagai Indonesia yang multikultur dan kompleks ini. Salah satu caranya adalah dengan masuknya kurikulum yang relevan dengan kehidupan itu sendiri agar terjadi perubahan nyata dalam hidup sehari-hari.

Sekolah sudah seharusnya menyiapkan siswa-siswinya untuk hidup bermasyarakat, mengenal kebudayaan nasional, hidup berlalu-lintas dan menjaga lingkungan hidupnya. Hal itu telah seharusnya diatur juga oleh negara. Jadi, selain kesejahteraan guru, kualitas pendidikan itu semestinya juga dilihat dari outcomes yang dihasilkan, yaitu bagaimana generasi muda kita itu dapat hidup bermartabat dalam bermasyarakat.

Namun, masuknya peran negara dalam mengatur masyarakatnya melalui sekolah semacam itu dapat diartikan secara salah sebagai sebuah “instruksi”. Kita masih ingat semasa Orde Baru, kesan instruksi, keseragaman, indoktrinasi, atau apapun istilahnya, ditengarai muncul dalam bentuknya yang sistematis dalam pelajaran moral di sekolah dan penataran-penataran di perguruan tinggi waktu itu.

Bukan hanya di Indonesia, hal serupa terjadi di Italia era 20-an, terekam dari tulisan-tulisan Gramsci (1971) bahwa pendidikan pada waktu itu bukanlah “education” melainkan “instruction”. Sekolah kemudian menjadi alat politik untuk melatih masyarakat tertentu sesuai dengan kepentingan sekelompok orang atau negara.

Itulah mengapa, setelah reformasi terjadi di Indonesia, segala hal yang berbau pelajaran moral dan penataran dari pemerintah untuk dilakukan di sekolah atau perguruan tinggi, dengan serta merta ditolak oleh institusi pendidikan. Terkesan, dunia pendidikan trauma atau anti terhadap peran negara dalam penentuan substansinya atau kurikulumnya karena mungkin pada waktu itu kesan indoktrinasi dan “instruksi” itu begitu kuatnya. Selain itu, mungkin juga karena sangat jauh bedanya antara apa yang diajarkan di kelas dengan yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah garis tegas antara mengajarkan nilai-nilai berkehidupan sosial dengan memaksakan kepentingan politik praktis.

Pada kenyataannya, sekarang ini hidup kita mengalami banyak tantangan. Tantangan global yang paling nyata adalah bagaimana kita bisa bersaing dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura atau negara Asia kuat seperti China dan India. Sementara itu, tantangan dari dalam diri kita sendiri dalam berkehidupan sehari-hari perlu juga mendapat perhatian, seperti bagaimana mengelola lingkungan hidup kita, memilah sampah sampai menjaga hutan, mempertahankan identitas kebudayaan kita, mengatur kota kita, dan lain sebagainya.

Kualitas pendidikan jangan lagi dilihat dari angka-angka tinggi atau prestasi kompetisi saja. Hal itu hanya dicapai oleh sedikit siswa dari antara jutaan siswa. Kebutuhan kita adalah memberdayakan generasi muda kita pada umumnya, sehingga tidak ada lagi cerita tentang siswa yang belajar Bahasa Inggris selama enam tahun, yaitu sejak kelas satu SMP sampai tiga SMA, tetapi di perguruan tinggi tidak mampu lancar berbicara Bahasa Inggris, apalagi menulis esai dalam Bahasa Inggris.

Sudah saatnya ketika kita membicarakan soal kualitas pendidikan, kita memikirkan mengenai bagaimanakah sekolah berfungsi menyiapkan generasi muda itu untuk hidup di tengah masyarakat secara nyata. Selayaknya pelajaran di kelas mampu membawa perubahan di tengah-tengah masyarakat.

Daftar Pustaka
Gramsci, Antonio. 1971. Selection From the Prison Notebooks. Translated by Quintin Hoare and Geoffrey Smith, first edition. International Publishers: New York.
Hirsch, E.D. 1989. Cultural Literacy. Batam Books: Moorebank.

Selasa, 13 Mei 2008

Mawar Layu

Cerpen Sigit Setyawan

Bunga mawar itu tak lagi merah. Ia telah layu. Telah kusimpan selama tiga tahun, empat belas Februari tiga tahun lalu. Bukan keputusannya untuk menjadi layu. Alam telah menentukan begitu. Dan aku tahu, sebenarnya ia tak ingin layu.

“Sayang, aku mencintaimu,” kata suamiku.
Siapa tidak bahagia jika suami mengatakan kalimat cinta di ulang tahun pernikahan kesepuluh?
“Jadi kita ke Bali?” tanyaku.

Suamiku tidak menjawab, ia memelukku, menitikkan air mata secara diam-diam. Air mata itu mengalir di pipinya, sebagian berhenti di pundakku. Perasaanku berkata, ia ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Setelah hatinya teguh, ia berkata, “Apakah kamu marah kalau kita batal ke Bali?”
“Tidak, Say. Ada sesuatu?”
“Aku harus ke Jogja.”
“Di ulang tahun pernikahan kita?”
Suamiku menarik nafas panjang, itu yang dilakukannya sebagai kebiasaan kalau dia takut, tersudut, ada hal yang tidak diharapkan terjadi dan kalau hal-hal buruk menimpanya. Kali ini aku menafsirkannya sebagai hal yang tidak dia harapkan. Jadi, aku maklum.
“Kamu boleh ikut kalau kamu mau,” katanya sambil menatapku, lalu dia menatap mawar layu di tembok itu.

Aku mengikuti tatapan matanya, kemudian aku berkata kepadanya, “Aku ikut.”
Ia menarik nafas panjangnya lagi.
“Tapi Say, tidak akan ada yang akan menemanimu.”
“Nggak apa-apa. Setidaknya aku bisa menemanimu waktu malam.”
Lagi-lagi dia menarik nafas panjang . Akhirnya dia mengiyakan aku untuk ikut.

***
Hari pertama di Jogja aku minta diantar ke Malioboro.
“Aku drop kamu, lalu aku rapat, oke?”
“Oke.”
“Apa perlu dijemput?”
“No. Nggak usah,” kataku.

Dia menurunkanku di Malioboro, mobil langsung meninggalkanku. Ketika itulah kusadari bahwa aku tidak membawa uang sepeserpun. Dompetku tertinggal di hotel. Aku menyesal mengapa tidak menginap di hotel sekitar Malioboro saja, sehingga kalau hal ini terjadi, aku tidak perlu repot.

Jadi aku harus kembali ke hotel sekarang juga. Sebuah taksi yang kebetulan lewat, kuhentikan, ia mengantarku hingga hotel. Di kamar hotel aku terkejut melihat kamar sedikit berantakan. Cleaning service belum membersihkan kamar ini, mungkin karena tanda di depan kamar lupa kami cabut. Hingga saat ini masih do not disturb.
Agaknya suamiku juga melupakan sesuatu setelah mengantarku tadi. Ah, benarkah kami sama-sama meninggalkan sesuatu? Aku tersenyum sendiri, dasar jodoh, agaknya kami mengalami hal yang sama.

Aku segera menuju taksi yang menungguku ketika aku melihat sekelebat bayangan suamiku menyeberangi jalan, ia sedang menuju sebuah Rumah Sakit di depan hotel.
Ketika yakin bahwa itu suamiku, aku meminta sopir berhenti dan kubayar dia. Kutunda keinginan belanjaku dan memilih untuk menuruti naluri wanitaku.

Aku mengikutinya dari jauh. Kulihat ada seorang ibu yang menyalaminya sambil mengusap air mata dan memeluk suamiku. Aku tidak mengenalnya dan belum pernah melihatnya. Mengapa dia memeluk suamiku? Siapa dia?

Semakin penasaran, aku mengikutinya. Mereka berbelok ke bagian inap ibu dan anak. Ada sesuatu menyusup ke dalam hatiku. Bau minyak telon, mengingatkanku pada bau bayi. Tujuh tahun pernikahan tanpa kehadiran seorang anak membuat bau itu menusuk-nusuk perasaanku. Tapi, juga membuai khayalan akan kehadiran seorang anak. Itu yang selalu kubayangkan, kehadiran seorang darah daging kami sendiri untuk memateraikan cinta kami.

Aku teringat ketika suamiku menguatkanku waktu itu, agar aku tidak kecewa dan marah dengan Tuhanku. Suami istri sudahlah sempurna, Tuhan membentuk keluarga Adam dan Eve. Anak adalah tambahan. Aku mengangguk, tapi hatiku menangisinya.

Kini di lorong rumah sakit ini, aku diingatkan pada masa-masa penantian dan keguguran kandungan beberapa tahun lalu. Menyakitkan, tapi menjadi tonggak kekuatan cinta kami. Suamiku sangat setia menemaniku. Aku keguguran di hari ulang tahun pernikahan kami, empat belas Februari. Waktu itulah dia memberikan mawar merah itu.

Aku tidak ingin kehilangan jejak suamiku. Mataku mengawasinya dengan seksama. Di ujung lorong sana, ada seorang pria yang menyalaminya dan memeluknya. Tapi, kali ini lelaki itu tertawa bahagia.
Aku semakin penasaran. Lalu aku beranikan diri untuk mendekati kamar itu.
“Cantik sekali, seperti ibunya,” terdengar suara lelaki dari dalam.
“Ya,” suara suamiku terdengar.

Mengapa suamiku tidak menghubungiku kalau ada temannya melahirkan? Kalau toh berbelanjanya nanti sore, aku tidak akan keberatan. Bahkan aku mau memilihkan kado untuknya. Atau, setidaknya aku masuk dalam lingkaran teman-teman suamiku.
Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Bagaimana jika suamiku tahu aku ada di sini?

Ketika itulah sapaan seseorang tiba-tiba mengejutkanku.
“Chaterine? Kamu di sini?”
“Bobby?” melihat kehadiran sahabat suamiku di situ, sungguh membuatku merasa gundah.
“Suamimu sudah bercerita tentang apa yang terjadi?”
“Bercerita apa?” kukira ekspresi mukaku tidak dapat menyembunyikan ketidaktahuanku.
“Dia tidak bercerita?”
Aku menggeleng.
“Bahkan dia tidak tahu kalau aku ada di sini,” kataku setengah berbisik, “Aku harus pergi.”
Aku melangkahkan kakiku diiringi pandangan mata Bobby. Tapi, rupanya Bobby segera masuk ke ruangan dan memberi tahu suamiku, karena itu aku mendengar ada suara memanggil namaku.

“Chaterine!” teriak suamiku.
Aku menghentikan langkahku. Suamiku menuju ke arahku dan aku bingung bagaimana harus bersikap.
Aku membalikkan badan dan berkata, “Aku ketinggalan dompetku. Jadi, aku melihatmu...” tapi belum selesai kalimatku itu, dia telah berada di depanku dan tiba-tiba memelukku. Lagi-lagi air matanya meleleh dalam diam. Air mata itu untuk dirinya sendiri, aku merasakan sebagian tetesannya membasahi pundakku.

“Aku ingin mengatakan sesuatu,” katanya.
“Katakan, Say.”
Tangannya menggandeng tanganku. Dingin dan basah.
Taman dan bunga-bunga, bau bayi, suara dentingan mainan anak-anak, dan air mancur di taman menjadi saksiku.

“Sembilan bulan lalu waktu aku ke Eropa, aku melakukan kesalahan,” kata suamiku memulai pembicaraan, “Aku melakukan kesalahan yang tidak seharusnya dilakukan oleh lelaki manapun, termasuk diriku. Seharusnya aku tidak boleh pergi bersama sekretarisku. Seharusnya aku pergi bersamamu,” dia menarik nafas panjangnya.
Sekarang aku tahu, nafas panjang itu adalah nafas beban. Beban berat yang selama ini tersembunyi di balik air matanya.
“Aku hanya melakukannya sekali saja. Tapi, itu kesalahan. Aku tahu, itu salahku.”

Jadi, selama ini dia menarik nafas panjangnya dan menyimpan air matanya. Dan air mata itu adalah karena ini. Ia telah menghamili seseorang?
“Jadi, kamu ke Jogja untuk melihat anakmu,” kataku lirih menahan gejolak perasaanku.
Dia mengangguk.

Aku terdiam. Air mataku meleleh, seperti lilin meleleh karena api. Tangannya menggenggam tanganku, tapi ingin rasanya kucampakkan.
Pria laknat. Teganya kamu mengkhianatiku, tidur dengan sekretarismu. Sekali katamu? Tidak mungkin. Tidak mungkin kamu melakukannya hanya sekali, kamu di sana selama lima belas hari.
Aku ingin mencampakkannya, membuangnya, menguburnya hidup-hidup, menginjaknya.

“Aku tahu saat ini akan terjadi. Aku telah merasa terhukum beberapa bulan ini. Aku rela kaucerai, tapi aku mencintaimu. Aku ingin bersamamu hingga kita tua. Itu sebuah kecelakaan yang tidak kuharapkan.”

Kecelakaan? Pria gombal. Semua pria di seluruh dunia ini gombal.
Tiba-tiba saja semua bau itu, semua suara itu, dan semua bunga yang kulihat membuatku merasa muak. Dunia ini telah memusuhiku.
Suamiku menatapku. Kini air matanya dibagikan juga untukku. Dia akan memelukku, tapi aku menampiknya.

“Aku pulang,” kataku.

***

Sesampainya di Jakarta, mawar layu itu kutatap begitu lama. Dia menjadi saksi dan bukti cinta kami. Perasaan hatiku mulai tenang dan berubah. Bagaimana kalau perempuan itu merayunya. Mungkin suamiku benar, perempuan itu merayu dan mereka melakukan sekali saja lalu hamil? Bagaimana kalau perempuan itu memang sengaja menjebak suamiku? Bukankah dia tampan, kaya, dan berkedudukan? Bukankah hatinya begitu lembut dan baik? Ya, perempuan itu telah merebut suamiku dengan cara memberinya anak.

Aku tidak boleh kalah. Aku ingin menjadikan anak itu sebagai anakku. Akan kurebut dia dari tangan ibunya. Aku membulatkan tekad. Mereka berdua harus menjadi milikku, akan kucampakkan perempuan itu.

Jadi, kuhubungi segera suamiku, “Halo, Say. Aku ingin bicara,” kataku di telepon, “Kalau anak itu kita bawa ke Jakarta dan menjadi anak kita, apa kau keberatan?”
“Kamu sungguh-sungguh?” katanya dengan nada keheranan bercampur kegembiraan.
“Ya, pulanglah ke Jakarta, aku akan menyiapkan kamar bayi untuk kita.”

Beberapa jam kemudian suamiku mengabarkan kalau dirinya sudah berada di pesawat, ia membawa seorang bayi. Anaknya, bukan anakku, tapi akan menjadi anak kami.
Dia mengatakan kepada ibu bayi itu bahwa dia boleh melihatnya kapanpun, meskipun sang ibu menangis dan menolak, tetap saja suamiku meninggalkannya dan mengisi tiga ratus juta di rekening perempuan itu.

Anak yang ingin kujadikan sebagai anak kami akan tiba. Perasaanku bercampur antara sedih, marah, cinta, benci, dan gembira.

Beberapa jam telah berlalu dan telepon bernyanyi. Nyanyian telepon itulah yang kutunggu dari tadi. Tapi, yang kulihat adalah nama Bobby yang muncul di sana.
“Kamu lihat tivi?”
“Kenapa?”

“Ada pesawat jatuh.”

Aku memindah tivi ke chanel berita, menyaksikan sebuah pesawat yang telah habis terbakar. Lalu presenter manampilkan daftar nama korban. Aku melihat nama suamiku di sana.
Tiba-tiba saja semua bayang-bayang memudar, melayang, menguap. Tak ada lagi suara, tak ada lagi rasa. Semua begitu gelap. Dan di dalam kegelapan yang dalam itu aku terdiam.
Kesadaranku terjaga ketika semua prosesi pemakaman telah usai. Ketika tanah telah memeluk kekasihku di dalamnya, merebutnya dariku, kuletakkan mawar layu itu di atasnya. (Sigit di Jakarta, Januari 2008).

Sebenernya Cerpen ini mau kukirimkan ke Majalah atau Koran, tapi bingung, mau dikirim ke mana. Ya Sudah... terbitkan saja di sini.

Rabu, 07 Mei 2008

Diari Jakarta

Diari Mini Sigit Setyawan

Jakarta, 16 April 2008
Klakson berbunyi, orang-orang marah. Waktu itu aku berada di dekat Slipi Jaya. Eh, ternyata ada seorang bapak pengendara sepeda motor jatuh di depan sebuah taksi. Bapak itu membawa bawaan berat di motornya, seperti karung-karung.
Satu orang yang membantunya berdiri, yaitu seorang petugas pengatur lalu lintas (DLLAJR). Nah, mobil yang lain meraung-raung dengan suara nyaring klaksonnya berteriak, seolah bapak yang jatuh itu melakukan kejahatan.
Dasar kota besar.
Tenggang rasa sudah mati.

Jakarta, 18 April 2008
Anakku dirawat di rumah sakit karena demam berdarah Dengue. Ini untuk kedua kalinya, setelah bulan lalu dirawat karena penyakit yang sama. Waktu masuk, trombosit 144 ribu, lalu kemarin 128 ribu. Ya Tuhan, turun lagi?
Nah, ketika dokter datang, dia tanya, sekarang berapa? “50 Dok,” katanya. Saya terkejut, lemas. Untunglah ada seorang dokter junior yang sedang belajar untuk praktik (KOAS) bilang, “150 dok”. Gawat! 150 ditulis 50. Gawat dan bahaya sekali...
Akhirnya kutulis di lembar evaluasi Rumah Sakit: lain kali hati-hati....

Jakarta, 6 Mei 2008
Hujan.
Hujan?
Ya Hujan.
Di bualan Mei?
Ya.
Global warming?
Entahlah.
Waktu saya kecil, kakek saya bilang kalau April itu singkatan dari Ana udan, tapi Pral-Pril (Ada hujan tapi kadang ada kadang tidak). Jadi, Mei biasanya tidak hujan. Namun, Mei sekarang seperti November, dan Februari seperti Desember.
Parahnya lagi, di Jakarta sampah memenuhi selokan dan sungai. Itu membuat banyak sumbatan dan banjir. Kalau tidak banjir, sungai akan bau sampah nan busuk.
2 Februari lalu saya kebanjiran. Komputer saya terendam air banjir. Rupanya, itu baru permulaan penderitaan. Selanjutnya: tempat tidur harus diganti, komputer tidak lagi bisa dipakai, bau busuk dan jamur tumbuh bagai benalu di mana-mana...
Sampah. Nyampah. Sungai dan Selokan. Bukan cuma sampah domestik (rumah tangga) tapi juga sampah kata-kata. Di jalan sampai di selokan.
Banyak ruang untuk berdosa. Sedikit ruang untuk berdoa.
Tapi, kepada siapa?

Selasa, 29 April 2008

Pak Guru Basuki

Cerpen Sigit Setyawan

Basuki menyeka keringat dingin di keningnya. Wajah kepala sekolah menyiratkan kekecewaan yang sangat kepadanya dan suaranya yang berat menunjukkan kemurkaan. Rencana Pengajaran Mingguan belum diserahkan oleh Basuki sejak enam bulan lalu, kisi-kisi soal untuk ujian belum juga sampai di meja kepala sekolah, formulir untuk sertifikasi guru pun belum diisi penuh, sementara minggu depan tim akreditasi departemen pendidikan akan datang. Kepala sekolah geram, kesal, dan marah.

“Sekolah ini bisa tutup gara-gara kamu, Bas,” kata kepala sekolah.

Suasana di ruangan kepala sekolah mencekam. Basuki yang tadi pagi begitu bersemangat, tiba-tiba lunglai. Sekujur tubuhnya lemas membayangkan dirinya akan segera dipecat. Padahal, tahun lalu dia sempat dicalonkan sebagai guru teladan tingkat provinsi.
Itu semua gara-gara seorang siswa bernama Tumiji yang tiga bulan lalu berkelahi. Tumiji memukul Baharudin di dalam kelas, Baharudin membalas sehingga terjadi baku hantam. Baik Tumiji maupun Baharudin sama-sama berdarah-darah. Sebagai seorang wali kelas, Basuki memiliki kewajiban untuk tahu duduk perkaranya.

“Tumiji, apa yang telah kamu lakukan?” tanya Basuki di ruang guru. Sementara Baharudin masih dirawat di UKS.
“Baharudin mengatai saya banci, Pak.”
“Cuma karena itu kamu naik pitam?”
“Bukan cuma itu, Pak. Coba saja bayangkan, sejak saya kelas satu di SMA ini, saya sering diledekin banci, banci, gitu Pak. Sebagai seorang lelaki, apa saya nggak marah, Pak. Apalagi Baharudin mengatai itu di depan cewek-cewek, apa saya tidak naik pitam?”
“Saya tahu, saya pun kalau dikatakan banci akan marah, tapi saya tidak akan memukul,” kata Basuki dengan nada tinggi, meskipun di dalam hatinya dia sendiri menyangsikan pernyataannya itu.

Tumiji diam saja. Siswa yang baru saja meraih juara tiga di kejuaraan Matematika tingkat kabupaten ini tidak mampu menyembunyikan kegeramannya.
Basuki dengan kesal kemudian berkata, “Sebagai wali kelasmu, saya sangat kecewa dengan perbuatanmu yang tidak mencerminkan seorang intelektual yang seharusnya berpikir sebelum bertindak. Sebagai guru Matematikamu, saya lebih kecewa lagi, karena itu mencoreng nama sekolah kita. Baru bulan lalu kamu menjadi juara tiga tingkat kabupaten, masa sekarang harus diskorsing gara-gara berkelahi?”

“Dia mengatai saya banci, Pak. Saya tidak terima,” kata Tumiji.
“Sudah-sudah. Saya tidak mau tahu alasanmu, siapa yang lebih dahulu memukul, dia yang salah.”

Tumiji kecewa, tapi apa daya, dia harus menerima konsekuensi skorsing selama seminggu dari sekolah. Tumiji keluar dari ruang guru dengan bersungut-sungut.

Setelah Tumiji keluar dari ruang guru, Bu Kristina menghampiri Basuki dan bertanya, “Pak, jadi bagaimana dengan lomba Olimpiade Matematika tingkat nasional? Kalau Tumiji diskorsing, apa sekolah kita tidak akan gagal?”

Basuki benar-benar lupa akan kompetisi bergengsi itu. Tapi, kepala sekolah telah memutuskan skorsing selama satu minggu. Keputusan itu tidak akan bisa dicabut begitu saja karena menyangkut kredibilitas sekolah dan kewibawaan kepala sekolah. Namun, di sisi lain, hanya Tumijilah satu-satunya siswa yang mampu menghadapi kompetisi bergengsi semacam itu.

“Saya akan datang ke rumahnya setiap hari untuk memberikan pelajaran khusus. Sepertinya hanya itu caranya agar kita bisa mendapat nomer di olimpiade nanti,” kata Basuki.
“Jadi, nggak ngelesin dong,” kata Kristina.
“Apa boleh buat,” kata Basuki sambil membayangkan bahwa dirinya akan kehilangan penghasilan tambahan dari les matematikanya dan mungkin juga dari perkerjaan sampingan sebagai tukang ojek.
***
Sehari setelah Tumiji diskors oleh sekolah, ayah Tumiji datang ke sekolah. Dengan menggebrak meja, ayah Tumiji yang itu berkata dengan suara lantang sambil menunjuk-nunjuk muka Basuki.

“Bulan lalu anakku sudah mengharumkan nama sekolah ini. Sekolah miskin saja belagu kalian ini, cuma berantem anak muda kan biasa. Apa sih istimewanya. Semua orang berkelahi, saya hampir tiap hari berkelahi, apa salahnya berkelahi? Itu kan ekspresi lelaki, apa kamu tidak tahu?” katanya sambil menunjuk hidung Basuki.

Sebelum Basuki sempat membela dirinya, ayah Tumiji kembali memuntahkan kata-katanya dan memukul meja lagi.

“Kalau keputusan skors tidak dicabut, anak saya yang akan saya cabut dari sekolah ini. Saya juga tidak akan membayar uang sekolah anak saya yang tujuh bulan belum saya bayar itu. Sekolah ini memang gila, anak sudah mengharumkan nama sekolah masa tidak dikasih keringanan biaya?! Katanya minggu depan anak saya akan dikirim untuk kompetisi matematika, mana kontribusi sekolah? Nol besar! Saya terlambat mbayar SPP saja ditagih-tagih kayak saya ini punya hutang jutaan.”

Kembali Basuki akan mengatakan sesuatu ketika ayah Tumiji mencengkeram krah Basuki, “Kalau sampai anakku tidak lulus atau nilainya jeblok awas kamu.”
Para guru di ruang guru terkesima dan kaku seperti patung. Kepala sekolah tidak ada di tempat, wakil kepala sekolah bersembunyi karena takut berhadapan dengan ayah Tumiji, hanya Basuki yang berani menerima dia.

Ayah Tumiji melangkah keluar dari ruang guru, membanting pintu hingga kaca pintu itu retak.
Meskipun pria bertato itu mengancam Basuki, tapi Basuki tidak gentar. Sore harinya, Basuki menemui Tumiji di pasar. Mengajaknya belajar Matematika di rumahnya, meskipun Tumiji menolak.

“Tidak mau,” katanya.
“Ayolah Ji, ini demi masa depan kamu.”
“Yang salah kan Bahar, Pak. Masa saya dihukum seminggu, sedangkan Bahar cuma dihukum tiga hari. Nggak adil itu. Padahal yang salah kan Bahar.”
“Yang salah bukan cuma Baharudin. Kamu juga salah. Dalam kasus ini, tidak ada yang benar, yang ada adalah kalian berdua salah. Kamu salah, Baharudin salah. Jadi, semua harus kena hukuman.”
“Tapi, mengapa Bahar cuma tiga hari sedangkan saya seminggu?”
“Karena kamu yang memukul lebih dahulu.”
“Tapi yang mengatai saya banci lebih dulu kan Bahar, saya cuma bereaksi!”
“Kamu dihukum karena kamu bereaksi dengan tidak benar.”
“Guru selalu benar,” kata Tumiji sambil ngeloyor pergi.

Basuki mengejar Tumiji dan memegang tangannya dengan kuat.
“Dengarkan saya. Bukan sebagai guru, tapi sebagai seseorang yang ingin melihat kamu sukses. Lihat mata saya, saya bersungguh-sungguh. Ji, kita ini hidup di lingkungan miskin, sekolah kita juga miskin, saya harus narik ojek sepulang sekolah untuk bisa hidup, sama seperti ayahmu harus di pasar setiap hari. Kita menjadi orang yang seperti ini karena keadaan. Di negeri ini tidak banyak kesempatan untuk orang-orang seperti kita. Lihat orang-orang sekelilingmu, semua pasrah dengan keadaan. Patah arang ketika melakukan kesalahan, menyalahkan orang lain. Putus asa ketika mendapat ketidakadilan. Tapi kamu ini Tumiji. Saya sudah kenal kamu tiga tahun, Ji. Kamu seperti anakku. Aku melihat potensi di dalam dirimu yang istimewa. Kamu pantang menyerah. Sekarang kesempatan ada di depanmu, apa kamu akan sia-siakan? Kamu bisa juara satu di olimpiade Matematika, apa kamu tidak akan bangga? Juara tiga atau harapan tiga Ji, bukan juara satu itu juga sudah istimewa. Nama kamu akan dicetak di koran nasional dan orang-orang akan mengenal kamu, terlebih kamu akan menyelamatkan sekolah kita yang terancam tutup. Kamu berbeda, Ji. Kamu istimewa.”

Pancaran mata Tumiji meredup.
“Baiklah, Pak. Tapi, sebaiknya di rumah Bapak,”
“Bagus,” tanpa sadar Basuki memeluk Tumiji.

Sejak saat itu Basuki memberikan pelajaran khusus untuk Tumiji tanpa sepengetahuan kepala sekolah. Basuki bahkan membelikan buku dan alat tulis dari gajinya yang minim itu. Istrinya menggerutu karena harus mencari tambahan hutang kepada tetangganya karena otomatis selama seminggu itu Basuki tidak narik ojek dan tidak dibayar untuk memberikan les Matematika.

Sementara itu di sekolah, Basuki menghabiskan waktu untuk membuat alat peraga. Sebelum dia datang ke sekolah ini, anak-anak sangat takut pelajaran matematika. Matematika adalah momok. Basuki membawa perubahan.

Anak-anak menyukai Basuki. Dia mengajarkan menghitung tinggi bangunan dan pohon dengan teknik yang menyenangkan. Energinya habis untuk mencari teknik-teknik yang tidak biasa di tengah para siswa yang memang “tidak biasa” itu. Sementara para guru lain berada di ruangan untuk mengisi berbagai form untuk persiapan akreditasi mulai dari rencana pengajaran mingguan, jurnal harian, sampai dengan formulir sertifikasi. Hampir semua guru berkonsentrasi penuh pada akreditasi dan keinginan untuk sertifikasi, kecuali Basuki.
***
“Jadi, Bas. Saya juga sangsi kamu akan lulus sertifikasi guru. Kamu tahu kan, tiga kali gagal, maka kamu tidak akan diperbolehkan mengajar.”
Kepala sekolah menatap Basuki dengan serius dan melanjutkan, “Sekolah kita ini bukan sekolah favorit. Sekolah-sekolah favorit dengan guru-guru bagus pun kabarnya kesulitan mencari muris, apalagi kita. Lagi pula program sertifikasi itu antri, Bas. Kalau yang besok ini kamu tidak bisa ikut, lalu kapan?”

“Entahlah, saya juga sedang memikirkan profesi lain.”
“Maksudmu?”
“Sepertinya lebih baik saya narik ojek saja.”
“Sayang Bas, kamu ini berbakat. Lihatlah, tiga tahun ini kamu pegang kelas dua belas dan matematikanya bagus. Kamu hebat sebagai guru.”
“Tapi kalau saya tidak lulus ujian sertifikasi?”
“Yang penting, sekolah kita diakreditasi dulu. Jadi, saya minta kamu melengkapi instrumen pembelajaran yang seharusnya sudah kamu serahkan beberapa minggu lalu itu.”
“Pak, besok saya harus mengantar Tumiji ke lomba tingkat nasional. Mungkin makan waktu tiga hari, Pak. Sementara, kalau harus menyerahkan semua formulir itu, saya harus lembur selama seminggu. Tidak ada waktu, Pak.”

Kepala sekolah terpekur.
“Jadi, bagaimana Pak?”
“Menurutmu, Bas. Bagaimana?” kepala sekolah balik bertanya.
“Saya tetap akan mendampingi Tumiji, Pak. Seandainya sekolah mau memecat saya, mohon setelah Tumiji menyelesaikan olimpiade Matematikanya. Atau, jika tidak keberatan, pecat saya setelah UN tahun ini.”
“Mengapa setelah UN?”
“Karena Tanti dan Denok sepertinya tidak akan lulus matematikanya. Saya khawatir mereka berdua gagal di UN, nilainya sangat rendah. Saya ingin mereka lulus dulu, baru saya bisa ikhlas jika saya dipecat.”
Kepala sekolah diam saja.

“Bas, bagaimana kalau yayasan memecat kamu?”
“Itu tadi permintaan saya, Pak.”
Kepala sekolah yang tadi marah, kini melunak. Dijabatnya erat tangan Basuki, dia tidak bisa lagi berbicara atau marah.

***
Seperti biasanya, sore itu Basuki sudah mangkal di pos ojek. Di atas sepeda motornya Basuki merenung. Dia memikirkan masa depan anak-anak didiknya. Berkelebat di bayangan, masa depan anaknya yang masih bayi dan masa depan dirinya sendiri. Silih berganti, bayangan itu mengganggu perasaan hatinya.

Mungkin lebih baik narik ojek saja sehari penuh, berjuang untuk keluarganya sendiri, untuk anaknya sendiri. Tetapi, bayang-bayang anak-anak di kelas tak mampu dilupakannya. Dia ingin bertahan jadi guru meski hanya beberapa minggu lagi. Dia ingin menjadi guru bagi Tumiji, Tanti, Denok, dan murid-murid lainnya.

“Eh, pak guru. Narik Pak?” suara Bu RT mengejutkan lamunannya, “Antar saya ke pasar, ya.”
Basuki tersenyum, “Mari, Bu.”
“Ramai, Pak?”
“Lumayan.”

Basuki menghidupkan motornya. Kali ini dia mengantar Bu RT menuju pasar, tapi besok pagi dia akan mengantar Tumuji menuju keberhasilan. Semoga.

Maret 2007

Rabu, 20 Februari 2008

UN, Apa Boleh Buat?

Ujian Nasional SD tak terelakkan, demikian pula dengan penambahan mata pelajaran dalam UN di tingkat SMP dan SMA. Lupakan proses kreatif dan inovatif di dalam kelas. Lupakan pula impian untuk mengalahkan negara-negara lain dalam hal sumber daya manusia, kita sedang akan menghadapi Ujian Nasional.

Meskipun UN ditentang, ditolak, dan dikritik pelaksanaannya, toh ketika para siswanya lulus seratus persen, sekolah akan bangga dengan “prestasi” kelulusan para siswanya itu. Guru-gurunya bangga, sekolahnya bangga, dan orangtua siswa akan berbondong-bondong menyekolahkan anaknya ke sekolah itu dengan alasan siswanya lulus seratus persen. Seringkali, itu pula yang dijadikan sebagai “iklan” sekolah kepada masyarakat.

Pemerintah pun demikian. Dari tahun ke tahun meningkatkan standar nilai yang lebih tinggi. Sehingga, menurut logika pemerintah, semakin tinggi standar nilai kelulusannya semakin tinggi pula kualitas orang Indonesia.

Memang benar jika standar semakin tinggi, maka kemungkinan lulusan semakin pandai. Tetapi, pandai dalam hal apa? Apakah dalam hal critical and analytical thinking skills ataukah dalam hal menjawab soal pilihan ganda?

Tantangan global yang menghadang para siswa kita ke depan setidak-tidaknya ada dua hal penting. Yang pertama adalah persoalan persaingan teknologi. Kita membutuhkan siswa yang nantinya dapat bersaing dalam hal penguasaan dan inovasi teknologi. Jika berhadapan dengan bangsa lain, siswa kita nantinya harus memiliki kapabilitas untuk lebih inovatif dan kreatif. Persoalan lain adalah masalah penguasaan pasar global. Idealnya, nantinya kelas-kelas kita melahirkan para siswa yang mampu bernegosiasi dan berstrategi dalam hal perdagangan atau industri di tataran global. Atau, minimal regional. Dalam hal ini siswa harus memiliki kepekaan sosial dan budaya yang tinggi, kreativitas dan keuletan. Pertanyaannya, apakah kelas kita sudah demikian?

Yang kedua adalah persoalan pengembangan sumber daya alam. Kita kaya akan pertambangan, hutan, dan pertanian yang saat ini menuju ke kehancuran. Padahal, sesungguhnya itulah kekuatan kita. Apa yang telah terjadi di kelas kita, tidakkah para siswa belajar tentang hal itu? Idealnya di masa depan para siswa kita mampu mengambil langkah-langkah berani menyelamatkan sumber daya alam kita, bahkan secara terampil mengolahnya. Apakah kelas kita sudah menyiapkan hal yang demikian?

Pertanyaannyaa lain yang tak kalah penting adalah apakah UN menyiapkan siswa kita untuk menghadapi tantangan di atas?
Kenyataannya tidak. UN justru menjadi momok bagi siswa, orangtua, dan guru. Hal itu karena kurikulumnya dengan ujiannya berbeda. Darmaningtyas pernah mengatakan bahwa pendidikan kita ini kurikulumnya ke selatan, sedangkan model evaluasinya ke utara (Kompas, 18 Oktober 2007). Jadi, UN bukanlah ujung dari kurikulum itu. Hasilnya, UN menjadi sebuah tes khusus dari pemerintah yang harus disiapkan secara khusus pula. Jadilah para guru menyusun drill soal, membuat rumus-rumus pendek, dan mengakali bagaimana agar soal pilihan ganda itu dapat disiasati. Kelas jadi penuh siasat dan hafalan.

Kita butuh UN yang bermutu. Sebuah ujian yang merangsang kegiatan kelas agar lebih dinamis dan kreatif. Sesungguhnya modalnya sudah ada, yuitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu. Sayangnya, UN-nya justru berbeda.

Ambillah contoh UN ala Australia, khususnya negara bagian New South Wales. Kebetulan penulis telah mengalami mengajarkan kurikulum tersebut hampir selama lima tahun. Sejak awal dimulai pelajaran, siswa selalu diarahkan pada outcomes atau apa yang harus dikuasai oleh siswa. Outcomes itu pasti akan keluar pada saat ujian nantinya. Hal itu membuat guru di dalam kelas mengupayakan berbagai metode untuk membantu siswanya mencapai outcomes itu. Seringkali guru harus secara kreatif menggali potensi siswa untuk mencapai outcomes itu. Di sisi lain, siswa tahu apa yang akan dihadapi di ujian nantinya. Assessment Outcomes selalu menggambarkan apa yang dipelajari di dalam kelas.

Seandainya saja UN kita didasarkan pada KTSP dan merupakan ujung dari KTSP, maka sebenarnya UN kita dapat memicu kreativitas dan memetakan kemampuan siswa secara lebih akurat. Dapat dikatakan, jika hal itu terjadi, benang merah pendidikan kita akan mulai terlihat.
Namun, toh apa yang akan terjadi nanti dalam UN kita tentunya tidak akan jauh berbeda dari UN-UN sebelumnya. Semoga saja tidak terjadi kecurangan, sehingga kisah Air Mata Guru tahun lalu tidak perlu terulang lagi. Atau, jika terjadi kecurangan lagi, semoga air mata para guru terus mengalir di seluruh nusantara, agar bangsa kita memiliki guru-guru yang terus berani menjadi pahlawan, meskipun tanpa tanda jasa. Apa boleh buat, jika UN akhirnya dilaksanakan, lagi-lagi para guru harus bersama-sama dengan para siswa menghadapinya, meskipun dengan getir.