Jumat, 28 November 2008

Yang Tidak Pintar Dilarang Sekolah

By Sigit Setyawan

Ada sekolah yang mencari murid seperti mencari pegawai. Di koran, banyak lowongan kerja memberi syarat: berpengalaman kerja. Di sekolah, sekolah mencari siswa dengan syarat: harus pintar. Jadi, yang tidak pintar jangan sekolah di sini.

Sekolah tersebut masuk dalam kategori mendidik orang pintar menjadi pintar. Sekedar mengingatkan, kalau anak sudah pintar, kemungkinannya cuma dua, yaitu menjadi lebih pintar atau menjadi kurang pintar dari sebelumnya. Kaprahnya, sekolah yang menjadikan anak pintar menjadi lebih pintar seringkali membusung dada dengan mengatakan, “Inilah hasil pendidikan sekolah kami”.

Sementara itu, ada pula sekolah yang siapapun bisa masuk ke sana. Bahkan, seringkali yang masuk ke sekolah tersebut telah ditolak di semua sekolah. Jadi, memang kasarnya disebut sebagai anak yang “terbuang” karena dianggap kurang pintar untuk masuk ke sekolah “bagus”. Namun, ketika beberapa siswanya mampu merebut juara keempat atau juara harapan, tidak seorang pun terkesan. Apa sih hebatnya menjadi juara tapi harapan?

Orang lebih suka bangga pada anak yang memang layak jadi juara satu karena memang dia pintar, dibandingkan dengan anak yang sama sekali dianggap tidak layak tetapi dengan perjuangannya berhasil mendapatkan juara harapan.

Alkisah tersebutlah seorang anak yang terlahir sebagai juara, waktu batita selalu juara bayi sehat, waktu balita juara di acara tujuh belasan tingkat RT, waktu TK juara tingkat kecamatan, dan waktu SD juara cerdas cermat tingkat kabupaten. Anak ini mau disekolahkan di mana pun tetap saja juara. Benar juga, di SMP dia juara dan di SMA dia juara juga. Alhasil anak semacam ini menjadi target empuk sekolah yang ingin cari nama dengan mamakai dia sebagai “hasil dari pendidikan sekolah kami” sambil menyembunyikan siswa yang lainnya.

Mungkin ilustrasi di paragraf di atas agak berlebihan dan menyinggung perasaan, itu cuma sekedar ilustrasi, tapi bukan berarti tidak terjadi. Intinya, benarkah sekolah kita telah “mencetak” atau “melahirkan” sesuatu bagi dunia, bangsa dan negara, atau minimal bagi RT di mana dia tinggal?

Anak sekolah Indonesia bingung mau menjadi apa. Sebagian karena sekolah kita telah memberi arah bahwa kalau sekolah, kamu harus berprestasi. Dengan menuturkan terus menerus dan meng-imej-kan bahwa prestasi-lah yang mendapat penghargaan, para orangtua kelas menengah Indonesia pun kemudian menganggap bahwa itu adalah arah yang paling tepat bagi pendidikan anaknya. Jadi, anak yang tidak berprestasi merasa termarjinalkan.

Padahal, sekolah adalah untuk belajar dan asyik belajar. Sayangnya, bahkan para guru pun lupa akan hal itu sambil justru menciptakan “neraka” atau sebuah “camp” belajar bagi para anak. Ngapain kamu sekolah? Arah lain selain meraih prestasi harus juga di-imej-kan.Ada sekolah khusus untuk talented dan gifted dan sekolah semacam itu pastilah menuntut “harus pintar”, tetapi ingatlah bahwa itu bukanlah barometer pendidikan.

Anak yang agak pintar dan kurang pintar seharusnya masuk sekolah bagus agar menjadi lebih pintar. Sudah kurang pintar masuk sekolah kurang bagus, hasilnya tentu saja tidak akan sebagus yang diharapkan. Jadi, pandai-pandailah kita memilih sekolah, sebab kita sebagai orang tua tidak bisa memilih anak.

Jodoh

By Sigit Setyawan


Teman saya bilang bahwa jodoh di tangan Tuhan. Saya bilang, “Kalau begitu, nunggu aja dikasih. Kan, itu masih ditanganNya, belum di tanganmu.” Tapi teman saya tidak sabar. “Ada nggak sih REG spasi JODOH lalu besok aku ketemu sama jodohku?” Ah, naïf sekali temanku itu, menganggap bahwa jodoh bisa ditemukan lewat sekedar SMS. Selanjutnya di Kompas Komunitas...


Senin, 03 November 2008

Famili Kota Ini

Puisi Sigit Setyawan

Papa pulang membawa marah
Mama pulang membawa membawa diam
Upik diam membawa buku pelajaran
Buyung menggeleng tertawa, di telinga ada nyanyi suka-suka

Telepon bernyanyi, pembantu berlari
Nyonya, ada telepon dari bapak guru, si Upik mendapat nilai satu
Telepon bernyanyi lagi, pembantu berlari lagi
Tuan, ada telepon dari ibu guru, si Buyung berkelahi

Papa mama, tuan dan nyonya memaki-maki
Untuk apa bekerja kalau hasilnya begini
Dasar anak tak tahu diri

Esok pagi Buyung berkelahi lagi
Upik dapat nilai satu lagi

Papa pulang membawa diam
Mama pulang membawa marah
Upik menggeleng tertawa, di telinga ada nyanyi suka-suka
Buyung diam membawa buku pelajaran

Pak guru meminta papa mama menghadap pak kepala
Sopir tiba-tiba menjadi wali
Mengaku-aku menjadi famili
Soalnya setiap bulan sudah digaji

Papa pulang membawa diam
Mama pulang membawa diam
Upik diam, Buyung pun diam
Televisi tak tahu diri berbunyi
Komputer memainkan em pe tri

Sampai besok pagi,
Seperti berita di televisi,
Papa mama jadi selebriti,
Tak mampu bersama lagi,
Karena cinta tak ada lagi.

Esok pagi Buyung berkelahi lagi
Upik dapat nilai satu lagi
Siapa yang peduli?

(Jakarta, November 2008)