Rabu, 23 September 2009

"Wisata" Terorisme?

Berkunjung ke lokasi tertembaknya Noordin M Top oleh Datasemen 88 antiteror merupakan pengalaman langka dan menarik. Yang menarik bagi saya bukanlah rumah tempat terjadinya teror karena rumah itu telah hangus terbakar dan ditutupi seng, melainkan untuk melihat mereka yang berkunjung ke sana. Tempat kejadian itu telah menjadi “lokasi wisata” yang mengundang penasaran banyak orang.

Beberapa ratus meter dari lokasi kejadian saya melihat triplek besar ditulis ala kadarnya berbunyi, “lokasi teroris Noordin” beserta petunjuk arah. Sesampainya di lokasi, “usaha dadakan” parkir mobil dan motor segera terlihat. Bukan hanya usaha parkir, masyarakat segera saja membuka berbagai “outlet” jajanan anak-anak, minuman, dan snack. Kebetulan hari itu adalah hari Lebaran, sehingga hari kedua lebaran ini banyak orang datang karena penasaran atau mumpung ada di Solo.

Segera saja telinga saya mendengar apa yang dibicarakan orang-orang. Seorang ibu yang bertanya kepada seseorang di sana, “Kok bisa ndak tahu kalau itu Noordin?”, ada pula seorang ibu yang bercerita, “Dia itu pernah tambal ban, saya bilang ‘kok mirip Noordin’ dan orang itu melotot, saya takut,” ujar seorang ibu ketika bercerita pada seseorang yang datang kesana dan ternyata yang melotot itu memang Noordin.

Cerita mulai berkembang, saya dengar cerita dari saudara saya ketika kami perjalanan pulang, konon anggota Densus 88 menyamar sebagai penjual Mie Ayam, lalu ada yang berujar, “Pantesan mie ayamnya rasanya tidak enak.”

Selain menjadi objek “wisata” dadakan, tempat itu juga menjadi lokasi “bisnis dadakan”. Mertua saya mengatakan bahwa usaha parkir di sana dalam satu hari bisa dapat dua juta rupiah. Yang saya alami, plat mobil luar kota diminta membayar uang parkir lima ribu rupiah, sedangkan kami yang berplat mobil Solo, tentu tidak mau membayar sebanyak itu, kami cuma mau bayar tiga ribu rupiah.

Setelah mengambil beberapa foto dan mendengarkan cerita orang-orang, sambil mengamati para Polisi yang berkumpul menjaga TKP, saya meninggalkan lokasi dengan tak bisa menahan senyum karena melihat beberapa “guide” dan orang yang menunjukkan arah, “Mari, sini, sini, lokasi Noordin. Silakan yang membawa kamera berfoto bersama Noordin, mumpung masih menunggu,” tentu saja bukan hanya saya yang tersenyum mendengar lelucon itu.

Jumat, 07 Agustus 2009

Teror

Puisi Sigit Setyawan

Dar-der-dor teror
Mati kamu ditembak peneror
Hilang kamu karena teror

Bum-bum-jleger
Ada bom teroris di hotel
Ada pula di tempat-tempat encer

Di sini teror di sana teror
Di mana-mana teror
Jadi biasa, biar dibom tetap aja molor

Kalau aku takut pada teror
Menang juga peneror
Kalau aku tak peduli padanya
Percumalah saja usahanya

Dhut-dhut-dhut
Wah yang ini bom kentut
Menghabisi hidungku
Hilang pula lahap makanku

Ruuum-ruuum-rumm
Yang ini bukan bom
Tapi suara motor
Bikin copot jantungku

Anjing-sialan-setan
Yang ini adalah bom
Dari mulut sopir sialan
Yang memecah gendang telingaku
Dan telah membunuh nuraniku.

Jakarta, Agustus 2009

Minggu, 19 Juli 2009

Solo Batik Carnival

That was the first time for me mingling with the crowd since 1998. My heart trembled whenever I saw a crowd. It is still fresh in my memory: in 1998, a lot of people gathered on the street, burned cars, motorcycles and tires. But in Solo Batik Carnival this time, I felt very different. People gathered together on the street to celebrate! For me, it seems to be a celebration of healing from a lot of bad memories. I am sure a lot of people feel the same way.

People had been gathering together since 1PM at Slamet Riyadi Street, the main street in Solo City (Also known as Surakarta); children, youth, even senior citizens who needed assistance from their children or grand children, while the parade itself would be held at 4PM. It was very hot; around 38 to 40 degrees (Celsius).

Journalists, amateur photographers and real photographers were looking for good places to take pictures. Children were playing around and parents were busy taking pictures of their kids.


A lot of people used that event as an opportunity to do business. The parking lot for cars and motorcycles was suddenly "managed" by local people. Some people needed places to park and some people needed more money. Anyone can sell anything. Mineral water, ice tea, toys even balloons.

Then the carnival begun and I was lucky to be in front to see the parade. That was so close for taking pictures. Unfortunately, I only used my pocket camera, so the result was not really good. However, at least I could capture some of them.

Jumat, 05 Juni 2009

Pemuda Flâneur

Manusia sepanjang masa membutuhkan suatu simbol yang dipuja dan disembah, demikian menurut Baudrillard dalam Consumer Society (1998). Jika masyarakat primitif menyembah pohon, maka kini masyarakat mengkultuskan kemasan benda-benda, citra, televisi, dan konsep kemajuan dan pertumbuhan (Referensi: Tumenggung dalam Sutrisno, 2005).

Tidak heran, dalam politik, siapa yang mampu mengemas citra diri seorang pemimpin, dia akan berhasil. Dalam bisnis, pencitraan produk adalah segala-galanya, sehingga orang membeli sesuatu karena brand image-nya.

Penyembahan baru itu adalah karena masyarakat sekarang “melayang-layang”, demikian Walter Benjamin. Ia mengembangkan konsep flâneur yang dilontarkan penyair Prancis, Baudelair, yaitu bahwa manusia itu mengembara dan tidak memiliki jati dirinya secara total. Ia selalu diikat oleh kondisi yang melayang-layang dalam ruang kerumunan industrialisasi, dari satu tempat ke tempat lainnya (Sutrisno, 2005). Seperti halnya kita ini berjalan-jalan di mall nan megah, terkepung dalam ajakan berbelanja dan menikmati kehidupan konsumtif.

Di tengah dunia seperti inilah anak-anak muda dilahirkan dan hidup. Sejak kecil mereka diserbu dengan pencitraan barang tanpa ada penjelasan cukup tentang bagaimana memanfaatkannya, televisi tak pernah mati menawarkan berbagai visualisasi realita dan hiper-realita, dan musik yang tak pernah berhenti berdengung di telinga. Sangat sempit waktu untuk berhenti untuk merenungkan dan merasakan kehidupan. Tak heran, semua yang instan, serba cepat, dan praktis, sangat laku dan populer. Ingatan menjadi pendek dan keinginan untuk berproses semakin ciut.

Ditambah lagi, para orang tua ingin cepat-cepat melihat anaknya dewasa dan tak sabar terhadap proses pendidikan, sehingga banyak jalan pintas ditempuh. Guru les laku keras, drill soal dianggap mencerdaskan, dan banyak hal lain yang jika dilihat, sesungguhnya demi cepatnya seseorang mencapai sesuatu.

Baik disadari maupun tidak, institusi pendidikan kemudian mengkultuskan prestasi dan prestise. Kemajuan siswa dan pertumbuhan kognitif dipuja-puja. Barang siapa mendidik dengan proses yang lamban dan tradisional akan dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Pendidikan dengan proses ketat, bersusah payah, berdisiplin tinggi, apalagi lama, menjadi barang tak laku jual. Hanya mereka yang percaya diri dengan kualitas dan komitmen dan sudah terlanjur terkenal saja yang tetap laku jika menerapkan prinsip itu.

Lebih parah lagi jika tenaga pendidik tidak menyadari hal ini. Bayangkan saja, seorang anak digital native yang lahir di tengah serbuan visual, konsumsi, dan hiper-realita, ketika masuk ke kelas berjumpa dengan guru yang “ketinggalan zaman” dan “ketinggalan informasi” apalagi gagap teknologi, maka akan timbul permasalahan. Entah siswa menjadi pemberontak aktif yang membuat ulah, atau siswa menjadi pemberontak pasif yang diam menunggu selesainya jam sekolah.

Saya berharap, para orangtua dan pendidik menyadari bahwa para pemuda, anak-anak kita, telah masuk dan terperangkap lebih dalam dibandingkan dengan diri kita. Mereka telah terseret arus itu sejak dari lahirnya.

Referensi

Baudrillard, Jean. 1998. The Consumer Society. London: Sage Publication

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed.) 2005. Teori-Teori Kebudayaan (Terutama dalam "Kebudayaan [para] Konsumen" oleh Adeline May Tumenggung). Yogyakarta: Kanisius.

Jumat, 01 Mei 2009

Simbolisme dan Metafora

(Catatan untuk para siswa)

Simbolisme atau perlambangan
Merah menyimbolkan keberanian, putih menyimbolkan kesucian, Burung Garuda adalah simbol Negara Indonesia. Di dalam sastra, simbol adalah sebuah kesepakatan, simbol mewakili gagasan tertentu yang disepakati bersama.

Misalnya, Simbolisme dalam “Sajak Seonggok Jagung”. Jagung dapat dianggap menyimbolkan sesuatu. Di komunitas orang desa, jagung bisa merupakan simbol kekayaan, tapi di komunitas kota, bisa jadi jagung menjadi simbol kemiskinan. Misalnya, “Ah, sudah miskin ya kok kamu makan nasi jagung?”

Simbolisme dalam sastra, seperti dalam cerpen “Wajah”, wajah dapat jadi merupakan simbol dari martabat orang. Di Indonesia, wajah “indo” dianggap “cakep” dan dianggap cocok menjadi bintang film sinetron. Tapi, belum tentu wajah juga menyimbolkan hal yang sama untuk kebudayaan lainnya. Misalnya, ada kebudayaan yang lebih melihat kalung di leher atau tato sebagai simbol yang lebih tepat.



Metafora
Metafora adalah sebuah kiasan atau analogi untuk membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 2007: 139).

Metafora dalam karya sastra mengandaikan apa yang terjadi di dalam karya sastra berkaitan erat dengan apa yang terjadi di masyarakat, sebuah analogi atau peristiwa yang erat kaitannya antara satu dengan yang lainnya.

Cerita dalam “Wajah” bahwa orang mengganti wajahnya demi sebuah eksistensi di masyarakatnya, dapat dianggap merupakan sebuah metafora dari kejadian di masyarakat yang selalu mengganti penampilannya dengan tren baru demi sebuah eksistensi.


Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa cetakan ke-17. Gramedia: Jakarta.
Noor, Agus.2000. “Wajah” dalam Angkatan 2000. Gramedia: Jakarta.
Rendra.1980. “Sajak Seonggok Jagung” dalam Potret Pembangunan dalam Puisi.Pustaka Jaya: Jakarta.

Jumat, 17 April 2009

Pendidikan Karakter dengan Baris-Berbaris

Oleh Sigit Setyawan

Hampir setiap siswa yang terpilih masuk Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) bangga ketika tampil berbaris dengan gagah mengibarkan Bendera Merah Putih ketika tujuh belasan. Namun, kalau sekedar baris berbaris di lapangan, banyak yang mengeluh.

Pasca reformasi, baris-berbaris ditengarai sebagai kegiatan militeristik. Tak urung, mereka yang “anti” militerisme menolak kegiatan baris-berbaris a la militer ini. Saya pernah berpikir hal yang sama, bahwa baris berbaris tak lain adalah aktualisasi militerisme. Namun, setelah direnungkan kembali, ternyata saya salah.

Saya pernah menjadi anggota Paskibra ketika SMA dan mengalami pahit asamnya latihan berbaris. Setelah dipikirkan secara mendalam, saya simpulkan bahwa baris-berbaris bukanlah sebuah bentuk militerisme. Memang militer paling banyak memakai aktivitas itu, tetapi bukan berarti jika kita ikut baris-berbaris, maka identik dengan militer.

Setelah menjadi guru dan belajar mengenai beberapa teori pendidikan, rupanya saya memahami diri saya pernah dibentuk oleh kegiatan tersebut. Pertama, baris-berbaris melatih saya berkonsentrasi. Ini adalah sebuah latihan kombinasi mendengarkan instruksi dan motorik yang bagus. Ketika komandan memerintahkan “hadap kiri” misalnya, setelah teriakan “gerak” kami harus menghitung satu, dua, tiga ke arah kiri. Tentu saja ada saja yang salah bergerak ke kanan dan kami tertawa. Di awal latihan hal itu wajar, tetapi setelah terbiasa, kita akan lebih waspada dan responsif.

Kedua, saya belajar tentang solidaritas tim. Jika ada satu anggota yang salah, maka biasanya pelatih menghukum kami semua. Kami harus mengulang-ulang gerakan hingga tak seorang pun salah. Setiap orang bisa mengalami kesalahan yang sama, jadi tidak ada alasan untuk menyalahkan yang salah. Kami harus kompak dan saya sadar setiap gerakan saya salah, saya mebuat tim dalam masalah.

Ketiga, saya belajar untuk mendengarkan dan patuh. Kebiasaan ini penting untuk saya di situasi darurat di manapun di seluruh dunia. Saya kira, yang terbiasa mendengarkan dan patuh pada perintah adalah mereka yang berpeluang untuk selamat. Di suasana rusuh, kacau, atau darurat biasanya pihak otoritas akan memberikan instruksi. Saya merasa telah terbiasa dengan hal itu. Jadi, ketika di bandara, misalnya, informasi sedikit saja membuat saya ingin mendengarkannya dan sepertinya lebih aware.

Keempat, saya belajar untuk diam dan mengatur emosi. Ada teman yang salah gerakan, salah arah, tetapi saya harus tetap diam dan menatap ke depan. Alih-allih menertawakan yang salah, saya harus terus berkonsentrasi dan dengan waspada menunggu instruksi selanjutnya.

Kelima, karena terbiasa dalam sikap disiplin dan fokus pada instruksi, tubuh saya jadi lebih betah duduk di kelas dan mendengarkan instruksi guru.

Itulah setidak-tidaknya lima manfaat baris-berbaris yang mungkin dikira cuma sekedar kegiatan militer, tetapi sesungguhnya membawa manfaat yang besar.

Sabtu, 21 Februari 2009

Australia

Puisi Sigit Setyawan

Satu negeri
Satu benua
Satu bahasanya

Satu luasnya daratan
Hampir sama dengan luasnya
Tujuh belas ribu pulaunya negeriku

Mengapa pula jauh ke sana
Melewati samudera dan gurun luas
Tapi kita mengatakan sebagai tetangga

Negeri Barat di sebelah Timur
Negeri Selatan di sebelah Tenggara

Aku menyebutnya negeri di ujung dunia
Di mana kanguru menyembunyikan
Mungil bayi di dalam sakunya
Dan koala bersembunyi di dalam tidurnya

Kukira
Satu warna
Satu budaya
Rupanya menyimpan ragam pula

Ada orang dari berbagai bangsa di sana
Memainkan peran sama sebagai manusia

Orang Indonesia di negeri Australia
Membawa buku duduk di universitasnya
Menyimak ilmu belajar tepat waktu

Kapan-kapan cobalah ke Australia
Negeri tetangga tapi jauh tempatnya
Sama seperti rumah kita di desa
Yang harus berjalan sekilo jauhnya
Hanya untuk meminta sedikit gula
Atau sekedar minum teh bersama.

Jakarta, Februari 2009

Singapura

Puisi Sigit Setyawan

Ada negara satu kota saja
Kau bisa hafalkan lekukan jalannya
Dan menyelami ujung-ujungnya

Lihatlah gedung-gedungnya
Mengapa mahal harganya
Tapi ada yang berkata kalau ada pula
Milik orang Jakarta

Ada juga tempat belanja
Dan orang Indonesia tersenyum tertawa
Menenteng tas kertas di tepi jalan raya

Ada pemuda Indonesia tergegas
Sebab dia harus pergi ke universitas
Untuk mendengarkan dosen berbicara

Negeri tetangga di dekat Sumatra
Dari Batam menyeberang saja
Tapi bagi orang Papua
Terlalu jauh tempatnya

Di negeri singa putih
Orang-orang belajar dan berlatih

Membuang sampah bisa didenda
Menyeberang harus pada tempatnya
Naik bis ada waktunya
Tidak seperti kita, bebas semaunya

Itulah negeri singapura
Tempat te ka i juga ikut bekerja
Mencari uang untuk keluarga.

Jakarta, Februari 2009

Jumat, 30 Januari 2009

Yes, We Can

Puisi Sigit Setyawan

Obama menjadi presiden
Yes, we can

Sebab sesungguhnya semua manusia adalah sederajat
Yes, we can

Sebab mimpi itu dapat diwujudkan jika kita berjuang meraihnya
Yes, we can

Sebab yang pertama kali menghambat mimpi-mimpi itu adalah
Diri kita sendiri

yang mengatakan aku tidak bisa adalah diriku sendiri

yang pertama kali mengatakan aku akan gagal adalah diriku sendiri

yang tidak berbuat apa-apa untuk dunia adalah aku sendiri

yang seharusnya berbuat untuk dunia adalah aku ini

Yes, We Can

Obama jadi presiden.

(Obama Menjadi Presiden, Januari 2009)

Kebenaranku

Puisi Sigit Setyawan

Seorang lelaki berseru, “Kebenaran adalah warna Jingga!”
Sebab lelaki itu seluruh tubuhnya berwana Jingga.

Tetapi ada seorang lelaki lain berwarna biru berkata,
“Akulah kebenaran karena kebenaran adalah warna biru.”

Lelaki berwarna Jingga itu menghunus pedangnya,
Matanya membara, dagingnya serentak mengeluarkan bara,
Ia berubah menjadi merah dan berkata,
“Tidak, kebenaran adalah warna Jingga.”
Lalu dibenamkannya pedang itu ke dada lelaki biru.
Lelaki biru itupun meregang nyawa, lalu berubah menjadi hitam

Lelaki berwarna jingga itu kembali berseru, “Kebenaran adalah Jingga!”
Tetapi seorang lelaki berwarna merah melintas di depannya.

“Mengapa engkau berwarna merah, padahal sudah kukatakan
bahwa kebenaran harus jingga!”

Lelaki merah itu mengatakan, “Sebab kebanaran adalah merah.”
Lelaki jingga itu berubah menjadi merah, dari tubuhnya keluar api, ia
Menghunus pedang,
“Tidak! Kamu harus menjadi jingga!”
Lalu dibenamkannya pedang itu ke dada lelaki merah itu.
Seketika itu juga lelaki merah itu berubah menjadi hitam.

Lelaki jingga yang tadi menjadi merah itupun kemudian kembali menjadi jingga,
Setelah ia menyarungkan pedangnya.

Tetapi, tanpa diketahuinya, seorang lelaki merah dan seorang lelaki biru lain
Serentak membenamkan pedangnya di punggung lelaki jingga itu
sehingga lelaki jingga meregang nyawa.
Ia pun berubah menjadi hitam.

Tiba-tiba langit tertutup.
Gelap gulita menyelimuti bumi.
Suara-suara terhenti.
Semua mata menjadi buta
Sebab tidak ada lagi cahaya.

Semua telah menjadi hitam.

Dalam hitamnya hitam, suara terdengar
KEBENARAN ADALAH AKU
BUKAN WARNAMU

Jakarta, Januari 2009