Jumat, 17 April 2009

Pendidikan Karakter dengan Baris-Berbaris

Oleh Sigit Setyawan

Hampir setiap siswa yang terpilih masuk Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) bangga ketika tampil berbaris dengan gagah mengibarkan Bendera Merah Putih ketika tujuh belasan. Namun, kalau sekedar baris berbaris di lapangan, banyak yang mengeluh.

Pasca reformasi, baris-berbaris ditengarai sebagai kegiatan militeristik. Tak urung, mereka yang “anti” militerisme menolak kegiatan baris-berbaris a la militer ini. Saya pernah berpikir hal yang sama, bahwa baris berbaris tak lain adalah aktualisasi militerisme. Namun, setelah direnungkan kembali, ternyata saya salah.

Saya pernah menjadi anggota Paskibra ketika SMA dan mengalami pahit asamnya latihan berbaris. Setelah dipikirkan secara mendalam, saya simpulkan bahwa baris-berbaris bukanlah sebuah bentuk militerisme. Memang militer paling banyak memakai aktivitas itu, tetapi bukan berarti jika kita ikut baris-berbaris, maka identik dengan militer.

Setelah menjadi guru dan belajar mengenai beberapa teori pendidikan, rupanya saya memahami diri saya pernah dibentuk oleh kegiatan tersebut. Pertama, baris-berbaris melatih saya berkonsentrasi. Ini adalah sebuah latihan kombinasi mendengarkan instruksi dan motorik yang bagus. Ketika komandan memerintahkan “hadap kiri” misalnya, setelah teriakan “gerak” kami harus menghitung satu, dua, tiga ke arah kiri. Tentu saja ada saja yang salah bergerak ke kanan dan kami tertawa. Di awal latihan hal itu wajar, tetapi setelah terbiasa, kita akan lebih waspada dan responsif.

Kedua, saya belajar tentang solidaritas tim. Jika ada satu anggota yang salah, maka biasanya pelatih menghukum kami semua. Kami harus mengulang-ulang gerakan hingga tak seorang pun salah. Setiap orang bisa mengalami kesalahan yang sama, jadi tidak ada alasan untuk menyalahkan yang salah. Kami harus kompak dan saya sadar setiap gerakan saya salah, saya mebuat tim dalam masalah.

Ketiga, saya belajar untuk mendengarkan dan patuh. Kebiasaan ini penting untuk saya di situasi darurat di manapun di seluruh dunia. Saya kira, yang terbiasa mendengarkan dan patuh pada perintah adalah mereka yang berpeluang untuk selamat. Di suasana rusuh, kacau, atau darurat biasanya pihak otoritas akan memberikan instruksi. Saya merasa telah terbiasa dengan hal itu. Jadi, ketika di bandara, misalnya, informasi sedikit saja membuat saya ingin mendengarkannya dan sepertinya lebih aware.

Keempat, saya belajar untuk diam dan mengatur emosi. Ada teman yang salah gerakan, salah arah, tetapi saya harus tetap diam dan menatap ke depan. Alih-allih menertawakan yang salah, saya harus terus berkonsentrasi dan dengan waspada menunggu instruksi selanjutnya.

Kelima, karena terbiasa dalam sikap disiplin dan fokus pada instruksi, tubuh saya jadi lebih betah duduk di kelas dan mendengarkan instruksi guru.

Itulah setidak-tidaknya lima manfaat baris-berbaris yang mungkin dikira cuma sekedar kegiatan militer, tetapi sesungguhnya membawa manfaat yang besar.