Selasa, 29 April 2008

Pak Guru Basuki

Cerpen Sigit Setyawan

Basuki menyeka keringat dingin di keningnya. Wajah kepala sekolah menyiratkan kekecewaan yang sangat kepadanya dan suaranya yang berat menunjukkan kemurkaan. Rencana Pengajaran Mingguan belum diserahkan oleh Basuki sejak enam bulan lalu, kisi-kisi soal untuk ujian belum juga sampai di meja kepala sekolah, formulir untuk sertifikasi guru pun belum diisi penuh, sementara minggu depan tim akreditasi departemen pendidikan akan datang. Kepala sekolah geram, kesal, dan marah.

“Sekolah ini bisa tutup gara-gara kamu, Bas,” kata kepala sekolah.

Suasana di ruangan kepala sekolah mencekam. Basuki yang tadi pagi begitu bersemangat, tiba-tiba lunglai. Sekujur tubuhnya lemas membayangkan dirinya akan segera dipecat. Padahal, tahun lalu dia sempat dicalonkan sebagai guru teladan tingkat provinsi.
Itu semua gara-gara seorang siswa bernama Tumiji yang tiga bulan lalu berkelahi. Tumiji memukul Baharudin di dalam kelas, Baharudin membalas sehingga terjadi baku hantam. Baik Tumiji maupun Baharudin sama-sama berdarah-darah. Sebagai seorang wali kelas, Basuki memiliki kewajiban untuk tahu duduk perkaranya.

“Tumiji, apa yang telah kamu lakukan?” tanya Basuki di ruang guru. Sementara Baharudin masih dirawat di UKS.
“Baharudin mengatai saya banci, Pak.”
“Cuma karena itu kamu naik pitam?”
“Bukan cuma itu, Pak. Coba saja bayangkan, sejak saya kelas satu di SMA ini, saya sering diledekin banci, banci, gitu Pak. Sebagai seorang lelaki, apa saya nggak marah, Pak. Apalagi Baharudin mengatai itu di depan cewek-cewek, apa saya tidak naik pitam?”
“Saya tahu, saya pun kalau dikatakan banci akan marah, tapi saya tidak akan memukul,” kata Basuki dengan nada tinggi, meskipun di dalam hatinya dia sendiri menyangsikan pernyataannya itu.

Tumiji diam saja. Siswa yang baru saja meraih juara tiga di kejuaraan Matematika tingkat kabupaten ini tidak mampu menyembunyikan kegeramannya.
Basuki dengan kesal kemudian berkata, “Sebagai wali kelasmu, saya sangat kecewa dengan perbuatanmu yang tidak mencerminkan seorang intelektual yang seharusnya berpikir sebelum bertindak. Sebagai guru Matematikamu, saya lebih kecewa lagi, karena itu mencoreng nama sekolah kita. Baru bulan lalu kamu menjadi juara tiga tingkat kabupaten, masa sekarang harus diskorsing gara-gara berkelahi?”

“Dia mengatai saya banci, Pak. Saya tidak terima,” kata Tumiji.
“Sudah-sudah. Saya tidak mau tahu alasanmu, siapa yang lebih dahulu memukul, dia yang salah.”

Tumiji kecewa, tapi apa daya, dia harus menerima konsekuensi skorsing selama seminggu dari sekolah. Tumiji keluar dari ruang guru dengan bersungut-sungut.

Setelah Tumiji keluar dari ruang guru, Bu Kristina menghampiri Basuki dan bertanya, “Pak, jadi bagaimana dengan lomba Olimpiade Matematika tingkat nasional? Kalau Tumiji diskorsing, apa sekolah kita tidak akan gagal?”

Basuki benar-benar lupa akan kompetisi bergengsi itu. Tapi, kepala sekolah telah memutuskan skorsing selama satu minggu. Keputusan itu tidak akan bisa dicabut begitu saja karena menyangkut kredibilitas sekolah dan kewibawaan kepala sekolah. Namun, di sisi lain, hanya Tumijilah satu-satunya siswa yang mampu menghadapi kompetisi bergengsi semacam itu.

“Saya akan datang ke rumahnya setiap hari untuk memberikan pelajaran khusus. Sepertinya hanya itu caranya agar kita bisa mendapat nomer di olimpiade nanti,” kata Basuki.
“Jadi, nggak ngelesin dong,” kata Kristina.
“Apa boleh buat,” kata Basuki sambil membayangkan bahwa dirinya akan kehilangan penghasilan tambahan dari les matematikanya dan mungkin juga dari perkerjaan sampingan sebagai tukang ojek.
***
Sehari setelah Tumiji diskors oleh sekolah, ayah Tumiji datang ke sekolah. Dengan menggebrak meja, ayah Tumiji yang itu berkata dengan suara lantang sambil menunjuk-nunjuk muka Basuki.

“Bulan lalu anakku sudah mengharumkan nama sekolah ini. Sekolah miskin saja belagu kalian ini, cuma berantem anak muda kan biasa. Apa sih istimewanya. Semua orang berkelahi, saya hampir tiap hari berkelahi, apa salahnya berkelahi? Itu kan ekspresi lelaki, apa kamu tidak tahu?” katanya sambil menunjuk hidung Basuki.

Sebelum Basuki sempat membela dirinya, ayah Tumiji kembali memuntahkan kata-katanya dan memukul meja lagi.

“Kalau keputusan skors tidak dicabut, anak saya yang akan saya cabut dari sekolah ini. Saya juga tidak akan membayar uang sekolah anak saya yang tujuh bulan belum saya bayar itu. Sekolah ini memang gila, anak sudah mengharumkan nama sekolah masa tidak dikasih keringanan biaya?! Katanya minggu depan anak saya akan dikirim untuk kompetisi matematika, mana kontribusi sekolah? Nol besar! Saya terlambat mbayar SPP saja ditagih-tagih kayak saya ini punya hutang jutaan.”

Kembali Basuki akan mengatakan sesuatu ketika ayah Tumiji mencengkeram krah Basuki, “Kalau sampai anakku tidak lulus atau nilainya jeblok awas kamu.”
Para guru di ruang guru terkesima dan kaku seperti patung. Kepala sekolah tidak ada di tempat, wakil kepala sekolah bersembunyi karena takut berhadapan dengan ayah Tumiji, hanya Basuki yang berani menerima dia.

Ayah Tumiji melangkah keluar dari ruang guru, membanting pintu hingga kaca pintu itu retak.
Meskipun pria bertato itu mengancam Basuki, tapi Basuki tidak gentar. Sore harinya, Basuki menemui Tumiji di pasar. Mengajaknya belajar Matematika di rumahnya, meskipun Tumiji menolak.

“Tidak mau,” katanya.
“Ayolah Ji, ini demi masa depan kamu.”
“Yang salah kan Bahar, Pak. Masa saya dihukum seminggu, sedangkan Bahar cuma dihukum tiga hari. Nggak adil itu. Padahal yang salah kan Bahar.”
“Yang salah bukan cuma Baharudin. Kamu juga salah. Dalam kasus ini, tidak ada yang benar, yang ada adalah kalian berdua salah. Kamu salah, Baharudin salah. Jadi, semua harus kena hukuman.”
“Tapi, mengapa Bahar cuma tiga hari sedangkan saya seminggu?”
“Karena kamu yang memukul lebih dahulu.”
“Tapi yang mengatai saya banci lebih dulu kan Bahar, saya cuma bereaksi!”
“Kamu dihukum karena kamu bereaksi dengan tidak benar.”
“Guru selalu benar,” kata Tumiji sambil ngeloyor pergi.

Basuki mengejar Tumiji dan memegang tangannya dengan kuat.
“Dengarkan saya. Bukan sebagai guru, tapi sebagai seseorang yang ingin melihat kamu sukses. Lihat mata saya, saya bersungguh-sungguh. Ji, kita ini hidup di lingkungan miskin, sekolah kita juga miskin, saya harus narik ojek sepulang sekolah untuk bisa hidup, sama seperti ayahmu harus di pasar setiap hari. Kita menjadi orang yang seperti ini karena keadaan. Di negeri ini tidak banyak kesempatan untuk orang-orang seperti kita. Lihat orang-orang sekelilingmu, semua pasrah dengan keadaan. Patah arang ketika melakukan kesalahan, menyalahkan orang lain. Putus asa ketika mendapat ketidakadilan. Tapi kamu ini Tumiji. Saya sudah kenal kamu tiga tahun, Ji. Kamu seperti anakku. Aku melihat potensi di dalam dirimu yang istimewa. Kamu pantang menyerah. Sekarang kesempatan ada di depanmu, apa kamu akan sia-siakan? Kamu bisa juara satu di olimpiade Matematika, apa kamu tidak akan bangga? Juara tiga atau harapan tiga Ji, bukan juara satu itu juga sudah istimewa. Nama kamu akan dicetak di koran nasional dan orang-orang akan mengenal kamu, terlebih kamu akan menyelamatkan sekolah kita yang terancam tutup. Kamu berbeda, Ji. Kamu istimewa.”

Pancaran mata Tumiji meredup.
“Baiklah, Pak. Tapi, sebaiknya di rumah Bapak,”
“Bagus,” tanpa sadar Basuki memeluk Tumiji.

Sejak saat itu Basuki memberikan pelajaran khusus untuk Tumiji tanpa sepengetahuan kepala sekolah. Basuki bahkan membelikan buku dan alat tulis dari gajinya yang minim itu. Istrinya menggerutu karena harus mencari tambahan hutang kepada tetangganya karena otomatis selama seminggu itu Basuki tidak narik ojek dan tidak dibayar untuk memberikan les Matematika.

Sementara itu di sekolah, Basuki menghabiskan waktu untuk membuat alat peraga. Sebelum dia datang ke sekolah ini, anak-anak sangat takut pelajaran matematika. Matematika adalah momok. Basuki membawa perubahan.

Anak-anak menyukai Basuki. Dia mengajarkan menghitung tinggi bangunan dan pohon dengan teknik yang menyenangkan. Energinya habis untuk mencari teknik-teknik yang tidak biasa di tengah para siswa yang memang “tidak biasa” itu. Sementara para guru lain berada di ruangan untuk mengisi berbagai form untuk persiapan akreditasi mulai dari rencana pengajaran mingguan, jurnal harian, sampai dengan formulir sertifikasi. Hampir semua guru berkonsentrasi penuh pada akreditasi dan keinginan untuk sertifikasi, kecuali Basuki.
***
“Jadi, Bas. Saya juga sangsi kamu akan lulus sertifikasi guru. Kamu tahu kan, tiga kali gagal, maka kamu tidak akan diperbolehkan mengajar.”
Kepala sekolah menatap Basuki dengan serius dan melanjutkan, “Sekolah kita ini bukan sekolah favorit. Sekolah-sekolah favorit dengan guru-guru bagus pun kabarnya kesulitan mencari muris, apalagi kita. Lagi pula program sertifikasi itu antri, Bas. Kalau yang besok ini kamu tidak bisa ikut, lalu kapan?”

“Entahlah, saya juga sedang memikirkan profesi lain.”
“Maksudmu?”
“Sepertinya lebih baik saya narik ojek saja.”
“Sayang Bas, kamu ini berbakat. Lihatlah, tiga tahun ini kamu pegang kelas dua belas dan matematikanya bagus. Kamu hebat sebagai guru.”
“Tapi kalau saya tidak lulus ujian sertifikasi?”
“Yang penting, sekolah kita diakreditasi dulu. Jadi, saya minta kamu melengkapi instrumen pembelajaran yang seharusnya sudah kamu serahkan beberapa minggu lalu itu.”
“Pak, besok saya harus mengantar Tumiji ke lomba tingkat nasional. Mungkin makan waktu tiga hari, Pak. Sementara, kalau harus menyerahkan semua formulir itu, saya harus lembur selama seminggu. Tidak ada waktu, Pak.”

Kepala sekolah terpekur.
“Jadi, bagaimana Pak?”
“Menurutmu, Bas. Bagaimana?” kepala sekolah balik bertanya.
“Saya tetap akan mendampingi Tumiji, Pak. Seandainya sekolah mau memecat saya, mohon setelah Tumiji menyelesaikan olimpiade Matematikanya. Atau, jika tidak keberatan, pecat saya setelah UN tahun ini.”
“Mengapa setelah UN?”
“Karena Tanti dan Denok sepertinya tidak akan lulus matematikanya. Saya khawatir mereka berdua gagal di UN, nilainya sangat rendah. Saya ingin mereka lulus dulu, baru saya bisa ikhlas jika saya dipecat.”
Kepala sekolah diam saja.

“Bas, bagaimana kalau yayasan memecat kamu?”
“Itu tadi permintaan saya, Pak.”
Kepala sekolah yang tadi marah, kini melunak. Dijabatnya erat tangan Basuki, dia tidak bisa lagi berbicara atau marah.

***
Seperti biasanya, sore itu Basuki sudah mangkal di pos ojek. Di atas sepeda motornya Basuki merenung. Dia memikirkan masa depan anak-anak didiknya. Berkelebat di bayangan, masa depan anaknya yang masih bayi dan masa depan dirinya sendiri. Silih berganti, bayangan itu mengganggu perasaan hatinya.

Mungkin lebih baik narik ojek saja sehari penuh, berjuang untuk keluarganya sendiri, untuk anaknya sendiri. Tetapi, bayang-bayang anak-anak di kelas tak mampu dilupakannya. Dia ingin bertahan jadi guru meski hanya beberapa minggu lagi. Dia ingin menjadi guru bagi Tumiji, Tanti, Denok, dan murid-murid lainnya.

“Eh, pak guru. Narik Pak?” suara Bu RT mengejutkan lamunannya, “Antar saya ke pasar, ya.”
Basuki tersenyum, “Mari, Bu.”
“Ramai, Pak?”
“Lumayan.”

Basuki menghidupkan motornya. Kali ini dia mengantar Bu RT menuju pasar, tapi besok pagi dia akan mengantar Tumuji menuju keberhasilan. Semoga.

Maret 2007