Jumat, 05 Juni 2009

Pemuda Flâneur

Manusia sepanjang masa membutuhkan suatu simbol yang dipuja dan disembah, demikian menurut Baudrillard dalam Consumer Society (1998). Jika masyarakat primitif menyembah pohon, maka kini masyarakat mengkultuskan kemasan benda-benda, citra, televisi, dan konsep kemajuan dan pertumbuhan (Referensi: Tumenggung dalam Sutrisno, 2005).

Tidak heran, dalam politik, siapa yang mampu mengemas citra diri seorang pemimpin, dia akan berhasil. Dalam bisnis, pencitraan produk adalah segala-galanya, sehingga orang membeli sesuatu karena brand image-nya.

Penyembahan baru itu adalah karena masyarakat sekarang “melayang-layang”, demikian Walter Benjamin. Ia mengembangkan konsep flâneur yang dilontarkan penyair Prancis, Baudelair, yaitu bahwa manusia itu mengembara dan tidak memiliki jati dirinya secara total. Ia selalu diikat oleh kondisi yang melayang-layang dalam ruang kerumunan industrialisasi, dari satu tempat ke tempat lainnya (Sutrisno, 2005). Seperti halnya kita ini berjalan-jalan di mall nan megah, terkepung dalam ajakan berbelanja dan menikmati kehidupan konsumtif.

Di tengah dunia seperti inilah anak-anak muda dilahirkan dan hidup. Sejak kecil mereka diserbu dengan pencitraan barang tanpa ada penjelasan cukup tentang bagaimana memanfaatkannya, televisi tak pernah mati menawarkan berbagai visualisasi realita dan hiper-realita, dan musik yang tak pernah berhenti berdengung di telinga. Sangat sempit waktu untuk berhenti untuk merenungkan dan merasakan kehidupan. Tak heran, semua yang instan, serba cepat, dan praktis, sangat laku dan populer. Ingatan menjadi pendek dan keinginan untuk berproses semakin ciut.

Ditambah lagi, para orang tua ingin cepat-cepat melihat anaknya dewasa dan tak sabar terhadap proses pendidikan, sehingga banyak jalan pintas ditempuh. Guru les laku keras, drill soal dianggap mencerdaskan, dan banyak hal lain yang jika dilihat, sesungguhnya demi cepatnya seseorang mencapai sesuatu.

Baik disadari maupun tidak, institusi pendidikan kemudian mengkultuskan prestasi dan prestise. Kemajuan siswa dan pertumbuhan kognitif dipuja-puja. Barang siapa mendidik dengan proses yang lamban dan tradisional akan dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Pendidikan dengan proses ketat, bersusah payah, berdisiplin tinggi, apalagi lama, menjadi barang tak laku jual. Hanya mereka yang percaya diri dengan kualitas dan komitmen dan sudah terlanjur terkenal saja yang tetap laku jika menerapkan prinsip itu.

Lebih parah lagi jika tenaga pendidik tidak menyadari hal ini. Bayangkan saja, seorang anak digital native yang lahir di tengah serbuan visual, konsumsi, dan hiper-realita, ketika masuk ke kelas berjumpa dengan guru yang “ketinggalan zaman” dan “ketinggalan informasi” apalagi gagap teknologi, maka akan timbul permasalahan. Entah siswa menjadi pemberontak aktif yang membuat ulah, atau siswa menjadi pemberontak pasif yang diam menunggu selesainya jam sekolah.

Saya berharap, para orangtua dan pendidik menyadari bahwa para pemuda, anak-anak kita, telah masuk dan terperangkap lebih dalam dibandingkan dengan diri kita. Mereka telah terseret arus itu sejak dari lahirnya.

Referensi

Baudrillard, Jean. 1998. The Consumer Society. London: Sage Publication

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed.) 2005. Teori-Teori Kebudayaan (Terutama dalam "Kebudayaan [para] Konsumen" oleh Adeline May Tumenggung). Yogyakarta: Kanisius.