Kamis, 25 September 2008

Di Sydney

Puisi Sigit Setyawan

Inikah dunia barat
Ataukah dunia tenggara?

Inikah pulau
Ataukah benua?

Di sini kuterdiam di pantainya
Menikmati tubuh terbuka
Di Bondi katanya tidak boleh merekam dalam kamera
Maka kurekam saja di kepala.

Sesampainya aku di rumah putih
Aku kagum dibuatnya.

O, itulah kebanggaan dunia.

Tunggu aku sampai menyeberang jalannya,
Tombol kutekan
Menunggu lampu hijau merah menyala
Meski tak ada mobil lewat di sana.
Di tempat asalku, aku menguasai jalan raya.

Lalu sekelompok teman bercanda
Berjanji makan bersama
Di restoran
Tapi semua membayar sesuai yang dimakannya.
Di tempat asalku, akulah yang membayarinya
Jika aku mengajaknya.

Ah,
Mungkin inilah negeri multi baru.
Ada putih, ada kuning, ada hitam.

“How are you mate?”
tepuk seorang temanku di pundak.
Aku tersenyum sipu dan membungkukkan badanku.

(Jakarta Sept 2008)

Teman Sejati

Puisi Sigit Setyawan

Tahun kuhitung satu dua tiga
Kita terus bersama
Saat suka saat duka
Susah senang kita bersama

Tahun kuhitung empat dan lima
Kadang ada canda
Kadang ada tawa
Tapi ada pula derita

Tidak selalu kita rukun
Kadang kita saling menjauh
Tapi kita Satu
Berteman selalu

Hingga kita tua nanti
Meski kadang ada benci
Tapi kamu selalu di hati

Teman sejati
Tak ada ganti
(Jakarta 2007, untuk kelas 7.1)

Senin, 08 September 2008

Menanti Keadilan Pendidikan

Oleh: Sigit Setyawan

Baik anak “pintar” di sekolah “bagus” maupun anak “kurang pintar” di sekolah “kurang bagus” akan diuji dengan standar ujian yang sama, yaitu UN. Lebih menyakitkan lagi, mereka dituntut untuk sama-sama sukses.

Dari sekian banyak faktor yang dipertimbangkan oleh para orangtua ketika mendaftarkan anak ke sebuah sekolah, tentulah faktor kelulusan dalam Ujian Nasional masuk dalam pertimbangan. Bahkan, bagi kalangan ekonomi menengah ke atas, faktor tersebut seringkali menjadi begitu penting. Sementara itu, bagi masyarakat menengah bawah, sekolah di manapun asal biaya terjangkau, tidak menjadi masalah.

Faktor kesenjangan fasilitas dan kualitas pengajar di kota besar dengan sekolah di kota kecil atau pedesaan dan kesenjangan kualitas siswa yang masuk ke sekolah-sekolah tersebut seolah-olah terabaikan dalam kebijakan standarisasi pendidikan. Apa yang sebenarnya harus dikhawatirkan oleh sekolah “bagus” dan bersiswa “pintar” dalam menghadapi Ujian Nasional nantinya? Jika dibandingkan dengan sekolah yang minim fasilitas dan minim guru, kekhawatiran sekolah “bagus” dengan siswa “pintar” itu tidak terlalu berarti.

Bagi para siswa, hal itu mungkin tidak dirasakan sebagai sebuah ketidakadilan. Namun, mereka akan tiba-tiba saja merasa terpukul ketika di akhir masa sekolah nanti mereka dinyatakan tidak lulus. Bagi banyak siswa di mana fasilitas merupakan kemewahan dan guru kompeten merupakan impian, target kelulusan yang ditetapkan merupakan sebuah beban yang begitu berat.

Sementara itu, target kelulusan dikejar dengan begitu dinamis di kota besar. Bukan hanya itu, di kota besar, tuntutan persaingan global dipersiapkan dengan cukup serius oleh para orangtua. Sepulang sekolah, anak diharuskan oleh orangtua mereka untuk les ini dan itu. Bagi kalangan ekonomi menengah atas, berbagai les keterampilan dan bakat disediakan begitu lengkapnya. Demikian pula les pribadi pelajaran sekolah, seperti Matematika dan ilmu pasti pun sudah sangat lazim diadakan di rumah. Lembaga-lembaga bimbingan belajar tidak pernah sepi siswa, bahkan terus tumbuh.

Namun sebaliknya, gegap-gempita dan dinamika itu begitu berbeda dengan apa yang terjadi di kota kecil atau di desa. Les mata pelajaran yang menjadi “gizi” tambahan siswa di kota besar tidak dapat mereka nikmati.

Meskipun perbedaan di atas begitu nyata, tetap saja standar mengenai kelulusan dan ujian tetaplah sama. Dengan demikian, kadangkala ketidakpercayaan diri siswa atau sekolah, termasuk para gurunya, mejadi begitu rendah ketika Ujian Nasional dilaksanakan. Hal itu memicu berbagai kecurangan demi untuk “menyelamatkan wajah” sekolah atau nasib para siswanya.

Ketidakadilan sistem terus berlanjut masuk ke dalam sekolah. Ketika bidang studi tertentu dilombakan di tingkat nasional dalam bentuk kompetisi atau olimpiade, masalah menjadi lebih rumit bagi para guru dan siswa. Siswa yang ikut kompetisi akan meninggalkan begitu banyak mata pelajaran di sekolahnya selama banyak hari dalam masa karantina. Berdasarkan apa siswa tersebut akan dinilai nantinya, sedangkan dia tidak pernah berada di kelas bersama teman-temannya?

Tentu saja sekolah akan mengambil berbagai cara agar terlihat adil. Akan tetapi, bagi siapakah keadilan itu? Dalam pembagian rapor nanti, siswa yang ikut kompetisi itu tiba-tiba mendapat nilai sama atau mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang bekerja keras dan berproses bersama guru di kelasnya. Bahwa hal itu karena siswa telah mengharumkan nama sekolah, “jasa” tersebut sesungguhnya adalah untuk sekolah dan diri siswa yang menang itu, tetapi belum tentu bagi teman-teman yang berjuang keras di kelas. Kompetisi yang bertujuan baik dan menghasilkan hal yang baik pun kadang-kadang memiliki ekses yang tidak diinginkan seperti itu.

Sayangnya, faktor prestasi dalam kompetisi juga menjadi faktor penting pula bagi orangtua untuk memasukkan anak mereka ke sebuah sekolah. Sekolah yang bagus adalah sekolah yang banyak prestasinya. Itu berarti, seringkali tidak ada tempat bagi siswa dengan kemampuan rata-rata. Perjalanan panjang pendidikan generasi muda Indonesia terasa begitu berat. Siswa dengan kemampuan rata-rata, tingkat ekonomi yang rata-rata bahkan miskin, dan perjuangan sekolah-sekolah di desa dan kota kecil yang serba terbatas seperti sebuah cerita yang nyaris tidak terdengar. Kita menantikan sebuah sistem pendidikan yang lebih adil bagi seluruh siswa Indonesia, bukan hanya bagi mereka yang pintar atau yang kebetulan dilahirkan di kalangan berada.