By Sigit Setyawan
Ada sekolah yang mencari murid seperti mencari pegawai. Di koran, banyak lowongan kerja memberi syarat: berpengalaman kerja. Di sekolah, sekolah mencari siswa dengan syarat: harus pintar. Jadi, yang tidak pintar jangan sekolah di sini.
Sekolah tersebut masuk dalam kategori mendidik orang pintar menjadi pintar. Sekedar mengingatkan, kalau anak sudah pintar, kemungkinannya cuma dua, yaitu menjadi lebih pintar atau menjadi kurang pintar dari sebelumnya. Kaprahnya, sekolah yang menjadikan anak pintar menjadi lebih pintar seringkali membusung dada dengan mengatakan, “Inilah hasil pendidikan sekolah kami”.
Sementara itu, ada pula sekolah yang siapapun bisa masuk ke sana. Bahkan, seringkali yang masuk ke sekolah tersebut telah ditolak di semua sekolah. Jadi, memang kasarnya disebut sebagai anak yang “terbuang” karena dianggap kurang pintar untuk masuk ke sekolah “bagus”. Namun, ketika beberapa siswanya mampu merebut juara keempat atau juara harapan, tidak seorang pun terkesan. Apa sih hebatnya menjadi juara tapi harapan?
Orang lebih suka bangga pada anak yang memang layak jadi juara satu karena memang dia pintar, dibandingkan dengan anak yang sama sekali dianggap tidak layak tetapi dengan perjuangannya berhasil mendapatkan juara harapan.
Alkisah tersebutlah seorang anak yang terlahir sebagai juara, waktu batita selalu juara bayi sehat, waktu balita juara di acara tujuh belasan tingkat RT, waktu TK juara tingkat kecamatan, dan waktu SD juara cerdas cermat tingkat kabupaten. Anak ini mau disekolahkan di mana pun tetap saja juara. Benar juga, di SMP dia juara dan di SMA dia juara juga. Alhasil anak semacam ini menjadi target empuk sekolah yang ingin cari nama dengan mamakai dia sebagai “hasil dari pendidikan sekolah kami” sambil menyembunyikan siswa yang lainnya.
Mungkin ilustrasi di paragraf di atas agak berlebihan dan menyinggung perasaan, itu cuma sekedar ilustrasi, tapi bukan berarti tidak terjadi. Intinya, benarkah sekolah kita telah “mencetak” atau “melahirkan” sesuatu bagi dunia, bangsa dan negara, atau minimal bagi RT di mana dia tinggal?
Anak sekolah Indonesia bingung mau menjadi apa. Sebagian karena sekolah kita telah memberi arah bahwa kalau sekolah, kamu harus berprestasi. Dengan menuturkan terus menerus dan meng-imej-kan bahwa prestasi-lah yang mendapat penghargaan, para orangtua kelas menengah Indonesia pun kemudian menganggap bahwa itu adalah arah yang paling tepat bagi pendidikan anaknya. Jadi, anak yang tidak berprestasi merasa termarjinalkan.
Padahal, sekolah adalah untuk belajar dan asyik belajar. Sayangnya, bahkan para guru pun lupa akan hal itu sambil justru menciptakan “neraka” atau sebuah “camp” belajar bagi para anak. Ngapain kamu sekolah? Arah lain selain meraih prestasi harus juga di-imej-kan.Ada sekolah khusus untuk talented dan gifted dan sekolah semacam itu pastilah menuntut “harus pintar”, tetapi ingatlah bahwa itu bukanlah barometer pendidikan.
Anak yang agak pintar dan kurang pintar seharusnya masuk sekolah bagus agar menjadi lebih pintar. Sudah kurang pintar masuk sekolah kurang bagus, hasilnya tentu saja tidak akan sebagus yang diharapkan. Jadi, pandai-pandailah kita memilih sekolah, sebab kita sebagai orang tua tidak bisa memilih anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar