Selasa, 13 Mei 2008

Mawar Layu

Cerpen Sigit Setyawan

Bunga mawar itu tak lagi merah. Ia telah layu. Telah kusimpan selama tiga tahun, empat belas Februari tiga tahun lalu. Bukan keputusannya untuk menjadi layu. Alam telah menentukan begitu. Dan aku tahu, sebenarnya ia tak ingin layu.

“Sayang, aku mencintaimu,” kata suamiku.
Siapa tidak bahagia jika suami mengatakan kalimat cinta di ulang tahun pernikahan kesepuluh?
“Jadi kita ke Bali?” tanyaku.

Suamiku tidak menjawab, ia memelukku, menitikkan air mata secara diam-diam. Air mata itu mengalir di pipinya, sebagian berhenti di pundakku. Perasaanku berkata, ia ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Setelah hatinya teguh, ia berkata, “Apakah kamu marah kalau kita batal ke Bali?”
“Tidak, Say. Ada sesuatu?”
“Aku harus ke Jogja.”
“Di ulang tahun pernikahan kita?”
Suamiku menarik nafas panjang, itu yang dilakukannya sebagai kebiasaan kalau dia takut, tersudut, ada hal yang tidak diharapkan terjadi dan kalau hal-hal buruk menimpanya. Kali ini aku menafsirkannya sebagai hal yang tidak dia harapkan. Jadi, aku maklum.
“Kamu boleh ikut kalau kamu mau,” katanya sambil menatapku, lalu dia menatap mawar layu di tembok itu.

Aku mengikuti tatapan matanya, kemudian aku berkata kepadanya, “Aku ikut.”
Ia menarik nafas panjangnya lagi.
“Tapi Say, tidak akan ada yang akan menemanimu.”
“Nggak apa-apa. Setidaknya aku bisa menemanimu waktu malam.”
Lagi-lagi dia menarik nafas panjang . Akhirnya dia mengiyakan aku untuk ikut.

***
Hari pertama di Jogja aku minta diantar ke Malioboro.
“Aku drop kamu, lalu aku rapat, oke?”
“Oke.”
“Apa perlu dijemput?”
“No. Nggak usah,” kataku.

Dia menurunkanku di Malioboro, mobil langsung meninggalkanku. Ketika itulah kusadari bahwa aku tidak membawa uang sepeserpun. Dompetku tertinggal di hotel. Aku menyesal mengapa tidak menginap di hotel sekitar Malioboro saja, sehingga kalau hal ini terjadi, aku tidak perlu repot.

Jadi aku harus kembali ke hotel sekarang juga. Sebuah taksi yang kebetulan lewat, kuhentikan, ia mengantarku hingga hotel. Di kamar hotel aku terkejut melihat kamar sedikit berantakan. Cleaning service belum membersihkan kamar ini, mungkin karena tanda di depan kamar lupa kami cabut. Hingga saat ini masih do not disturb.
Agaknya suamiku juga melupakan sesuatu setelah mengantarku tadi. Ah, benarkah kami sama-sama meninggalkan sesuatu? Aku tersenyum sendiri, dasar jodoh, agaknya kami mengalami hal yang sama.

Aku segera menuju taksi yang menungguku ketika aku melihat sekelebat bayangan suamiku menyeberangi jalan, ia sedang menuju sebuah Rumah Sakit di depan hotel.
Ketika yakin bahwa itu suamiku, aku meminta sopir berhenti dan kubayar dia. Kutunda keinginan belanjaku dan memilih untuk menuruti naluri wanitaku.

Aku mengikutinya dari jauh. Kulihat ada seorang ibu yang menyalaminya sambil mengusap air mata dan memeluk suamiku. Aku tidak mengenalnya dan belum pernah melihatnya. Mengapa dia memeluk suamiku? Siapa dia?

Semakin penasaran, aku mengikutinya. Mereka berbelok ke bagian inap ibu dan anak. Ada sesuatu menyusup ke dalam hatiku. Bau minyak telon, mengingatkanku pada bau bayi. Tujuh tahun pernikahan tanpa kehadiran seorang anak membuat bau itu menusuk-nusuk perasaanku. Tapi, juga membuai khayalan akan kehadiran seorang anak. Itu yang selalu kubayangkan, kehadiran seorang darah daging kami sendiri untuk memateraikan cinta kami.

Aku teringat ketika suamiku menguatkanku waktu itu, agar aku tidak kecewa dan marah dengan Tuhanku. Suami istri sudahlah sempurna, Tuhan membentuk keluarga Adam dan Eve. Anak adalah tambahan. Aku mengangguk, tapi hatiku menangisinya.

Kini di lorong rumah sakit ini, aku diingatkan pada masa-masa penantian dan keguguran kandungan beberapa tahun lalu. Menyakitkan, tapi menjadi tonggak kekuatan cinta kami. Suamiku sangat setia menemaniku. Aku keguguran di hari ulang tahun pernikahan kami, empat belas Februari. Waktu itulah dia memberikan mawar merah itu.

Aku tidak ingin kehilangan jejak suamiku. Mataku mengawasinya dengan seksama. Di ujung lorong sana, ada seorang pria yang menyalaminya dan memeluknya. Tapi, kali ini lelaki itu tertawa bahagia.
Aku semakin penasaran. Lalu aku beranikan diri untuk mendekati kamar itu.
“Cantik sekali, seperti ibunya,” terdengar suara lelaki dari dalam.
“Ya,” suara suamiku terdengar.

Mengapa suamiku tidak menghubungiku kalau ada temannya melahirkan? Kalau toh berbelanjanya nanti sore, aku tidak akan keberatan. Bahkan aku mau memilihkan kado untuknya. Atau, setidaknya aku masuk dalam lingkaran teman-teman suamiku.
Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Bagaimana jika suamiku tahu aku ada di sini?

Ketika itulah sapaan seseorang tiba-tiba mengejutkanku.
“Chaterine? Kamu di sini?”
“Bobby?” melihat kehadiran sahabat suamiku di situ, sungguh membuatku merasa gundah.
“Suamimu sudah bercerita tentang apa yang terjadi?”
“Bercerita apa?” kukira ekspresi mukaku tidak dapat menyembunyikan ketidaktahuanku.
“Dia tidak bercerita?”
Aku menggeleng.
“Bahkan dia tidak tahu kalau aku ada di sini,” kataku setengah berbisik, “Aku harus pergi.”
Aku melangkahkan kakiku diiringi pandangan mata Bobby. Tapi, rupanya Bobby segera masuk ke ruangan dan memberi tahu suamiku, karena itu aku mendengar ada suara memanggil namaku.

“Chaterine!” teriak suamiku.
Aku menghentikan langkahku. Suamiku menuju ke arahku dan aku bingung bagaimana harus bersikap.
Aku membalikkan badan dan berkata, “Aku ketinggalan dompetku. Jadi, aku melihatmu...” tapi belum selesai kalimatku itu, dia telah berada di depanku dan tiba-tiba memelukku. Lagi-lagi air matanya meleleh dalam diam. Air mata itu untuk dirinya sendiri, aku merasakan sebagian tetesannya membasahi pundakku.

“Aku ingin mengatakan sesuatu,” katanya.
“Katakan, Say.”
Tangannya menggandeng tanganku. Dingin dan basah.
Taman dan bunga-bunga, bau bayi, suara dentingan mainan anak-anak, dan air mancur di taman menjadi saksiku.

“Sembilan bulan lalu waktu aku ke Eropa, aku melakukan kesalahan,” kata suamiku memulai pembicaraan, “Aku melakukan kesalahan yang tidak seharusnya dilakukan oleh lelaki manapun, termasuk diriku. Seharusnya aku tidak boleh pergi bersama sekretarisku. Seharusnya aku pergi bersamamu,” dia menarik nafas panjangnya.
Sekarang aku tahu, nafas panjang itu adalah nafas beban. Beban berat yang selama ini tersembunyi di balik air matanya.
“Aku hanya melakukannya sekali saja. Tapi, itu kesalahan. Aku tahu, itu salahku.”

Jadi, selama ini dia menarik nafas panjangnya dan menyimpan air matanya. Dan air mata itu adalah karena ini. Ia telah menghamili seseorang?
“Jadi, kamu ke Jogja untuk melihat anakmu,” kataku lirih menahan gejolak perasaanku.
Dia mengangguk.

Aku terdiam. Air mataku meleleh, seperti lilin meleleh karena api. Tangannya menggenggam tanganku, tapi ingin rasanya kucampakkan.
Pria laknat. Teganya kamu mengkhianatiku, tidur dengan sekretarismu. Sekali katamu? Tidak mungkin. Tidak mungkin kamu melakukannya hanya sekali, kamu di sana selama lima belas hari.
Aku ingin mencampakkannya, membuangnya, menguburnya hidup-hidup, menginjaknya.

“Aku tahu saat ini akan terjadi. Aku telah merasa terhukum beberapa bulan ini. Aku rela kaucerai, tapi aku mencintaimu. Aku ingin bersamamu hingga kita tua. Itu sebuah kecelakaan yang tidak kuharapkan.”

Kecelakaan? Pria gombal. Semua pria di seluruh dunia ini gombal.
Tiba-tiba saja semua bau itu, semua suara itu, dan semua bunga yang kulihat membuatku merasa muak. Dunia ini telah memusuhiku.
Suamiku menatapku. Kini air matanya dibagikan juga untukku. Dia akan memelukku, tapi aku menampiknya.

“Aku pulang,” kataku.

***

Sesampainya di Jakarta, mawar layu itu kutatap begitu lama. Dia menjadi saksi dan bukti cinta kami. Perasaan hatiku mulai tenang dan berubah. Bagaimana kalau perempuan itu merayunya. Mungkin suamiku benar, perempuan itu merayu dan mereka melakukan sekali saja lalu hamil? Bagaimana kalau perempuan itu memang sengaja menjebak suamiku? Bukankah dia tampan, kaya, dan berkedudukan? Bukankah hatinya begitu lembut dan baik? Ya, perempuan itu telah merebut suamiku dengan cara memberinya anak.

Aku tidak boleh kalah. Aku ingin menjadikan anak itu sebagai anakku. Akan kurebut dia dari tangan ibunya. Aku membulatkan tekad. Mereka berdua harus menjadi milikku, akan kucampakkan perempuan itu.

Jadi, kuhubungi segera suamiku, “Halo, Say. Aku ingin bicara,” kataku di telepon, “Kalau anak itu kita bawa ke Jakarta dan menjadi anak kita, apa kau keberatan?”
“Kamu sungguh-sungguh?” katanya dengan nada keheranan bercampur kegembiraan.
“Ya, pulanglah ke Jakarta, aku akan menyiapkan kamar bayi untuk kita.”

Beberapa jam kemudian suamiku mengabarkan kalau dirinya sudah berada di pesawat, ia membawa seorang bayi. Anaknya, bukan anakku, tapi akan menjadi anak kami.
Dia mengatakan kepada ibu bayi itu bahwa dia boleh melihatnya kapanpun, meskipun sang ibu menangis dan menolak, tetap saja suamiku meninggalkannya dan mengisi tiga ratus juta di rekening perempuan itu.

Anak yang ingin kujadikan sebagai anak kami akan tiba. Perasaanku bercampur antara sedih, marah, cinta, benci, dan gembira.

Beberapa jam telah berlalu dan telepon bernyanyi. Nyanyian telepon itulah yang kutunggu dari tadi. Tapi, yang kulihat adalah nama Bobby yang muncul di sana.
“Kamu lihat tivi?”
“Kenapa?”

“Ada pesawat jatuh.”

Aku memindah tivi ke chanel berita, menyaksikan sebuah pesawat yang telah habis terbakar. Lalu presenter manampilkan daftar nama korban. Aku melihat nama suamiku di sana.
Tiba-tiba saja semua bayang-bayang memudar, melayang, menguap. Tak ada lagi suara, tak ada lagi rasa. Semua begitu gelap. Dan di dalam kegelapan yang dalam itu aku terdiam.
Kesadaranku terjaga ketika semua prosesi pemakaman telah usai. Ketika tanah telah memeluk kekasihku di dalamnya, merebutnya dariku, kuletakkan mawar layu itu di atasnya. (Sigit di Jakarta, Januari 2008).

Sebenernya Cerpen ini mau kukirimkan ke Majalah atau Koran, tapi bingung, mau dikirim ke mana. Ya Sudah... terbitkan saja di sini.

Tidak ada komentar: