Sigit Setyawan
Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global akan menciptakan suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jaringan komunikasi internasional yang begitu luas, dengan batas-batas yang tidak begitu jelas (Abdullah, 166). Kalimat itu telah menyeret saya ke dalam pikiran tatanan global yang dimaksud sebagai globalisasi bahasa. Izinkan saya menyorot dua fenomena umum yang sering kita lihat. Pertama, penggunaan bahasa Inggris yang terus meluas dan kedua, memudarnya identitas budaya dalam diri anak muda.
Fenomena yang berkembang adalah bahwa orang yang dapat memakai bahasa Inggris dengan sangat lancar atau cas-cis-cus, akan dianggap sebagai orang hebat. Pengguna bahasa Indonesia, meskipun dengan gagasan yang lebih cemerlang, kadang kala dianggap lebih inferior atau dipandang rendah. Hal itu seakan-akan merupakan sebuah proses pembangunan identitas budaya “baru”. Sama seperti ketika pembantu rumah tangga pulang kampung saat lebaran dan menggunakan bahasa gaul Jakarta, seperti “ngapain”, “elu”, “gue”, “nggak keren tuh”, status seorang dianggap akan lebih tinggi daripada menggunakan bahasa daerah karena bahasa Jakarta dianggap lebih “hebat”, demikian juga sekarang orang akan “dinilai tinggi” ketika mampu mempresentasikan dirinya dengan cas cis cus bahasa Inggris. Dengan demikian, perlu kita tanyakan dalam diri kita, bukankah itu sebuah awal bagi tercerabutnya seseorang dari komunitas budayanya?
Bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan dan transfer nilai, tetapi bahasa adalah pembangun nilai-nilai, makna dan pengetahuan tersebut (Barker, 69). Itulah mengapa bagi bapak Semiotika, Saussure, untuk memahami kebudayaan berarti harus mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis melalui pemakaian bahasa. Dari pemahaman itulah kita tahu bagaimana sulitnya menerjemahkan suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain berdasarkan maknanya karena setiap kata mengandung muatan kebudayaan yang begitu dalam. Itulah juga mengapa kita sering menemukan pemakaian bahasa Inggris di Indonesia lebih sering mencomot kata dan menempatkannya dalam alur pikiran bahasa Indonesia. Mengapa? Karena bahasa adalah makna dan pengetahuan, sebuah sistem berpikir.
Hal itu juga disinggung oleh Sugiharto (hlm.95) ketika membahas pendapat Rortry. Bahasa adalah apa yang biasa kita sebut “pikiran” dan tak ada cara lain untuk berpikir tentang kenyataan, selain lewat bahasa. Jadi, berbahasa adalah juga kegiatan berbudaya. Berbahasa bukan hanya sekedar ber-gaya, tetapi juga mengekspresikan diri dalam hidup ini.
Identitas budaya seorang anak memudar ketika seorang orangtua memutuskan untuk menggantikan bahasa ibu anaknya dan menggantinya dengan bahasa asing, bahkan sejak mereka belajar berbicara. Apalagi jika sang orangtua tidak pula fasih berbicara bahasa asing tersebut, gagap budaya akan dirasakan si anak ketika beranjak dewasa. Meskipun saya belum membaca riset tentang hal itu, saya mengamati fenomenanya. Fenomena lain adalah lebih sukanya anak muda berbahasa asing daripada bahasa ibu. Ini adalah concern saya pula.
Dalam hal meresponi perkembangan globalisasi, pertahanan kebudayaan akan menjadi semakin lemah. Bukankah peradaban akan runtuh bila gagal memunculkan kreativitas dalam menghadapi tantangan? (lih. Putranto, dalam Sutrisno: 71). Oleh karena itu, identitas budaya yang kuat justru dibutuhkan di tengah-tengah globalisasi informasi ini karena batas-batas budaya itu memudar dan orang yang tidak memiliki akar akan termakan oleh arus budaya yang menyeretnya.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, generasi muda sekarang perlu menempatkan dirinya dalam posisi budayanya masing-masing. Dengan budayanya, kelokalannya, komunitasnya, ke-nasional-annya, dan keseluruhan hidupnya di sini dan kini, akan membangun sebuah dasar yang teguh baginya kelak ketika bergaul dengan orang lain dari seluruh dunia.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik, diterjemahkan oleh Nurhadi, cetakan pertama. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Kanisius: Yogyakarta.
Sugiharto, I Bambang.1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Kanisius: Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar