Perjalanan ke Pondok Indah Mal membuat kami lelah. Macet luar biasa hampir di semua traffic light. Sebenarnya, kemacetan itu tidak terlalu parah jika saja orang tidak seenaknya masuk ke jalur bus way. Untunglah ada handphone, sehingga kita bisa SMS dan main game. Temanku lebih beruntung karena dia membawa laptop, sehingga bisa surfing internet. Saat itulah aku teringat kalau aku harus ke Bank BCA (BCA = Bank Central Asia).
Paragraf di atas mungkin lebih “biasa” dibandingkan dengan Bahasa Indonesia berikut ini:
Perjalanan ke Mal Pondok Indah membuat kami lelah. Kemacetan yang luar biasa terjadi hampir di semua perempatan di mana ada lampu pengatur lalu lintas. Sebenarnya, kemacetan itu tidak terlalu parah, jika orang-orang tidak seenaknya menggunakan jalur bis. Untunglah ada telepon genggam, sehingga kita bisa mengirimkan pesan singkat atau memainkan permainan di dalam telepon genggam. Temanku lebih beruntung karena dia membawa laptop, sehingga bisa menjelajahi internet. Saat itulah aku teringat kalau aku harus ke BCA.
Tidak ada yang salah dengan kedua paragraf tersebut. Dalam percakapan sehari-hari kita telah terbiasa menggunakan dan membentuk kata sesuai keinginan kita.
Bagaimana dengan paragraf berikut ini?
Jalan ke PI Mal bikin gue capek. Macetnya tuh amit-amit, di semua traffic light bok! Sebenernya sih, macetnya tuh gak bakal parah-parah amat kalo orang gak maen srobot tuh jalur busway. But lucky deh, gue ada hape, jadi gue bisa smsan dan ngegame. Sohib gue more lucky tuh, soalnya dia bawa laptop. Dia bisa internetan segala. Nah, saat itulah gue inget kalau gue musti ke BCA.
Bagi anak muda, paragraf paling enak dibaca mungkin adalah paragraf ketiga. Bahasa gaul dicampur dengan sedikit Bahasa Indonesia dan Inggris, jadilah Gaulnesia.
Berabad-abad yang lalu, bahasa Melayu telah menjadi “lingua franca” di Indonesia. Bahasa Melayu pada waktu itu tidaklah sekaya Bahasa Indonesia sekarang. Sebagai tonggaknya, setelah Sumpah Pemuda 1908, Bahasa Indonesia membentuk dirinya sebagai sebuah bahasa yang memiliki kaidah dan perkembangan pesat seperti sekarang ini. Demikian juga Bahasa Indonesia 5 sampai 10 tahun mendatang, pastilah akan lebih kaya dalam hal kosa kata dan ekspresi budaya.
Bagi pengguna Bahasa Indonesia, mungkin fenomena tiga paragraf di atas tidak terlalu dipikirkan. Pakai saja kenapa sih? Apa salahnya? Namun, bagi pengajar Bahasa Indonesia, fenomena di atas cukup memusingkan. Di sanalah awal munculnya inkonsistensi kaidah kebahasaan. Ketika siswa diminta membuat pidato dengan gaya bahasa formal, mereka akan kesulitan.
Lebih pusing lagi: pengajar Bahasa Indonesia untuk penutur asing. Nah, terbayangkah bagaimana mengajarkan bahasa yang masih terus tumbuh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar