Technology moves to meet those needs; and today technology moves at ever-increasing speeds; changes in taste, in some important respects, keep in step. (Hoggart, “Mass Media in a Mass Society”, 2004:10)
Di masa lalu orangtua mendapat laporan mengenai anak-anak mereka di akhir semester atau tahun ajaran. Melalui Rapor, orangtua mengetahui nilai dan kelakuan putra-putri mereka. Namun, seringkali informasi yang diterima orangtua terlambat.
Di masa kini sekolah-sekolah telah memanfaatkan Teknologi Informasi melalui internet. Informasi mengenai kehadiran, nilai, dan aktivitas siswa dapat diketahui melalui website. Seorang siswa tidak bisa berkelit ketika ditanya oleh orangtuanya mengenai Pekerjaan Rumah (PR) karena orangtua mereka telah mengetahuinya melalui website bahwa dia memiliki PR untuk dikerjakan.
Di Indonesia, sayangnya, tidak banyak orangtua yang terbiasa mengakses internet di rumah. Meskipun internet telah menjadi hal wajar, jumlah pemakai internet di kalangan orangtua masih relatif sangat sedikit. Karenanya, alternatif lain yang sebenarnya terbuka adalah melalui pesan singkat atau SMS. Orangtua yang memiliki handphone jauh lebih banyak dibandingkan dengan orangtua yang mengakses internet.
Penggunaan SMS dalam berkomunikasi dengan orangtua dapat menjadi sebuah terobosan baru bagaimana sekolah berkomunikasi dengan orangtua siswa. Bagi kebanyakan orangtua, terutama di kota besar, informasi melalui SMS merupakan hal yang semakin wajar. Selain wajar, informasi melalui layanan SMS dianggap lebih fleksibel, dan selain fleksibel, layanan SMS oleh sekolah akan menjadi prestise tersendiri bagi sekolah. Semakin banyak sekolah memakainya, sekolah yang tidak menggunakan teknologi ini akan dianggap sebagai sekolah yang ketinggalan zaman.
Di tingkat perguruan tinggi, aplikasi SMS ini telah digunakan antara lain untuk mengetahui nilai. Di tingkat sekolah, dari TK, SD, sampai dengan SMA, layanan SMS dapat menyentuh kebutuhan mendasar akan informasi mengenai anak mereka. Apa kegiatan mereka, apa yang mesti disiapkan besok, dan misalnya, apa yang perlu diperhatikan oleh orangtua?
Penggunaan informasi berbasis SMS lebih menguntungkan dan efektif dibandingkan dengan website atau cara-cara konvensional seperti surat karena Pertama, informasi disampaikan secara langsung kepada orangtua. Bandingkanlah dengan informasi di dalam website akan menunggu orangtua untuk membukanya dan dan hal itu tergantung pada koneksi internet. Atau, jika melalui surat yang dititipkan kepada siswa, ada kemungkinan surat tidak sampai kepada orangtua karena berbagai alasan, misalnya lupa atau hilang. Terlebih jika surat yang dimaksud adalah surat peringatan atau teguran, maka hal itu mudah “disembunyikan” oleh siswa bermasalah.
Kedua, informasi disampaikan dengan cepat, bahkan saat itu juga. Hal itu berguna untuk memberikan informasi darurat, selain juga sebagai basis informasi reguler tentang kehadiran, nilai, perilaku, dan lain-lain.
Ketiga, informasi disampaikan dan dibuka sesuai waktu yang dimiliki. Meskipun disampaikan langsung dan segera, informasi melalui SMS dapat dibuka ketika sempat. Bandingkan dengan telepon yang harus diangkat saat itu juga meskipun waktunya sedang tidak tepat.
Keempat, SMS dapat pula dijadikan sebagai reminder agenda-agenda penting sekolah secara otomatis. Di website memang kita dapat melihat agenda kegiatan sekolah dan ada beberapa aplikasi yang dapat membuat reminder, tetapi hal itu tergantung pada waktu kita membuka koneksi ke internet. Reminder dalam bentuk printed juga memiliki kelemahan seperti hilang atau lupa untuk membaca. Oleh karena itu, informasi melalui SMS menjadi salah satu alternatif yang baik karena langsung diterima oleh orangtua pada saatnya.
Ke depan, ada puluhan ribu sekolah di Indonesia dan jutaan orangtua siswa yang dapat terlibat dalam hubungan langsung sekolah – orangtua ini. Hal itu serupakan peluang bagi provider telepon seluler Indonesia untuk membangun sistem komunikasi berbasis SMS. Tantangan pula bagi sekolah-sekolah untuk menyediakan sumber daya manusia dan infrastrukturnya. Sebuah tantangan baru untuk memberikan informasi dan layanan maksimal bagi orangtua siswa dengan cepat, langsung, dan murah.
Inilah saatnya sekolah, melalui teknologi informasi, menempatkan peran kemitraan orangtua dalam pendidikan sebagai partner sekolah dalam mendidik anak-anak mereka. Di sisi lain, secara langsung maupun tak langsung, informasi dan komunikasi berbasis SMS akan menuntut vitalitas sekolah, transparansi, dan kecepatan. Perhatian terhadap siswa akan lebih personal dan intens dan itu merupakan suatu hal yang positif bagi sekolah dan masyarakat.
Kita berharap, dengan munculnya aplikasi informasi dan komunikasi berbasis SMS ini, kualitas pendidikan kita akan semakin setara dengan bangsa lain. Tentu saja, orangtua akan sangat siap dan menunggu-nunggu munculnya informasi dan komunikasi berbasis SMS ini. Masalahnya, jika masyarakat telah siap, telah siapkah sekolah-sekolah kita? (Sigit Setyawan).
Selasa, 02 Oktober 2007
Senin, 01 Oktober 2007
Indonesia Milik Siapa
Dalam tugas artikel bahasa, siswa membuat survey tentang kebiasaan membuang sampah. Mereka menemukan bahwa kebanyakan siswa SMP dan SMA tahu bahwa mereka harus manjaga kebersihan. Namun, sangat banyak dari mereka, yang meskipun tahu, tetapi membuang sampah sembarangan. “Polisi aja buang puntung rokok sembarangan, Pak,” celetuk seorang siswa.
Ada juga siswa yang mengangkat tangan dan mengatakan bahwa pendidikan kita cuma sebatas teori saja. Misalnya, menyeberang di zebra cross, berjalan di trotoar, tanda dilarang stop, semua itu tidak banyak gunanya lagi. Sebagai guru, saya terkesan dengan respon dan keberanian mereka mengutarakan pendapat, tetapi pada saat yang sama, gelisah memikirkan bagaimana merespon siwa-siswa kritis ini di depan kelas.
Saya tidak hendak mengkritisi oknum atau institusi, tetapi lebih ingin menyoroti fenomena dibalik semua itu. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan para siswa kalau hingga saat ini pendidikan kita cuma sebatas teori yang mengawang-awang. Di sisi guru, muncul permasalahan lain, yaitu bagaimana dirinya terjepit diantara sebuah realitas sosial yang berbeda dengan apa yang disampaikan di dalam kelas. Guru seperti terjepit antara dua kehidupan. Dunia kehidupan sehari-hari dan sebuah buku teks yang harus disampaikan di dalam kelas.
Tidak usah jauh-jauh, di kota besar mana pun di Indonesia, kita melihat persoalan yang nyaris sama: perempatan yang semrawut, angkot yang nge-tem dan menaikkan penumpang sembarangan, penyeberang jalan yang seenaknya menyeberang di manapun dan kapanpun dia mau, sampah, rokok, bungkus permen, bungkus makanan di halte, stasiun, dan terminal. Semua sudah biasa.
Di sekolah, alih-alih dianggap memberikan teladan, para guru bisa saja dianggap sok suci, sok baik, atau munafik ketika memberikan contoh. Generasi muda telah menjadi skeptis melihat kenyataan hidup sehari-hari. Dan anehnya, hampir semua orang menganggap permasalahan ini sebagai hal biasa.
Pertanyaannya adalah, apakah hal “sepele” ini harus masuk ke dalam kurikulum? Sementara, persoalan budi pekerti yang sempat dibahas media masa beberapa tahun lalu seperti lenyap begitu saja dari arena diskusi publik, apalagi persoalan membuang sampah, atau mnyeberang pada tempatnya, atau naik bis harus dari halte. Mungkin ini terlalu sepele untuk dibahas.
Namun, bukankah hidup kita memang setiap hari dibangun dari hal-hal “sepele” ini? Rutinitas bangun pagi, sarapan, bekerja, berinteraksi sosial, dan berkebudayaan. Di kota besar seperti Jakarta, macet menjadi makanan sehari-hari. Tanyakan kepada orang Jakarta, komentar mengenai Jakarta, maka jawabnnya adalah, “Ah, biasa.”
Tidakkah semua insan Indonesia menginginkan ketertiban dan kenyamanan? Mungkin jawabannya adalah “ya”. Namun, kembali seperti sikap para siswa, meskipun tahu, mereka tidak mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mampu karena memang tidak ada panutan di dalam sekolah sendiri maupun di dalam masyarakat kita.
Belum lagi kalau kita membicarakan masalah korupsi, “menembak” ketika membuat KTP dan SIM. Hal-hal tak dapat dielakkan, menyulitkan pendidik, baik guru maupun orangtua, dalam mananamkan nilai-nilai kejujuran dan keagungan budaya bangsa kita. Ketika kita membicarakan soal kejujuran dan integritas misalnya, remaja kita mempertanyakan soal kecurangan yang dilakukan orangtuanya, Pak RT, atau Pak Lurah. Juga ketika kita membicarakan tentang moralitas, mereka membicarakan para pejabat yang korupsi. Semua itu didapatnya dari media massa dengan sangat terbuka.
Ketika pemerintah membuat peraturan atau Perda atau Undang-Undang, lalu tidak dijalankan dengan konsisten, di sekolah, siswa yang kritis akan menjadikan itu sebagai referensi bagi mereka untuk melanggar peraturan sekolah. “Undang-undang aja dilanggar kok, Pak,” dan guru Bimbingan Penyuluhan tidak lagi memkai kata-kata mendidik, melainkan hukuman.
Mau tidak mau, disadari atau tidak, institusi sekolah telah menjadi sebuah institusi yang menanggung beban yang sangat berat. Di mana lagi anak-anak kita “mengenal” peraturan, bertingkah laku baik, dan hal-hal yang “seharusnya”, kalau bukan di sekolah? Dari jam tujuh pagi sampai sore hari mereka berada di sekolah dan bagi remaja, hidupnya adalah untuk sekolah.
Ironisnya, sekolah-sekolah kita seperti “kelebihan beban”, sehingga bekerja seperti sebuah mesin yang menyampaikan kurikulum semata. Asal semua materi habis, habis sudah tanggung jawabnya. Kita hanya dapat menghitung dengan jari, sekolah-sekolah yang telah menyadari hal ini dan menjadi sekolah favorite atau unggulan. Namun, jumlah tersebut tidaklah signifikan untuk menjadi agen perubahan di tengah-tengah masyarakat kita.
Maka, apa yang harus dikatakan oleh seorang guru di depan kelas ketika membicarakan tentang moralitas, misalnya. Atau, apa yang harus dikatakan seorang guru apabila siswa mengeluhkan kekecewaan mereka terhadap negerinya setelah menonton Discovery Chanel, National Geography, dan buku-buku referensi tetang negara-negara maju negara tetangga terdekat kita, Malaysia dan Singapura.
Pertanyaannya kemudian adalah apa dasar-dasar kebanggaan mereka kelak atas Indonesia kita, jika kita tidak cepat-cepat memperbaiki keadaan-kedaan “sepele” ini. Alih-alih berjuang bagi bangsa, mereka akan memilih bekerja di luar negeri dengan gaji tinggi dan kebanggaan hidup di negara maju dan merasa telah memenangkan dunia. Akan tetapi, tempat mereka sesungguhnya adalah di negeri mereka sendiri.
Agaknya kita dapat memakai pengandaian ini. Anak makan tidak perlu diajari, bisa sendiri. Anak berjalan perlulah kita tuntun sedikit demi sedikit. Namun, menyeberang jalan dan berperilaku santun, bukanlah alami. Orang tua, guru, dan masyarakat-lah yang harus mengajari.
Dari sisi pendidikan, perlulah kita menimbang sebuah kurikulum mengenai bagaimana seseorang harus hidup menjadi warga negara yang baik. Bagaimana prosedur mengurus KTP yang benar. Bagaimana berperilaku di depan publik dan memperlakukan orang tua, juga penyandang cacat. Semuanya itu akan sangat baik dipelajari sejak dari SMP, bila perlu sejak SD. Biarkan siswa-siswi bereksplorasi dimulai dari lingkungan terdekatnya, tempat di mana dia hidup.
Bagi kebanyakan pendidik, bangga bila siswa-siswinya berhasil, apalagi mengharumkan nama bangsa. Namun, sekarang di tengah-tengah permasalahan bangsa kita ini, pendidik terjepit antara realita dan utopia nasionalisme Indonesia. Sayangnya, sekolah tidak mampu menyediakan sebuah program untuk membuat anak sadar bahwa merekalah kelak yang akan membawa negara mereka di tengah-tengah pergaulan bangsa di seluruh dunia. Ataukah semua ini hanya impian seorang guru yang gelisah semata-mata? (Sigit Setyawan)
Ada juga siswa yang mengangkat tangan dan mengatakan bahwa pendidikan kita cuma sebatas teori saja. Misalnya, menyeberang di zebra cross, berjalan di trotoar, tanda dilarang stop, semua itu tidak banyak gunanya lagi. Sebagai guru, saya terkesan dengan respon dan keberanian mereka mengutarakan pendapat, tetapi pada saat yang sama, gelisah memikirkan bagaimana merespon siwa-siswa kritis ini di depan kelas.
Saya tidak hendak mengkritisi oknum atau institusi, tetapi lebih ingin menyoroti fenomena dibalik semua itu. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan para siswa kalau hingga saat ini pendidikan kita cuma sebatas teori yang mengawang-awang. Di sisi guru, muncul permasalahan lain, yaitu bagaimana dirinya terjepit diantara sebuah realitas sosial yang berbeda dengan apa yang disampaikan di dalam kelas. Guru seperti terjepit antara dua kehidupan. Dunia kehidupan sehari-hari dan sebuah buku teks yang harus disampaikan di dalam kelas.
Tidak usah jauh-jauh, di kota besar mana pun di Indonesia, kita melihat persoalan yang nyaris sama: perempatan yang semrawut, angkot yang nge-tem dan menaikkan penumpang sembarangan, penyeberang jalan yang seenaknya menyeberang di manapun dan kapanpun dia mau, sampah, rokok, bungkus permen, bungkus makanan di halte, stasiun, dan terminal. Semua sudah biasa.
Di sekolah, alih-alih dianggap memberikan teladan, para guru bisa saja dianggap sok suci, sok baik, atau munafik ketika memberikan contoh. Generasi muda telah menjadi skeptis melihat kenyataan hidup sehari-hari. Dan anehnya, hampir semua orang menganggap permasalahan ini sebagai hal biasa.
Pertanyaannya adalah, apakah hal “sepele” ini harus masuk ke dalam kurikulum? Sementara, persoalan budi pekerti yang sempat dibahas media masa beberapa tahun lalu seperti lenyap begitu saja dari arena diskusi publik, apalagi persoalan membuang sampah, atau mnyeberang pada tempatnya, atau naik bis harus dari halte. Mungkin ini terlalu sepele untuk dibahas.
Namun, bukankah hidup kita memang setiap hari dibangun dari hal-hal “sepele” ini? Rutinitas bangun pagi, sarapan, bekerja, berinteraksi sosial, dan berkebudayaan. Di kota besar seperti Jakarta, macet menjadi makanan sehari-hari. Tanyakan kepada orang Jakarta, komentar mengenai Jakarta, maka jawabnnya adalah, “Ah, biasa.”
Tidakkah semua insan Indonesia menginginkan ketertiban dan kenyamanan? Mungkin jawabannya adalah “ya”. Namun, kembali seperti sikap para siswa, meskipun tahu, mereka tidak mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mampu karena memang tidak ada panutan di dalam sekolah sendiri maupun di dalam masyarakat kita.
Belum lagi kalau kita membicarakan masalah korupsi, “menembak” ketika membuat KTP dan SIM. Hal-hal tak dapat dielakkan, menyulitkan pendidik, baik guru maupun orangtua, dalam mananamkan nilai-nilai kejujuran dan keagungan budaya bangsa kita. Ketika kita membicarakan soal kejujuran dan integritas misalnya, remaja kita mempertanyakan soal kecurangan yang dilakukan orangtuanya, Pak RT, atau Pak Lurah. Juga ketika kita membicarakan tentang moralitas, mereka membicarakan para pejabat yang korupsi. Semua itu didapatnya dari media massa dengan sangat terbuka.
Ketika pemerintah membuat peraturan atau Perda atau Undang-Undang, lalu tidak dijalankan dengan konsisten, di sekolah, siswa yang kritis akan menjadikan itu sebagai referensi bagi mereka untuk melanggar peraturan sekolah. “Undang-undang aja dilanggar kok, Pak,” dan guru Bimbingan Penyuluhan tidak lagi memkai kata-kata mendidik, melainkan hukuman.
Mau tidak mau, disadari atau tidak, institusi sekolah telah menjadi sebuah institusi yang menanggung beban yang sangat berat. Di mana lagi anak-anak kita “mengenal” peraturan, bertingkah laku baik, dan hal-hal yang “seharusnya”, kalau bukan di sekolah? Dari jam tujuh pagi sampai sore hari mereka berada di sekolah dan bagi remaja, hidupnya adalah untuk sekolah.
Ironisnya, sekolah-sekolah kita seperti “kelebihan beban”, sehingga bekerja seperti sebuah mesin yang menyampaikan kurikulum semata. Asal semua materi habis, habis sudah tanggung jawabnya. Kita hanya dapat menghitung dengan jari, sekolah-sekolah yang telah menyadari hal ini dan menjadi sekolah favorite atau unggulan. Namun, jumlah tersebut tidaklah signifikan untuk menjadi agen perubahan di tengah-tengah masyarakat kita.
Maka, apa yang harus dikatakan oleh seorang guru di depan kelas ketika membicarakan tentang moralitas, misalnya. Atau, apa yang harus dikatakan seorang guru apabila siswa mengeluhkan kekecewaan mereka terhadap negerinya setelah menonton Discovery Chanel, National Geography, dan buku-buku referensi tetang negara-negara maju negara tetangga terdekat kita, Malaysia dan Singapura.
Pertanyaannya kemudian adalah apa dasar-dasar kebanggaan mereka kelak atas Indonesia kita, jika kita tidak cepat-cepat memperbaiki keadaan-kedaan “sepele” ini. Alih-alih berjuang bagi bangsa, mereka akan memilih bekerja di luar negeri dengan gaji tinggi dan kebanggaan hidup di negara maju dan merasa telah memenangkan dunia. Akan tetapi, tempat mereka sesungguhnya adalah di negeri mereka sendiri.
Agaknya kita dapat memakai pengandaian ini. Anak makan tidak perlu diajari, bisa sendiri. Anak berjalan perlulah kita tuntun sedikit demi sedikit. Namun, menyeberang jalan dan berperilaku santun, bukanlah alami. Orang tua, guru, dan masyarakat-lah yang harus mengajari.
Dari sisi pendidikan, perlulah kita menimbang sebuah kurikulum mengenai bagaimana seseorang harus hidup menjadi warga negara yang baik. Bagaimana prosedur mengurus KTP yang benar. Bagaimana berperilaku di depan publik dan memperlakukan orang tua, juga penyandang cacat. Semuanya itu akan sangat baik dipelajari sejak dari SMP, bila perlu sejak SD. Biarkan siswa-siswi bereksplorasi dimulai dari lingkungan terdekatnya, tempat di mana dia hidup.
Bagi kebanyakan pendidik, bangga bila siswa-siswinya berhasil, apalagi mengharumkan nama bangsa. Namun, sekarang di tengah-tengah permasalahan bangsa kita ini, pendidik terjepit antara realita dan utopia nasionalisme Indonesia. Sayangnya, sekolah tidak mampu menyediakan sebuah program untuk membuat anak sadar bahwa merekalah kelak yang akan membawa negara mereka di tengah-tengah pergaulan bangsa di seluruh dunia. Ataukah semua ini hanya impian seorang guru yang gelisah semata-mata? (Sigit Setyawan)
Kamis, 20 September 2007
Kebijakan Tidak Naik Kelas Perlu Dikaji Kembali
Setiap mendekati masa-masa akhir tahun ajaran, guru-guru disibukkan oleh penentuan nilai dan naik atau tidak naik para murid. Dalam sistem pendidikan kita saat ini, jika seorang siswa mendapatkan angka “merah” atau dibawah angka 6 (skala 10) dalam beberapa pelajaran atau pelajaran tertentu, siswa tersebut dapat dinyatakan tidak naik kelas. Sepertinya hal tersebut adalah hal yang biasa terjadi. Namun, dalam beberapa kasus, hal tersebut merupakan masalah sangat serius.
Sesungguhnya, persoalan seriusnya bukanlah pada seberapa banyak angka merah itu atau nilai pelajaran apa yang merah. Akan tetapi, lebih pada persoalan tepatkah kita – dunia pendidikan dasar dan menengah – menerapkan kebijakan seperti itu? Strategiskah memutuskan seorang siswa tinggal kelas?
Keputusan untuk tidak menaikkan siswa memiliki banyak kelemahan. Pertama, siswa yang bersangkutan akan mengalami delay untuk lulus dengan usia produktif di masa depannya. Kita hitung saja, secara normal rata-rata lulusan S1 adalah berumur 24-25 tahun. Jika anak tinggal kelas akam memiliki kemungkinan juga delay ketika dia lulus S1. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah prestasinya begitu minim karena kemampuan akademis yang lemah, ditambah lagi usianya tidak memungkinkan memperoleh kesempatan lebih panjang dalam mencari pekerjaan sebagai fresh graduate.
Kedua kebijakan itu membuat semacam kondisi takut kalau tidak naik kelas. Fokusnya kemudian bukan pada takut tidak mendapatkan ilmu yang mencukupi, tetapi pada asal naik kelas atau mencari nilai yang pas-pasan. Kondisi ini memunculkan sebuah paradigma “mengatrol” (atau “mendongkrak”) nilai siswa yang rendah supaya naik kelas. Hal itu membuat angka-angka di dalam rapor menjadi angka semu, tidak berbasiskan kepada kemampuan akademis yang sesungguhnya. Mungkin inilah yang membuat dunia kerja atau perguruan tinggi tidak memedulikan angka-angka di rapor. Rapor seharusnya menjadi laporan akademis dan tingkah laku yang historis secara individual, yang merupakan gambaran proses pencapaian pendidikan seseorang.
Ketiga, bagaimana dengan anak-anak berbakat? Misalnya saja seorang anak dengan kemampuan ilmu pasti dan ilmu sosial yang sangat rendah, tetapi nilai kesenian sangat tinggi. Kasus anak berbakat dalam bidang seni, misalnya, jika ia harus tinggal kelas, maka siapa yang tahu bahwa sebenarnya sekolah menunda kesuksesan di masa depannya untuk menjadi seniman yang hebat. Hal tersebut perlu dipertimbangkan lebih lanjut karena dengan “mendongkrak” nilai-nilainya di bidang studi lain berarti memalsukan keadaannya yang sesungguhnya dan tinggal kelas berarti penyiksaan setahun dalam “penderitaan” akademis dan psikologis. Mungkin dia bahkan gagal menjadi seniman.
Dari sudut pandang ketiga hal diatas, kebijakan untuk tidak menaikkelaskan seorang siswa akan membawa dampak buruk bagi si anak. Idealnya setiap anak memiliki hak untuk naik kelas; berapa pun hasil angka yang diperolehnya di level sebelumnya. Namun, bagaimana bila nilai Bahasa Indonesia, Agama, atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) merah? Bukankah itu menunjukkan akhlak yang buruk sehingga sangat layak untuk tidak naik kelas?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat dikembalikan kepada tujuan pembelajaran masing-masing bidang studi. Pertanyaannya adalah apakah si anak mendapat nialai merah karena kelakuan buruknya ataukah karena pengetahuannya yang terbatas? Dari sisi kelakuan buruk yang mengakibatkan nilai moral dan agama reandah, dapat dikatakan bahwa seseorang memiliki attitude yang buruk. Tetapi, apakah itu cukup untuk tidak menaikkelaskan mereka?
Mungkin inilah saatnya untuk mengubah sistem rapor kita. Mungkin seorang siswa di kelas I kelakuannya sangat buruk, tetapi sispa yang menjamin tak berubah di kelas II?
Dalam sistem pendidikan Australia, misalnya, pihak sekolah tidak dapat memutuskan seorang siswa untuk tinggal di level sebelumnya (atau tidak naik kelas). Catatan prestasi akademik itu merupakan catatan yang terus dibawa oleh si anak.
Konsekuensi untuk sistem seperti itu, anak dan orangtua harus serius dan berhati-hati dalam proses pendidikan. Jika si anak berprestasi, maka dapat segera diketahui dejarah atau prosesnya. Sebaliknya, jika tidak serius dan nilainya rendah, pasti akan kesulitan mencari perguruan tinggi yang bermutu. Dengan begitu, masa depan seseorang dapat diperjuangkan dari masa mudanya.
Dengan mengetahui konsekuensi-konsekuensinya, maka proses pendidikan menjadi lebih transparan dan bermutu. Yang terjadi sekarang, seorang siswa diterima atau tidaknya di perguruan tinggi hanya ditentukan dalam satu dua bulan program intensif bimbingan belajar atau berdasarkan keberuntungan satu hari ketika tes seleksi.
Oleh karena itu, mungkin dapat dipikirkan bahwa semua anak berhak naik kelas. Untuk itu, rapor ideal nantinya dilengkapi dengan catatan kelakuan (attitude) dan bakat (talent) anak dari sekolah yang bersangkutan, selain – tentu saja – berisi tentang catatan akademis. Dengan demikian, seseorang dipertimbangkan dalam pekerjaan atau sekolahnya di perguruan tinggi berdasarkan seluruh proses pendidikan yang panjang dalam hidupnya. (Sigit Setyawan, Kompas 23/03/2003).
Sesungguhnya, persoalan seriusnya bukanlah pada seberapa banyak angka merah itu atau nilai pelajaran apa yang merah. Akan tetapi, lebih pada persoalan tepatkah kita – dunia pendidikan dasar dan menengah – menerapkan kebijakan seperti itu? Strategiskah memutuskan seorang siswa tinggal kelas?
Keputusan untuk tidak menaikkan siswa memiliki banyak kelemahan. Pertama, siswa yang bersangkutan akan mengalami delay untuk lulus dengan usia produktif di masa depannya. Kita hitung saja, secara normal rata-rata lulusan S1 adalah berumur 24-25 tahun. Jika anak tinggal kelas akam memiliki kemungkinan juga delay ketika dia lulus S1. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah prestasinya begitu minim karena kemampuan akademis yang lemah, ditambah lagi usianya tidak memungkinkan memperoleh kesempatan lebih panjang dalam mencari pekerjaan sebagai fresh graduate.
Kedua kebijakan itu membuat semacam kondisi takut kalau tidak naik kelas. Fokusnya kemudian bukan pada takut tidak mendapatkan ilmu yang mencukupi, tetapi pada asal naik kelas atau mencari nilai yang pas-pasan. Kondisi ini memunculkan sebuah paradigma “mengatrol” (atau “mendongkrak”) nilai siswa yang rendah supaya naik kelas. Hal itu membuat angka-angka di dalam rapor menjadi angka semu, tidak berbasiskan kepada kemampuan akademis yang sesungguhnya. Mungkin inilah yang membuat dunia kerja atau perguruan tinggi tidak memedulikan angka-angka di rapor. Rapor seharusnya menjadi laporan akademis dan tingkah laku yang historis secara individual, yang merupakan gambaran proses pencapaian pendidikan seseorang.
Ketiga, bagaimana dengan anak-anak berbakat? Misalnya saja seorang anak dengan kemampuan ilmu pasti dan ilmu sosial yang sangat rendah, tetapi nilai kesenian sangat tinggi. Kasus anak berbakat dalam bidang seni, misalnya, jika ia harus tinggal kelas, maka siapa yang tahu bahwa sebenarnya sekolah menunda kesuksesan di masa depannya untuk menjadi seniman yang hebat. Hal tersebut perlu dipertimbangkan lebih lanjut karena dengan “mendongkrak” nilai-nilainya di bidang studi lain berarti memalsukan keadaannya yang sesungguhnya dan tinggal kelas berarti penyiksaan setahun dalam “penderitaan” akademis dan psikologis. Mungkin dia bahkan gagal menjadi seniman.
Dari sudut pandang ketiga hal diatas, kebijakan untuk tidak menaikkelaskan seorang siswa akan membawa dampak buruk bagi si anak. Idealnya setiap anak memiliki hak untuk naik kelas; berapa pun hasil angka yang diperolehnya di level sebelumnya. Namun, bagaimana bila nilai Bahasa Indonesia, Agama, atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) merah? Bukankah itu menunjukkan akhlak yang buruk sehingga sangat layak untuk tidak naik kelas?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat dikembalikan kepada tujuan pembelajaran masing-masing bidang studi. Pertanyaannya adalah apakah si anak mendapat nialai merah karena kelakuan buruknya ataukah karena pengetahuannya yang terbatas? Dari sisi kelakuan buruk yang mengakibatkan nilai moral dan agama reandah, dapat dikatakan bahwa seseorang memiliki attitude yang buruk. Tetapi, apakah itu cukup untuk tidak menaikkelaskan mereka?
Mungkin inilah saatnya untuk mengubah sistem rapor kita. Mungkin seorang siswa di kelas I kelakuannya sangat buruk, tetapi sispa yang menjamin tak berubah di kelas II?
Dalam sistem pendidikan Australia, misalnya, pihak sekolah tidak dapat memutuskan seorang siswa untuk tinggal di level sebelumnya (atau tidak naik kelas). Catatan prestasi akademik itu merupakan catatan yang terus dibawa oleh si anak.
Konsekuensi untuk sistem seperti itu, anak dan orangtua harus serius dan berhati-hati dalam proses pendidikan. Jika si anak berprestasi, maka dapat segera diketahui dejarah atau prosesnya. Sebaliknya, jika tidak serius dan nilainya rendah, pasti akan kesulitan mencari perguruan tinggi yang bermutu. Dengan begitu, masa depan seseorang dapat diperjuangkan dari masa mudanya.
Dengan mengetahui konsekuensi-konsekuensinya, maka proses pendidikan menjadi lebih transparan dan bermutu. Yang terjadi sekarang, seorang siswa diterima atau tidaknya di perguruan tinggi hanya ditentukan dalam satu dua bulan program intensif bimbingan belajar atau berdasarkan keberuntungan satu hari ketika tes seleksi.
Oleh karena itu, mungkin dapat dipikirkan bahwa semua anak berhak naik kelas. Untuk itu, rapor ideal nantinya dilengkapi dengan catatan kelakuan (attitude) dan bakat (talent) anak dari sekolah yang bersangkutan, selain – tentu saja – berisi tentang catatan akademis. Dengan demikian, seseorang dipertimbangkan dalam pekerjaan atau sekolahnya di perguruan tinggi berdasarkan seluruh proses pendidikan yang panjang dalam hidupnya. (Sigit Setyawan, Kompas 23/03/2003).
Minggu, 16 September 2007
Bencana dan Mata Pelajaran Bencana
Pasca tsunami Aceh, banyak pemerintah daerah membuat simulasi tsunami. Pasca gempa Jogja, banyak pemda dan sekolah membuat latihan menghadapi gempa. Gempa di Sumatra juga telah membuat kita cepat bereaksi. Sayangnya, semua itu seolah-olah hanya reaksi sesaat. Tidak ada program tersistem di sekolah dan pelatihan terpadu yang nyata untuk masyarakat umum. Kita cepat bereaksi, tetapi lambat belajar.
Banyak sekolah mengadakan program mata pelajaran komputer, internet, bahasa Inggris tambahan, sampai bahasa asing lain selain bahasa Inggris sebagai mata pelajaran “Muatan Lokal”. Alasannya, semua itu demi masa depan para siswa. Agar para siswa mampu bersaing di era global ini. Sayangnya, untuk menghadapi bahaya nyata dalam kehidupan sehari-hari, hampir tidak ada sekolah yang mempersiapkan para siswanya dengan program pelajaran.
Seharusnya berbagai peristiwa bencana membuat kita belajar tentang satu hal, yaitu bahwa kita harus belajar tentang alam sekitar kita, lingkungan di mana kita hidup.
Seandainya saja yang namanya Muatan Lokal dalam sistem rapor nasional adalah bidang studi lingkungan dan budaya lokal, mungkin masyarakat akan lebih siap menghadapi apapun yang terjadi di sekitarnya. Sebagai contoh, masyarakat pesisir pantai memiliki mata pelajaran Lingkungan dan Budaya Masyarakat Pantai. Kira-kira isinya adalah mengeksplorasi kehidupan pantai dan laut, serta mempelajari kearifan budaya lokal tentang menyelamatkan lingkungan.
Misalnya pula, masyarakat daerah gunung berapi belajar tentang lingkungannya seperti belajar tentang gunung berapi aktif, prosedur evakuasi, dan juga cerita-cerita legenda atau teori-teori ilmiah.
Dalam hal gempa misalnya, para siswa perlu diajarkan tentang bagaimana bila terjadi gempa di rumah, di sekolah, di tempat umum. Apa yang harus dilakukan bila semua itu terjadi.
Yang terjadi kini, masyarakat mudah “lupa” akan fakta bahwa dari Sumatra hingga Flores adalah daerah rawan gempa. Di TV bahkan disebutkan bahwa seluruh Indonesia rawan gempa, kecuali beberapa daerah di Kalimantan dan Papua (Metro TV, 18 Desember 2006, 18:20WIB, wawancara dengan BMG). Kita mungkin bereaksi cepat akan musibah tsunami dan gempa itu. Sayang, tepat atau tidaknya reaksi itu, nantinya masyarakat akan tahu setelah peristiwanya terjadi, bukan sebelumnya.
Selama ini, kita diselamatkan oleh kebetulan semata-mata. Kebetulan ada anak yang pernah mendengar cerita tentang tsunami, sehingga semua orang selamat karena naik ke atas gunung. Kebetulan pernah membaca di internet tentang cara berlindung ketika gempa terjadi, sehingga seseorang selamat.
Kita harus mengubah serba kebetulan ini menjadi sesuatu yang terencana dan ter-sistem. Itulah salah satu tugas institusi pendidikan formal atau sekolah. Bukan hanya bereaksi terhadap bencana, tetapi juga merancang dan bersiap jika hal itu terjadi. Lebih dari itu, dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah, kita menjadikan ancaman bencana sebagai bagian nyata dari hidup. Apabila terjadi, para siswa tidak perlu panik menghadapinya. Mereka tahu apa yang harus dilakukan.
Jelaslah bahwa kesiapan menghadapi bencana, kesulitan hidup, dan mengatasi masa-masa kritis adalah sebuah kebutuhan.
Teori gempa, tsunami, gunung meletus, dan sebagainya idealnya diajarkan di sekolah sesuai dengan kebutuhan lokal. Kiat-kiat atau “resep” menghadapinya pun perlu dirumuskan, sehingga para siswa dapat membagikan itu kepada keluarganya, lingkungan rukun tetangga, desa, hingga seluruh wilayah dalam radius bahaya.
Mungkin beberapa sekolah mengambil jalan pintas seperti melatih siswa, membuat evakuasi buatan, atau memasukkan unsur-unsur pengenalan lingkungan itu ke dalam mata pelajaran yang sudah ada. Namun, latihan yang sifatnya kadang-kadang dan hanya prosedural saja, tidak memberikan wawasan kepada siswa tentang apa yang sebenarnya dihadapi.
Memasukkan informasi tentang tsunami atau gempa ke dalam mata pelajaran dengan tujuan memperkaya wawasan siswa, juga hanya membuat siswa mengerti setengah-setengah atau hanya sampai tataran teori karena pastilah jumlah jam pelajaran untuk itu sangat terbatas.Jika sekolah mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia nyata, bekerja, dan meraih karir, semestinya juga sekolah menyiapkan siswa untuk bagaimana hidup di lingkungannya. Oleh karena itu, mata pelajaran semacam pengenalan terhadap lingkungan dan budaya di sekitar kita perlu ada dan dipelajari sejak anak di usia dini. Kita membutuhkan mata pelajaran bencana untuk menghadapi bencana. (Sigit Setyawan)
Banyak sekolah mengadakan program mata pelajaran komputer, internet, bahasa Inggris tambahan, sampai bahasa asing lain selain bahasa Inggris sebagai mata pelajaran “Muatan Lokal”. Alasannya, semua itu demi masa depan para siswa. Agar para siswa mampu bersaing di era global ini. Sayangnya, untuk menghadapi bahaya nyata dalam kehidupan sehari-hari, hampir tidak ada sekolah yang mempersiapkan para siswanya dengan program pelajaran.
Seharusnya berbagai peristiwa bencana membuat kita belajar tentang satu hal, yaitu bahwa kita harus belajar tentang alam sekitar kita, lingkungan di mana kita hidup.
Seandainya saja yang namanya Muatan Lokal dalam sistem rapor nasional adalah bidang studi lingkungan dan budaya lokal, mungkin masyarakat akan lebih siap menghadapi apapun yang terjadi di sekitarnya. Sebagai contoh, masyarakat pesisir pantai memiliki mata pelajaran Lingkungan dan Budaya Masyarakat Pantai. Kira-kira isinya adalah mengeksplorasi kehidupan pantai dan laut, serta mempelajari kearifan budaya lokal tentang menyelamatkan lingkungan.
Misalnya pula, masyarakat daerah gunung berapi belajar tentang lingkungannya seperti belajar tentang gunung berapi aktif, prosedur evakuasi, dan juga cerita-cerita legenda atau teori-teori ilmiah.
Dalam hal gempa misalnya, para siswa perlu diajarkan tentang bagaimana bila terjadi gempa di rumah, di sekolah, di tempat umum. Apa yang harus dilakukan bila semua itu terjadi.
Yang terjadi kini, masyarakat mudah “lupa” akan fakta bahwa dari Sumatra hingga Flores adalah daerah rawan gempa. Di TV bahkan disebutkan bahwa seluruh Indonesia rawan gempa, kecuali beberapa daerah di Kalimantan dan Papua (Metro TV, 18 Desember 2006, 18:20WIB, wawancara dengan BMG). Kita mungkin bereaksi cepat akan musibah tsunami dan gempa itu. Sayang, tepat atau tidaknya reaksi itu, nantinya masyarakat akan tahu setelah peristiwanya terjadi, bukan sebelumnya.
Selama ini, kita diselamatkan oleh kebetulan semata-mata. Kebetulan ada anak yang pernah mendengar cerita tentang tsunami, sehingga semua orang selamat karena naik ke atas gunung. Kebetulan pernah membaca di internet tentang cara berlindung ketika gempa terjadi, sehingga seseorang selamat.
Kita harus mengubah serba kebetulan ini menjadi sesuatu yang terencana dan ter-sistem. Itulah salah satu tugas institusi pendidikan formal atau sekolah. Bukan hanya bereaksi terhadap bencana, tetapi juga merancang dan bersiap jika hal itu terjadi. Lebih dari itu, dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah, kita menjadikan ancaman bencana sebagai bagian nyata dari hidup. Apabila terjadi, para siswa tidak perlu panik menghadapinya. Mereka tahu apa yang harus dilakukan.
Jelaslah bahwa kesiapan menghadapi bencana, kesulitan hidup, dan mengatasi masa-masa kritis adalah sebuah kebutuhan.
Teori gempa, tsunami, gunung meletus, dan sebagainya idealnya diajarkan di sekolah sesuai dengan kebutuhan lokal. Kiat-kiat atau “resep” menghadapinya pun perlu dirumuskan, sehingga para siswa dapat membagikan itu kepada keluarganya, lingkungan rukun tetangga, desa, hingga seluruh wilayah dalam radius bahaya.
Mungkin beberapa sekolah mengambil jalan pintas seperti melatih siswa, membuat evakuasi buatan, atau memasukkan unsur-unsur pengenalan lingkungan itu ke dalam mata pelajaran yang sudah ada. Namun, latihan yang sifatnya kadang-kadang dan hanya prosedural saja, tidak memberikan wawasan kepada siswa tentang apa yang sebenarnya dihadapi.
Memasukkan informasi tentang tsunami atau gempa ke dalam mata pelajaran dengan tujuan memperkaya wawasan siswa, juga hanya membuat siswa mengerti setengah-setengah atau hanya sampai tataran teori karena pastilah jumlah jam pelajaran untuk itu sangat terbatas.Jika sekolah mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia nyata, bekerja, dan meraih karir, semestinya juga sekolah menyiapkan siswa untuk bagaimana hidup di lingkungannya. Oleh karena itu, mata pelajaran semacam pengenalan terhadap lingkungan dan budaya di sekitar kita perlu ada dan dipelajari sejak anak di usia dini. Kita membutuhkan mata pelajaran bencana untuk menghadapi bencana. (Sigit Setyawan)
Kamis, 13 September 2007
Ujian Nasional: Derita Batin Para Guru
Guru yang berhasil adalah guru yang dapat membawa siswanya lulus sekolah dengan nilai Ujian Nasional yang memuaskan. Guru tersebut layak mendapat pujian dan penghargaan. Guru yang para siswanya tidak lulus, meskipun para siswanya berbudi baik dan kreatif, sebaiknya dievaluasi karena membuat malu nama sekolah dan membuat siswa baru tidak yang mau mendaftar ke sekolah tersebut. Setujukah kita?
Setuju atau tidak setuju, pada kenyataanya dunia pendidikan dasar dan menengah kita saat ini membawa guru pada pemikiran seperti itu. Meskipun tidak sampai ditegur, dievaluasi, atau dipecat, tetapi di dalam hati para guru, kegagalan siswa dalam Ujian Nasional juga telah menjadi ketakutan baru.
Mulai dari kurikulum yang berubah seiring dengan perubahan kabinet, tuntutan kuliah S1, membuat silabus, mencari materi, hingga memastikan para siswanya lulus Ujian Nasional, sempurnalah “penderitaan” para guru. Seolah-olah, ujung dari jerih payah mereka dinilai “hanya” dari lulus tidaknya siswa mereka berdasarkan Ujian Nasional. Maka, tidaklah naif jika banyak guru berkesimpulan bahwa segala daya upaya, jerih lelah, lembur membuat silabus, dan sebagainya itu adalah untuk sebuah Ujian Nasional.
Bayangkan seorang guru yang dengan penuh dedikasi mengajarkan anak didiknya menuangkan gagasan dan opini mereka dalam esei yang kritis dan kreatif. Guru ini memeriksa setiap esei siswanya hingga larut malam, memberikan komentar dan saran perbaikan. Hasilnya, siswa tersebut mampu membuat opini dengan bahasa yang bagus dan di pelajaran lain mereka mampu menganalisis permasalahan dengan lebih baik. Guru memberikan nilai sembilan dari skala sepuluh kepada siswa yang bersangkutan. Nilai itu adalah akumulasi hasil dari kegiatan belajar mengajar di kelas, meliputi aktivitas diskusi, mengutarakan pendapat di kelas, pekerjaan rumah, nilai latihan, ulangan, dan ulangan umum.
Akan tetapi, di akhir tahun sang siswa gagal dalam ujian nasional. Pikiran seperti apakah yang muncul di benak sang guru?
Mungkin dia mengira bahwa dia telah salah menilai siswanya. Lihat, betapa salah dia memberi skor sembilan dari skala sepuluh, padahal pada kenyataannya siswa didiknya mendapat nilai kurang dari lima di Ujian Nasional.
Apa yang akan dilakukan sang guru di tahun berikutnya adalah hal yang menjadi kegelisahan kita semua. Bagaimana dia akan menilai si anak tersebut di tahun berikutnya ketika guru bertemu muka dengan siswa di kelas yang sama. Masihkah dedikasi tahun lalu itu dipertahankan, atau dia akan berubah menjadi guru yang semata-mata “mengejar” target: yang penting lulus Ujian Nasional?
Mempertanyakan Peran Guru
Kita masih kita ingat Ki Hajar Dewantara sebagai guru yang patut ditiru. Ia mengajarkan kepada siswanya bukan hanya ilmu pengetahuan, tetapi juga karakter. Siswa dibawa pada pengalaman belajar menjadi manusia yang utuh, yaitu ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Pada titik tersebut, dua elemen penting dalam diri manusia disatukan, yaitu rasio dan hati nurani.
Pendidik bukan hanya menransfer ilmu tetapi juga memimpin siswa dengan memberikan contoh atau ing ngarsa sung tuladha. Guru harus berani menjadi role model karena para siswa, yang adalah para remaja itu, selalu membutuhkan sosok idola. Bukan hanya itu, pendidik juga mendampingi para siswa ketika mereka melakukan kesalahan atau membantu mereka membangun kreativitas atau daya cipta, Dewantara menyebutnya sebagai ing madya mangun karsa. Dan supaya kelak siswa dapat menghadapi kehidupan nyata, para guru mengawasinya dari belakang dan menegur selagi sempat, memberikan semangat agar mereka berjuang, itulah tut wuri handayani.
Sayangnya, filosofi pendidikan seperti itu tidak terlalu tercermin dalam pendidikan kita sekarang. Siapakah guru profesional itu, seperti apakah wujud peran guru di masa mendatang, apakah seperti Dewantara?
Inilah derita batin para guru Indonesia, di satu sisi digembar-gemborkan sebagai pahlawan yang mendidik anak orang lain, di sisi lain disibukkan dengan mencari penghasilan tambahan untuk menyambung hidup anaknya sendiri. Di satu sisi direpotkan berbagai aturan dan administrasi, di sisi lain dituntut untuk mencerdaskan siswanya lahir batin. Sementara itu, peran guru memberi penilaian kepada siswa yang dikenalnya selama beberapa tahun, tidak mampu berbuat banyak untuk menentukan lulus tidaknya siswanya itu.
Jika Ujian Nasional toh akhirnya datang juga, guru hanya bisa mengelus dada dan berharap bahwa anak didiknya lulus. Kita berharap, pemerintah memperhitungkan peran guru ini dalam sistem penilaian akhir para siswa. Jadi, sebagai pendidik, guru mengajar di kelas untuk memerdekakan siswa dari kebodohan dan membentuk karakter mereka menjadi matang untuk berperan di tengah masyarakat, bukan cuma mengejar target nilai Ujian Nasional semata-mata. Tapi, itu mungkin masih menjadi utopia untuk mengobati hati guru yang menderita. (Sigit. blog)
Setuju atau tidak setuju, pada kenyataanya dunia pendidikan dasar dan menengah kita saat ini membawa guru pada pemikiran seperti itu. Meskipun tidak sampai ditegur, dievaluasi, atau dipecat, tetapi di dalam hati para guru, kegagalan siswa dalam Ujian Nasional juga telah menjadi ketakutan baru.
Mulai dari kurikulum yang berubah seiring dengan perubahan kabinet, tuntutan kuliah S1, membuat silabus, mencari materi, hingga memastikan para siswanya lulus Ujian Nasional, sempurnalah “penderitaan” para guru. Seolah-olah, ujung dari jerih payah mereka dinilai “hanya” dari lulus tidaknya siswa mereka berdasarkan Ujian Nasional. Maka, tidaklah naif jika banyak guru berkesimpulan bahwa segala daya upaya, jerih lelah, lembur membuat silabus, dan sebagainya itu adalah untuk sebuah Ujian Nasional.
Bayangkan seorang guru yang dengan penuh dedikasi mengajarkan anak didiknya menuangkan gagasan dan opini mereka dalam esei yang kritis dan kreatif. Guru ini memeriksa setiap esei siswanya hingga larut malam, memberikan komentar dan saran perbaikan. Hasilnya, siswa tersebut mampu membuat opini dengan bahasa yang bagus dan di pelajaran lain mereka mampu menganalisis permasalahan dengan lebih baik. Guru memberikan nilai sembilan dari skala sepuluh kepada siswa yang bersangkutan. Nilai itu adalah akumulasi hasil dari kegiatan belajar mengajar di kelas, meliputi aktivitas diskusi, mengutarakan pendapat di kelas, pekerjaan rumah, nilai latihan, ulangan, dan ulangan umum.
Akan tetapi, di akhir tahun sang siswa gagal dalam ujian nasional. Pikiran seperti apakah yang muncul di benak sang guru?
Mungkin dia mengira bahwa dia telah salah menilai siswanya. Lihat, betapa salah dia memberi skor sembilan dari skala sepuluh, padahal pada kenyataannya siswa didiknya mendapat nilai kurang dari lima di Ujian Nasional.
Apa yang akan dilakukan sang guru di tahun berikutnya adalah hal yang menjadi kegelisahan kita semua. Bagaimana dia akan menilai si anak tersebut di tahun berikutnya ketika guru bertemu muka dengan siswa di kelas yang sama. Masihkah dedikasi tahun lalu itu dipertahankan, atau dia akan berubah menjadi guru yang semata-mata “mengejar” target: yang penting lulus Ujian Nasional?
Mempertanyakan Peran Guru
Kita masih kita ingat Ki Hajar Dewantara sebagai guru yang patut ditiru. Ia mengajarkan kepada siswanya bukan hanya ilmu pengetahuan, tetapi juga karakter. Siswa dibawa pada pengalaman belajar menjadi manusia yang utuh, yaitu ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Pada titik tersebut, dua elemen penting dalam diri manusia disatukan, yaitu rasio dan hati nurani.
Pendidik bukan hanya menransfer ilmu tetapi juga memimpin siswa dengan memberikan contoh atau ing ngarsa sung tuladha. Guru harus berani menjadi role model karena para siswa, yang adalah para remaja itu, selalu membutuhkan sosok idola. Bukan hanya itu, pendidik juga mendampingi para siswa ketika mereka melakukan kesalahan atau membantu mereka membangun kreativitas atau daya cipta, Dewantara menyebutnya sebagai ing madya mangun karsa. Dan supaya kelak siswa dapat menghadapi kehidupan nyata, para guru mengawasinya dari belakang dan menegur selagi sempat, memberikan semangat agar mereka berjuang, itulah tut wuri handayani.
Sayangnya, filosofi pendidikan seperti itu tidak terlalu tercermin dalam pendidikan kita sekarang. Siapakah guru profesional itu, seperti apakah wujud peran guru di masa mendatang, apakah seperti Dewantara?
Inilah derita batin para guru Indonesia, di satu sisi digembar-gemborkan sebagai pahlawan yang mendidik anak orang lain, di sisi lain disibukkan dengan mencari penghasilan tambahan untuk menyambung hidup anaknya sendiri. Di satu sisi direpotkan berbagai aturan dan administrasi, di sisi lain dituntut untuk mencerdaskan siswanya lahir batin. Sementara itu, peran guru memberi penilaian kepada siswa yang dikenalnya selama beberapa tahun, tidak mampu berbuat banyak untuk menentukan lulus tidaknya siswanya itu.
Jika Ujian Nasional toh akhirnya datang juga, guru hanya bisa mengelus dada dan berharap bahwa anak didiknya lulus. Kita berharap, pemerintah memperhitungkan peran guru ini dalam sistem penilaian akhir para siswa. Jadi, sebagai pendidik, guru mengajar di kelas untuk memerdekakan siswa dari kebodohan dan membentuk karakter mereka menjadi matang untuk berperan di tengah masyarakat, bukan cuma mengejar target nilai Ujian Nasional semata-mata. Tapi, itu mungkin masih menjadi utopia untuk mengobati hati guru yang menderita. (Sigit. blog)
Selasa, 11 September 2007
Ujian Nasional Membingungkan
Belum setahun para guru dibingungkan dengan perubahan kurikulum dan Ujian Nasional (UN) 2005, Depdiknas akan “memodifikasi” lagi di 2006 ini bekerja sama dengan BSNP dan Depag. Simpang-siur dan berubahnya UN membuat masyarakat bingung. Tidak heran jika kita kalah dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Tidak heran pula kalau sekolah internasional menjadi sangat laku di Indonesia. Juga tidak heran orang memilih sekolah ke luar negeri.
Saya mengusulkan kalau UN seperti itu dihapus saja. Depdiknas sebaiknya mengeluarkan beberapa kurikulum untuk dipilih oleh sekolah-sekolah. Yang mampu melaksanakan KBK, biar memilih KBK. Kalau ada yang memilih CBSA, boleh juga. Untuk mengujinya, pihak yang mengeluarkan kurikulumlah yang menguji. Misalnya di Depdiknas ada Divisi KBK, maka merekalah yang membuat kurikulumnya, memantau, dan mengujinya.
Depag juga dapat membuat Kurikulum untuk Pesantren, memantau, menguji, dan memberikan sertifikasi.
Urusan kualitas, biar publik yang menilai. Kualitas kurikulum itu dengan sendirinya akan muncul ke permukaan. Kurikulum yang baik dan berkualitas nantinya pasti akan dipilih oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Nantinya, yang berkualitaslah yang akan bertahan.Kebijakan UN sekarang ini menyedot energi dan dana siswa dan sekolah tidak sedikit jumlahnya, belum lagi kalau gagal, kita ini sepertinya dianggap sebagai orang bodoh. Kemampuan seseorang seolah-olah hanya pada skor UN. Semoga ada perubahan supaya pendidikan kita kompetitif dan menghasilkan manusia Indonesia yang mampu bersaing di tataran global. (Sigit Setyawan, Kompas 18 Januari 2006).
Saya mengusulkan kalau UN seperti itu dihapus saja. Depdiknas sebaiknya mengeluarkan beberapa kurikulum untuk dipilih oleh sekolah-sekolah. Yang mampu melaksanakan KBK, biar memilih KBK. Kalau ada yang memilih CBSA, boleh juga. Untuk mengujinya, pihak yang mengeluarkan kurikulumlah yang menguji. Misalnya di Depdiknas ada Divisi KBK, maka merekalah yang membuat kurikulumnya, memantau, dan mengujinya.
Depag juga dapat membuat Kurikulum untuk Pesantren, memantau, menguji, dan memberikan sertifikasi.
Urusan kualitas, biar publik yang menilai. Kualitas kurikulum itu dengan sendirinya akan muncul ke permukaan. Kurikulum yang baik dan berkualitas nantinya pasti akan dipilih oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Nantinya, yang berkualitaslah yang akan bertahan.Kebijakan UN sekarang ini menyedot energi dan dana siswa dan sekolah tidak sedikit jumlahnya, belum lagi kalau gagal, kita ini sepertinya dianggap sebagai orang bodoh. Kemampuan seseorang seolah-olah hanya pada skor UN. Semoga ada perubahan supaya pendidikan kita kompetitif dan menghasilkan manusia Indonesia yang mampu bersaing di tataran global. (Sigit Setyawan, Kompas 18 Januari 2006).
Sertifikasi Guru, Kualitas atau Legalitas?
Konsekuensi dari diundangkannya UU Guru dan Dosen, salah satunya adalah perlunya sertifikasi bagi para guru. Masyarakat masih menunggu, seperti apa nantinya bentuk sertifikasi tersebut. Jangan-jangan kebiasaan berpikir bahwa semua harus seragam dan semua harus sama, membuat kita terjebak dalam legalitas dan sikap asal-asalan. Budaya “beli” atau “asal dapat”, bahkan korupsi, dikhawatirkan akan muncul demi keluarnya sebuah sertifikat.
Kita tidak dapat menutup mata bahwa di satu sisi, sertifikasi tersebut merupakan beban baru bagi para guru. Apakah sertifikasi itu akan menjadikan tolak ukur kompetensi guru ataukah hanya semacam alat untuk melegalkan sebuah profesi, masih menjadi pertanyaan kita semua.
Apalagi, apabila sertifikasi hanya dikeluarkan oleh pemerintah dan guru diharuskan datang mengikuti kelas untuk sertifikasi itu, suatu pertanyaan muncul, apakah guru memiliki kesadaran untuk meningkatkan kompetensi mengajarnya ataukah justru tidak mau karena merasa telah mampu?
Alih-alih meningkatkan kompetensi, sertifikasi berdasarkan kehadiran di dalam kelasakan memunculkan sikap yang penting datang, duduk, diam, dan dengar. Guru juga kadang tak kuasa menahan jenuhnya kelas, maka bila perlu ngobrol dengan teman atau membaca buku yang menarik untuk membunuh kejenuhan di ruang kelas. Apakah sertifikasi dengan cara semacam ini yang kita butuhkan?
Telah lazim juga bahwa pada acara seminar atau workshop, banyak orang mencari sertifikat semata. Hal itu telah membuat acara seminar, workshop, bahkan loka karya menjadi kehilangan maknanya. Padahal, inti dari acara tersebut adalah munculnya sebuah wawasan atau menambah kompetensi guru. Namun, pertanyaan yang muncul dari calon perserta biasanya adalah, “Dapat sertifikat nggak?” Bagaima jika itu terjadi dalam program sertifikasi guru?
Begitu pentingnya sebuah sertifikat membuat orang menjadi lupa akan tujuan diadakannya sebuah program. Mungkin itulah yang akan terjadi apabila kata “wajib” diartikan sebagai “sama” atau “seragam”.
Ada baiknya jika pemerintah mengembalikan kualitas guru dan sekolah kepada masyarakat. Demikian pula, regulasi sertifikasi guru juga dapat dilakukan oleh pemerintah bersama dengan masyarakat. Jadi, bukan hanya pemerintah saja yang mengeluarkan sertifikasi atau kalayakan seorang guru untuk mengajar.
Ikatan-ikatan sarjana-sarjana, organisasi pendidikan, dan organisasi keagamaan, misalnya saja, dapat memberikan sertifikasi untuk para guru. Tinggal, pemerintah mengeluarkan aturan supaya yang mengeluarkan sertifikasi tersebut disertifikasi lebih dahulu oleh pemerintah.
Persatuan atau organisasi guru yang telah ada pun akan baik apabila dapat memberikan sertifikasi. Dangan cara seperti itu, organisasi yang bersangkutan justru akan lebih peduli pada kualitas guru yang disertifikasi dengan mengontrol dan mengevaluasinya, karena jika tidak, maka kredibilatas organisasi menjadi taruhannya.
Pada akhirnya nanti, apakah seorang guru layak mengajar atau tidak, kepala sekolah atau komunitas sekolah yang akan merasakan secara langsung. Karena bagaimanapun, anak didiklah yang sebenarnya paling tahu dan merasakan kualitas sang guru. Maka, dalam hal ini, sekolah harus juga dilibatkan dalam memonitor kelayakan mengajar seorang guru. Idealnya, sekolah dapat memberikan report jika ada keluhan, sehingga organisasi yang memberikan sertifikasi atau pemerintah dapat menarik sertifikatnya atau memaksa guru yang bersangkutan berubah melalui prosedur tertentu.
Paradigma kalau sudah bersertifikat berarti beres juga akan menjadi batu sandungan bagi kualitas pendidikan kita. Sertifikasi haruslah berkala dan setelah mencapai tingkatan tertentu dan proses panjang, barulah guru yang bersangkutan ditetapkan melalui “certificate of excellence” berupa pengakuan oleh suatu organisasi atau pemerintah bahwa yang bersangkutan memang layak disebut sebagai guru. Proses pengakuan semacam itu haruslah melalui sebuah tahapan waktu dan membutuhkan rekomendasi oleh sekolah atau masyarakat melalui organisasi tertentu. Hal itu justru akan menjadi kebanggaan, baik bagi guru, sekolah, maupun anak didik. Bahkan, sertifikat semacam itulah yang dapat dipublikasikan sekolah untuk menarik simpati masyarakat.
Sama seperti seorang calon dokter yang baru lulus dari universitas harus berjuang untuk membuat dirinya layak untuk membuka praktik, demikianlah seorang guru harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari lembaga-lembaga sertifikasi supaya dirinya layak untuk mengajar.Pada akhirnya, akankah kualitas guru ditentukan oleh sertifikasi yang dikeluarkan atau sertifikasi hanyalah sebuah legalitas semata-mata, akan dibuktikan oleh waktu. Kita semua berharap, undang-undang dan sertifikasi ini kembali pada tujuannya semula, yaitu menaikkan kualitas pendidikan di negeri kita supaya sejajar bahkan lebih unggul dibandingkan dengan negara lain. (Sigit Setyawan, Kompas 3 April 2006)
Kita tidak dapat menutup mata bahwa di satu sisi, sertifikasi tersebut merupakan beban baru bagi para guru. Apakah sertifikasi itu akan menjadikan tolak ukur kompetensi guru ataukah hanya semacam alat untuk melegalkan sebuah profesi, masih menjadi pertanyaan kita semua.
Apalagi, apabila sertifikasi hanya dikeluarkan oleh pemerintah dan guru diharuskan datang mengikuti kelas untuk sertifikasi itu, suatu pertanyaan muncul, apakah guru memiliki kesadaran untuk meningkatkan kompetensi mengajarnya ataukah justru tidak mau karena merasa telah mampu?
Alih-alih meningkatkan kompetensi, sertifikasi berdasarkan kehadiran di dalam kelasakan memunculkan sikap yang penting datang, duduk, diam, dan dengar. Guru juga kadang tak kuasa menahan jenuhnya kelas, maka bila perlu ngobrol dengan teman atau membaca buku yang menarik untuk membunuh kejenuhan di ruang kelas. Apakah sertifikasi dengan cara semacam ini yang kita butuhkan?
Telah lazim juga bahwa pada acara seminar atau workshop, banyak orang mencari sertifikat semata. Hal itu telah membuat acara seminar, workshop, bahkan loka karya menjadi kehilangan maknanya. Padahal, inti dari acara tersebut adalah munculnya sebuah wawasan atau menambah kompetensi guru. Namun, pertanyaan yang muncul dari calon perserta biasanya adalah, “Dapat sertifikat nggak?” Bagaima jika itu terjadi dalam program sertifikasi guru?
Begitu pentingnya sebuah sertifikat membuat orang menjadi lupa akan tujuan diadakannya sebuah program. Mungkin itulah yang akan terjadi apabila kata “wajib” diartikan sebagai “sama” atau “seragam”.
Ada baiknya jika pemerintah mengembalikan kualitas guru dan sekolah kepada masyarakat. Demikian pula, regulasi sertifikasi guru juga dapat dilakukan oleh pemerintah bersama dengan masyarakat. Jadi, bukan hanya pemerintah saja yang mengeluarkan sertifikasi atau kalayakan seorang guru untuk mengajar.
Ikatan-ikatan sarjana-sarjana, organisasi pendidikan, dan organisasi keagamaan, misalnya saja, dapat memberikan sertifikasi untuk para guru. Tinggal, pemerintah mengeluarkan aturan supaya yang mengeluarkan sertifikasi tersebut disertifikasi lebih dahulu oleh pemerintah.
Persatuan atau organisasi guru yang telah ada pun akan baik apabila dapat memberikan sertifikasi. Dangan cara seperti itu, organisasi yang bersangkutan justru akan lebih peduli pada kualitas guru yang disertifikasi dengan mengontrol dan mengevaluasinya, karena jika tidak, maka kredibilatas organisasi menjadi taruhannya.
Pada akhirnya nanti, apakah seorang guru layak mengajar atau tidak, kepala sekolah atau komunitas sekolah yang akan merasakan secara langsung. Karena bagaimanapun, anak didiklah yang sebenarnya paling tahu dan merasakan kualitas sang guru. Maka, dalam hal ini, sekolah harus juga dilibatkan dalam memonitor kelayakan mengajar seorang guru. Idealnya, sekolah dapat memberikan report jika ada keluhan, sehingga organisasi yang memberikan sertifikasi atau pemerintah dapat menarik sertifikatnya atau memaksa guru yang bersangkutan berubah melalui prosedur tertentu.
Paradigma kalau sudah bersertifikat berarti beres juga akan menjadi batu sandungan bagi kualitas pendidikan kita. Sertifikasi haruslah berkala dan setelah mencapai tingkatan tertentu dan proses panjang, barulah guru yang bersangkutan ditetapkan melalui “certificate of excellence” berupa pengakuan oleh suatu organisasi atau pemerintah bahwa yang bersangkutan memang layak disebut sebagai guru. Proses pengakuan semacam itu haruslah melalui sebuah tahapan waktu dan membutuhkan rekomendasi oleh sekolah atau masyarakat melalui organisasi tertentu. Hal itu justru akan menjadi kebanggaan, baik bagi guru, sekolah, maupun anak didik. Bahkan, sertifikat semacam itulah yang dapat dipublikasikan sekolah untuk menarik simpati masyarakat.
Sama seperti seorang calon dokter yang baru lulus dari universitas harus berjuang untuk membuat dirinya layak untuk membuka praktik, demikianlah seorang guru harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari lembaga-lembaga sertifikasi supaya dirinya layak untuk mengajar.Pada akhirnya, akankah kualitas guru ditentukan oleh sertifikasi yang dikeluarkan atau sertifikasi hanyalah sebuah legalitas semata-mata, akan dibuktikan oleh waktu. Kita semua berharap, undang-undang dan sertifikasi ini kembali pada tujuannya semula, yaitu menaikkan kualitas pendidikan di negeri kita supaya sejajar bahkan lebih unggul dibandingkan dengan negara lain. (Sigit Setyawan, Kompas 3 April 2006)
Langganan:
Postingan (Atom)