Senin, 01 Oktober 2007

Indonesia Milik Siapa

Dalam tugas artikel bahasa, siswa membuat survey tentang kebiasaan membuang sampah. Mereka menemukan bahwa kebanyakan siswa SMP dan SMA tahu bahwa mereka harus manjaga kebersihan. Namun, sangat banyak dari mereka, yang meskipun tahu, tetapi membuang sampah sembarangan. “Polisi aja buang puntung rokok sembarangan, Pak,” celetuk seorang siswa.

Ada juga siswa yang mengangkat tangan dan mengatakan bahwa pendidikan kita cuma sebatas teori saja. Misalnya, menyeberang di zebra cross, berjalan di trotoar, tanda dilarang stop, semua itu tidak banyak gunanya lagi. Sebagai guru, saya terkesan dengan respon dan keberanian mereka mengutarakan pendapat, tetapi pada saat yang sama, gelisah memikirkan bagaimana merespon siwa-siswa kritis ini di depan kelas.

Saya tidak hendak mengkritisi oknum atau institusi, tetapi lebih ingin menyoroti fenomena dibalik semua itu. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan para siswa kalau hingga saat ini pendidikan kita cuma sebatas teori yang mengawang-awang. Di sisi guru, muncul permasalahan lain, yaitu bagaimana dirinya terjepit diantara sebuah realitas sosial yang berbeda dengan apa yang disampaikan di dalam kelas. Guru seperti terjepit antara dua kehidupan. Dunia kehidupan sehari-hari dan sebuah buku teks yang harus disampaikan di dalam kelas.

Tidak usah jauh-jauh, di kota besar mana pun di Indonesia, kita melihat persoalan yang nyaris sama: perempatan yang semrawut, angkot yang nge-tem dan menaikkan penumpang sembarangan, penyeberang jalan yang seenaknya menyeberang di manapun dan kapanpun dia mau, sampah, rokok, bungkus permen, bungkus makanan di halte, stasiun, dan terminal. Semua sudah biasa.

Di sekolah, alih-alih dianggap memberikan teladan, para guru bisa saja dianggap sok suci, sok baik, atau munafik ketika memberikan contoh. Generasi muda telah menjadi skeptis melihat kenyataan hidup sehari-hari. Dan anehnya, hampir semua orang menganggap permasalahan ini sebagai hal biasa.

Pertanyaannya adalah, apakah hal “sepele” ini harus masuk ke dalam kurikulum? Sementara, persoalan budi pekerti yang sempat dibahas media masa beberapa tahun lalu seperti lenyap begitu saja dari arena diskusi publik, apalagi persoalan membuang sampah, atau mnyeberang pada tempatnya, atau naik bis harus dari halte. Mungkin ini terlalu sepele untuk dibahas.
Namun, bukankah hidup kita memang setiap hari dibangun dari hal-hal “sepele” ini? Rutinitas bangun pagi, sarapan, bekerja, berinteraksi sosial, dan berkebudayaan. Di kota besar seperti Jakarta, macet menjadi makanan sehari-hari. Tanyakan kepada orang Jakarta, komentar mengenai Jakarta, maka jawabnnya adalah, “Ah, biasa.”

Tidakkah semua insan Indonesia menginginkan ketertiban dan kenyamanan? Mungkin jawabannya adalah “ya”. Namun, kembali seperti sikap para siswa, meskipun tahu, mereka tidak mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mampu karena memang tidak ada panutan di dalam sekolah sendiri maupun di dalam masyarakat kita.
Belum lagi kalau kita membicarakan masalah korupsi, “menembak” ketika membuat KTP dan SIM. Hal-hal tak dapat dielakkan, menyulitkan pendidik, baik guru maupun orangtua, dalam mananamkan nilai-nilai kejujuran dan keagungan budaya bangsa kita. Ketika kita membicarakan soal kejujuran dan integritas misalnya, remaja kita mempertanyakan soal kecurangan yang dilakukan orangtuanya, Pak RT, atau Pak Lurah. Juga ketika kita membicarakan tentang moralitas, mereka membicarakan para pejabat yang korupsi. Semua itu didapatnya dari media massa dengan sangat terbuka.

Ketika pemerintah membuat peraturan atau Perda atau Undang-Undang, lalu tidak dijalankan dengan konsisten, di sekolah, siswa yang kritis akan menjadikan itu sebagai referensi bagi mereka untuk melanggar peraturan sekolah. “Undang-undang aja dilanggar kok, Pak,” dan guru Bimbingan Penyuluhan tidak lagi memkai kata-kata mendidik, melainkan hukuman.
Mau tidak mau, disadari atau tidak, institusi sekolah telah menjadi sebuah institusi yang menanggung beban yang sangat berat. Di mana lagi anak-anak kita “mengenal” peraturan, bertingkah laku baik, dan hal-hal yang “seharusnya”, kalau bukan di sekolah? Dari jam tujuh pagi sampai sore hari mereka berada di sekolah dan bagi remaja, hidupnya adalah untuk sekolah.

Ironisnya, sekolah-sekolah kita seperti “kelebihan beban”, sehingga bekerja seperti sebuah mesin yang menyampaikan kurikulum semata. Asal semua materi habis, habis sudah tanggung jawabnya. Kita hanya dapat menghitung dengan jari, sekolah-sekolah yang telah menyadari hal ini dan menjadi sekolah favorite atau unggulan. Namun, jumlah tersebut tidaklah signifikan untuk menjadi agen perubahan di tengah-tengah masyarakat kita.

Maka, apa yang harus dikatakan oleh seorang guru di depan kelas ketika membicarakan tentang moralitas, misalnya. Atau, apa yang harus dikatakan seorang guru apabila siswa mengeluhkan kekecewaan mereka terhadap negerinya setelah menonton Discovery Chanel, National Geography, dan buku-buku referensi tetang negara-negara maju negara tetangga terdekat kita, Malaysia dan Singapura.

Pertanyaannya kemudian adalah apa dasar-dasar kebanggaan mereka kelak atas Indonesia kita, jika kita tidak cepat-cepat memperbaiki keadaan-kedaan “sepele” ini. Alih-alih berjuang bagi bangsa, mereka akan memilih bekerja di luar negeri dengan gaji tinggi dan kebanggaan hidup di negara maju dan merasa telah memenangkan dunia. Akan tetapi, tempat mereka sesungguhnya adalah di negeri mereka sendiri.

Agaknya kita dapat memakai pengandaian ini. Anak makan tidak perlu diajari, bisa sendiri. Anak berjalan perlulah kita tuntun sedikit demi sedikit. Namun, menyeberang jalan dan berperilaku santun, bukanlah alami. Orang tua, guru, dan masyarakat-lah yang harus mengajari.

Dari sisi pendidikan, perlulah kita menimbang sebuah kurikulum mengenai bagaimana seseorang harus hidup menjadi warga negara yang baik. Bagaimana prosedur mengurus KTP yang benar. Bagaimana berperilaku di depan publik dan memperlakukan orang tua, juga penyandang cacat. Semuanya itu akan sangat baik dipelajari sejak dari SMP, bila perlu sejak SD. Biarkan siswa-siswi bereksplorasi dimulai dari lingkungan terdekatnya, tempat di mana dia hidup.

Bagi kebanyakan pendidik, bangga bila siswa-siswinya berhasil, apalagi mengharumkan nama bangsa. Namun, sekarang di tengah-tengah permasalahan bangsa kita ini, pendidik terjepit antara realita dan utopia nasionalisme Indonesia. Sayangnya, sekolah tidak mampu menyediakan sebuah program untuk membuat anak sadar bahwa merekalah kelak yang akan membawa negara mereka di tengah-tengah pergaulan bangsa di seluruh dunia. Ataukah semua ini hanya impian seorang guru yang gelisah semata-mata? (Sigit Setyawan)

Tidak ada komentar: