Kamis, 20 September 2007

Kebijakan Tidak Naik Kelas Perlu Dikaji Kembali

Setiap mendekati masa-masa akhir tahun ajaran, guru-guru disibukkan oleh penentuan nilai dan naik atau tidak naik para murid. Dalam sistem pendidikan kita saat ini, jika seorang siswa mendapatkan angka “merah” atau dibawah angka 6 (skala 10) dalam beberapa pelajaran atau pelajaran tertentu, siswa tersebut dapat dinyatakan tidak naik kelas. Sepertinya hal tersebut adalah hal yang biasa terjadi. Namun, dalam beberapa kasus, hal tersebut merupakan masalah sangat serius.

Sesungguhnya, persoalan seriusnya bukanlah pada seberapa banyak angka merah itu atau nilai pelajaran apa yang merah. Akan tetapi, lebih pada persoalan tepatkah kita – dunia pendidikan dasar dan menengah – menerapkan kebijakan seperti itu? Strategiskah memutuskan seorang siswa tinggal kelas?

Keputusan untuk tidak menaikkan siswa memiliki banyak kelemahan. Pertama, siswa yang bersangkutan akan mengalami delay untuk lulus dengan usia produktif di masa depannya. Kita hitung saja, secara normal rata-rata lulusan S1 adalah berumur 24-25 tahun. Jika anak tinggal kelas akam memiliki kemungkinan juga delay ketika dia lulus S1. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah prestasinya begitu minim karena kemampuan akademis yang lemah, ditambah lagi usianya tidak memungkinkan memperoleh kesempatan lebih panjang dalam mencari pekerjaan sebagai fresh graduate.

Kedua kebijakan itu membuat semacam kondisi takut kalau tidak naik kelas. Fokusnya kemudian bukan pada takut tidak mendapatkan ilmu yang mencukupi, tetapi pada asal naik kelas atau mencari nilai yang pas-pasan. Kondisi ini memunculkan sebuah paradigma “mengatrol” (atau “mendongkrak”) nilai siswa yang rendah supaya naik kelas. Hal itu membuat angka-angka di dalam rapor menjadi angka semu, tidak berbasiskan kepada kemampuan akademis yang sesungguhnya. Mungkin inilah yang membuat dunia kerja atau perguruan tinggi tidak memedulikan angka-angka di rapor. Rapor seharusnya menjadi laporan akademis dan tingkah laku yang historis secara individual, yang merupakan gambaran proses pencapaian pendidikan seseorang.

Ketiga, bagaimana dengan anak-anak berbakat? Misalnya saja seorang anak dengan kemampuan ilmu pasti dan ilmu sosial yang sangat rendah, tetapi nilai kesenian sangat tinggi. Kasus anak berbakat dalam bidang seni, misalnya, jika ia harus tinggal kelas, maka siapa yang tahu bahwa sebenarnya sekolah menunda kesuksesan di masa depannya untuk menjadi seniman yang hebat. Hal tersebut perlu dipertimbangkan lebih lanjut karena dengan “mendongkrak” nilai-nilainya di bidang studi lain berarti memalsukan keadaannya yang sesungguhnya dan tinggal kelas berarti penyiksaan setahun dalam “penderitaan” akademis dan psikologis. Mungkin dia bahkan gagal menjadi seniman.

Dari sudut pandang ketiga hal diatas, kebijakan untuk tidak menaikkelaskan seorang siswa akan membawa dampak buruk bagi si anak. Idealnya setiap anak memiliki hak untuk naik kelas; berapa pun hasil angka yang diperolehnya di level sebelumnya. Namun, bagaimana bila nilai Bahasa Indonesia, Agama, atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) merah? Bukankah itu menunjukkan akhlak yang buruk sehingga sangat layak untuk tidak naik kelas?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat dikembalikan kepada tujuan pembelajaran masing-masing bidang studi. Pertanyaannya adalah apakah si anak mendapat nialai merah karena kelakuan buruknya ataukah karena pengetahuannya yang terbatas? Dari sisi kelakuan buruk yang mengakibatkan nilai moral dan agama reandah, dapat dikatakan bahwa seseorang memiliki attitude yang buruk. Tetapi, apakah itu cukup untuk tidak menaikkelaskan mereka?

Mungkin inilah saatnya untuk mengubah sistem rapor kita. Mungkin seorang siswa di kelas I kelakuannya sangat buruk, tetapi sispa yang menjamin tak berubah di kelas II?

Dalam sistem pendidikan Australia, misalnya, pihak sekolah tidak dapat memutuskan seorang siswa untuk tinggal di level sebelumnya (atau tidak naik kelas). Catatan prestasi akademik itu merupakan catatan yang terus dibawa oleh si anak.

Konsekuensi untuk sistem seperti itu, anak dan orangtua harus serius dan berhati-hati dalam proses pendidikan. Jika si anak berprestasi, maka dapat segera diketahui dejarah atau prosesnya. Sebaliknya, jika tidak serius dan nilainya rendah, pasti akan kesulitan mencari perguruan tinggi yang bermutu. Dengan begitu, masa depan seseorang dapat diperjuangkan dari masa mudanya.

Dengan mengetahui konsekuensi-konsekuensinya, maka proses pendidikan menjadi lebih transparan dan bermutu. Yang terjadi sekarang, seorang siswa diterima atau tidaknya di perguruan tinggi hanya ditentukan dalam satu dua bulan program intensif bimbingan belajar atau berdasarkan keberuntungan satu hari ketika tes seleksi.

Oleh karena itu, mungkin dapat dipikirkan bahwa semua anak berhak naik kelas. Untuk itu, rapor ideal nantinya dilengkapi dengan catatan kelakuan (attitude) dan bakat (talent) anak dari sekolah yang bersangkutan, selain – tentu saja – berisi tentang catatan akademis. Dengan demikian, seseorang dipertimbangkan dalam pekerjaan atau sekolahnya di perguruan tinggi berdasarkan seluruh proses pendidikan yang panjang dalam hidupnya. (Sigit Setyawan, Kompas 23/03/2003).

Tidak ada komentar: