Belum setahun para guru dibingungkan dengan perubahan kurikulum dan Ujian Nasional (UN) 2005, Depdiknas akan “memodifikasi” lagi di 2006 ini bekerja sama dengan BSNP dan Depag. Simpang-siur dan berubahnya UN membuat masyarakat bingung. Tidak heran jika kita kalah dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Tidak heran pula kalau sekolah internasional menjadi sangat laku di Indonesia. Juga tidak heran orang memilih sekolah ke luar negeri.
Saya mengusulkan kalau UN seperti itu dihapus saja. Depdiknas sebaiknya mengeluarkan beberapa kurikulum untuk dipilih oleh sekolah-sekolah. Yang mampu melaksanakan KBK, biar memilih KBK. Kalau ada yang memilih CBSA, boleh juga. Untuk mengujinya, pihak yang mengeluarkan kurikulumlah yang menguji. Misalnya di Depdiknas ada Divisi KBK, maka merekalah yang membuat kurikulumnya, memantau, dan mengujinya.
Depag juga dapat membuat Kurikulum untuk Pesantren, memantau, menguji, dan memberikan sertifikasi.
Urusan kualitas, biar publik yang menilai. Kualitas kurikulum itu dengan sendirinya akan muncul ke permukaan. Kurikulum yang baik dan berkualitas nantinya pasti akan dipilih oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Nantinya, yang berkualitaslah yang akan bertahan.Kebijakan UN sekarang ini menyedot energi dan dana siswa dan sekolah tidak sedikit jumlahnya, belum lagi kalau gagal, kita ini sepertinya dianggap sebagai orang bodoh. Kemampuan seseorang seolah-olah hanya pada skor UN. Semoga ada perubahan supaya pendidikan kita kompetitif dan menghasilkan manusia Indonesia yang mampu bersaing di tataran global. (Sigit Setyawan, Kompas 18 Januari 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar