Guru yang berhasil adalah guru yang dapat membawa siswanya lulus sekolah dengan nilai Ujian Nasional yang memuaskan. Guru tersebut layak mendapat pujian dan penghargaan. Guru yang para siswanya tidak lulus, meskipun para siswanya berbudi baik dan kreatif, sebaiknya dievaluasi karena membuat malu nama sekolah dan membuat siswa baru tidak yang mau mendaftar ke sekolah tersebut. Setujukah kita?
Setuju atau tidak setuju, pada kenyataanya dunia pendidikan dasar dan menengah kita saat ini membawa guru pada pemikiran seperti itu. Meskipun tidak sampai ditegur, dievaluasi, atau dipecat, tetapi di dalam hati para guru, kegagalan siswa dalam Ujian Nasional juga telah menjadi ketakutan baru.
Mulai dari kurikulum yang berubah seiring dengan perubahan kabinet, tuntutan kuliah S1, membuat silabus, mencari materi, hingga memastikan para siswanya lulus Ujian Nasional, sempurnalah “penderitaan” para guru. Seolah-olah, ujung dari jerih payah mereka dinilai “hanya” dari lulus tidaknya siswa mereka berdasarkan Ujian Nasional. Maka, tidaklah naif jika banyak guru berkesimpulan bahwa segala daya upaya, jerih lelah, lembur membuat silabus, dan sebagainya itu adalah untuk sebuah Ujian Nasional.
Bayangkan seorang guru yang dengan penuh dedikasi mengajarkan anak didiknya menuangkan gagasan dan opini mereka dalam esei yang kritis dan kreatif. Guru ini memeriksa setiap esei siswanya hingga larut malam, memberikan komentar dan saran perbaikan. Hasilnya, siswa tersebut mampu membuat opini dengan bahasa yang bagus dan di pelajaran lain mereka mampu menganalisis permasalahan dengan lebih baik. Guru memberikan nilai sembilan dari skala sepuluh kepada siswa yang bersangkutan. Nilai itu adalah akumulasi hasil dari kegiatan belajar mengajar di kelas, meliputi aktivitas diskusi, mengutarakan pendapat di kelas, pekerjaan rumah, nilai latihan, ulangan, dan ulangan umum.
Akan tetapi, di akhir tahun sang siswa gagal dalam ujian nasional. Pikiran seperti apakah yang muncul di benak sang guru?
Mungkin dia mengira bahwa dia telah salah menilai siswanya. Lihat, betapa salah dia memberi skor sembilan dari skala sepuluh, padahal pada kenyataannya siswa didiknya mendapat nilai kurang dari lima di Ujian Nasional.
Apa yang akan dilakukan sang guru di tahun berikutnya adalah hal yang menjadi kegelisahan kita semua. Bagaimana dia akan menilai si anak tersebut di tahun berikutnya ketika guru bertemu muka dengan siswa di kelas yang sama. Masihkah dedikasi tahun lalu itu dipertahankan, atau dia akan berubah menjadi guru yang semata-mata “mengejar” target: yang penting lulus Ujian Nasional?
Mempertanyakan Peran Guru
Kita masih kita ingat Ki Hajar Dewantara sebagai guru yang patut ditiru. Ia mengajarkan kepada siswanya bukan hanya ilmu pengetahuan, tetapi juga karakter. Siswa dibawa pada pengalaman belajar menjadi manusia yang utuh, yaitu ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Pada titik tersebut, dua elemen penting dalam diri manusia disatukan, yaitu rasio dan hati nurani.
Pendidik bukan hanya menransfer ilmu tetapi juga memimpin siswa dengan memberikan contoh atau ing ngarsa sung tuladha. Guru harus berani menjadi role model karena para siswa, yang adalah para remaja itu, selalu membutuhkan sosok idola. Bukan hanya itu, pendidik juga mendampingi para siswa ketika mereka melakukan kesalahan atau membantu mereka membangun kreativitas atau daya cipta, Dewantara menyebutnya sebagai ing madya mangun karsa. Dan supaya kelak siswa dapat menghadapi kehidupan nyata, para guru mengawasinya dari belakang dan menegur selagi sempat, memberikan semangat agar mereka berjuang, itulah tut wuri handayani.
Sayangnya, filosofi pendidikan seperti itu tidak terlalu tercermin dalam pendidikan kita sekarang. Siapakah guru profesional itu, seperti apakah wujud peran guru di masa mendatang, apakah seperti Dewantara?
Inilah derita batin para guru Indonesia, di satu sisi digembar-gemborkan sebagai pahlawan yang mendidik anak orang lain, di sisi lain disibukkan dengan mencari penghasilan tambahan untuk menyambung hidup anaknya sendiri. Di satu sisi direpotkan berbagai aturan dan administrasi, di sisi lain dituntut untuk mencerdaskan siswanya lahir batin. Sementara itu, peran guru memberi penilaian kepada siswa yang dikenalnya selama beberapa tahun, tidak mampu berbuat banyak untuk menentukan lulus tidaknya siswanya itu.
Jika Ujian Nasional toh akhirnya datang juga, guru hanya bisa mengelus dada dan berharap bahwa anak didiknya lulus. Kita berharap, pemerintah memperhitungkan peran guru ini dalam sistem penilaian akhir para siswa. Jadi, sebagai pendidik, guru mengajar di kelas untuk memerdekakan siswa dari kebodohan dan membentuk karakter mereka menjadi matang untuk berperan di tengah masyarakat, bukan cuma mengejar target nilai Ujian Nasional semata-mata. Tapi, itu mungkin masih menjadi utopia untuk mengobati hati guru yang menderita. (Sigit. blog)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar