Konsekuensi dari diundangkannya UU Guru dan Dosen, salah satunya adalah perlunya sertifikasi bagi para guru. Masyarakat masih menunggu, seperti apa nantinya bentuk sertifikasi tersebut. Jangan-jangan kebiasaan berpikir bahwa semua harus seragam dan semua harus sama, membuat kita terjebak dalam legalitas dan sikap asal-asalan. Budaya “beli” atau “asal dapat”, bahkan korupsi, dikhawatirkan akan muncul demi keluarnya sebuah sertifikat.
Kita tidak dapat menutup mata bahwa di satu sisi, sertifikasi tersebut merupakan beban baru bagi para guru. Apakah sertifikasi itu akan menjadikan tolak ukur kompetensi guru ataukah hanya semacam alat untuk melegalkan sebuah profesi, masih menjadi pertanyaan kita semua.
Apalagi, apabila sertifikasi hanya dikeluarkan oleh pemerintah dan guru diharuskan datang mengikuti kelas untuk sertifikasi itu, suatu pertanyaan muncul, apakah guru memiliki kesadaran untuk meningkatkan kompetensi mengajarnya ataukah justru tidak mau karena merasa telah mampu?
Alih-alih meningkatkan kompetensi, sertifikasi berdasarkan kehadiran di dalam kelasakan memunculkan sikap yang penting datang, duduk, diam, dan dengar. Guru juga kadang tak kuasa menahan jenuhnya kelas, maka bila perlu ngobrol dengan teman atau membaca buku yang menarik untuk membunuh kejenuhan di ruang kelas. Apakah sertifikasi dengan cara semacam ini yang kita butuhkan?
Telah lazim juga bahwa pada acara seminar atau workshop, banyak orang mencari sertifikat semata. Hal itu telah membuat acara seminar, workshop, bahkan loka karya menjadi kehilangan maknanya. Padahal, inti dari acara tersebut adalah munculnya sebuah wawasan atau menambah kompetensi guru. Namun, pertanyaan yang muncul dari calon perserta biasanya adalah, “Dapat sertifikat nggak?” Bagaima jika itu terjadi dalam program sertifikasi guru?
Begitu pentingnya sebuah sertifikat membuat orang menjadi lupa akan tujuan diadakannya sebuah program. Mungkin itulah yang akan terjadi apabila kata “wajib” diartikan sebagai “sama” atau “seragam”.
Ada baiknya jika pemerintah mengembalikan kualitas guru dan sekolah kepada masyarakat. Demikian pula, regulasi sertifikasi guru juga dapat dilakukan oleh pemerintah bersama dengan masyarakat. Jadi, bukan hanya pemerintah saja yang mengeluarkan sertifikasi atau kalayakan seorang guru untuk mengajar.
Ikatan-ikatan sarjana-sarjana, organisasi pendidikan, dan organisasi keagamaan, misalnya saja, dapat memberikan sertifikasi untuk para guru. Tinggal, pemerintah mengeluarkan aturan supaya yang mengeluarkan sertifikasi tersebut disertifikasi lebih dahulu oleh pemerintah.
Persatuan atau organisasi guru yang telah ada pun akan baik apabila dapat memberikan sertifikasi. Dangan cara seperti itu, organisasi yang bersangkutan justru akan lebih peduli pada kualitas guru yang disertifikasi dengan mengontrol dan mengevaluasinya, karena jika tidak, maka kredibilatas organisasi menjadi taruhannya.
Pada akhirnya nanti, apakah seorang guru layak mengajar atau tidak, kepala sekolah atau komunitas sekolah yang akan merasakan secara langsung. Karena bagaimanapun, anak didiklah yang sebenarnya paling tahu dan merasakan kualitas sang guru. Maka, dalam hal ini, sekolah harus juga dilibatkan dalam memonitor kelayakan mengajar seorang guru. Idealnya, sekolah dapat memberikan report jika ada keluhan, sehingga organisasi yang memberikan sertifikasi atau pemerintah dapat menarik sertifikatnya atau memaksa guru yang bersangkutan berubah melalui prosedur tertentu.
Paradigma kalau sudah bersertifikat berarti beres juga akan menjadi batu sandungan bagi kualitas pendidikan kita. Sertifikasi haruslah berkala dan setelah mencapai tingkatan tertentu dan proses panjang, barulah guru yang bersangkutan ditetapkan melalui “certificate of excellence” berupa pengakuan oleh suatu organisasi atau pemerintah bahwa yang bersangkutan memang layak disebut sebagai guru. Proses pengakuan semacam itu haruslah melalui sebuah tahapan waktu dan membutuhkan rekomendasi oleh sekolah atau masyarakat melalui organisasi tertentu. Hal itu justru akan menjadi kebanggaan, baik bagi guru, sekolah, maupun anak didik. Bahkan, sertifikat semacam itulah yang dapat dipublikasikan sekolah untuk menarik simpati masyarakat.
Sama seperti seorang calon dokter yang baru lulus dari universitas harus berjuang untuk membuat dirinya layak untuk membuka praktik, demikianlah seorang guru harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari lembaga-lembaga sertifikasi supaya dirinya layak untuk mengajar.Pada akhirnya, akankah kualitas guru ditentukan oleh sertifikasi yang dikeluarkan atau sertifikasi hanyalah sebuah legalitas semata-mata, akan dibuktikan oleh waktu. Kita semua berharap, undang-undang dan sertifikasi ini kembali pada tujuannya semula, yaitu menaikkan kualitas pendidikan di negeri kita supaya sejajar bahkan lebih unggul dibandingkan dengan negara lain. (Sigit Setyawan, Kompas 3 April 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar