Minggu, 16 September 2007

Bencana dan Mata Pelajaran Bencana

Pasca tsunami Aceh, banyak pemerintah daerah membuat simulasi tsunami. Pasca gempa Jogja, banyak pemda dan sekolah membuat latihan menghadapi gempa. Gempa di Sumatra juga telah membuat kita cepat bereaksi. Sayangnya, semua itu seolah-olah hanya reaksi sesaat. Tidak ada program tersistem di sekolah dan pelatihan terpadu yang nyata untuk masyarakat umum. Kita cepat bereaksi, tetapi lambat belajar.

Banyak sekolah mengadakan program mata pelajaran komputer, internet, bahasa Inggris tambahan, sampai bahasa asing lain selain bahasa Inggris sebagai mata pelajaran “Muatan Lokal”. Alasannya, semua itu demi masa depan para siswa. Agar para siswa mampu bersaing di era global ini. Sayangnya, untuk menghadapi bahaya nyata dalam kehidupan sehari-hari, hampir tidak ada sekolah yang mempersiapkan para siswanya dengan program pelajaran.

Seharusnya berbagai peristiwa bencana membuat kita belajar tentang satu hal, yaitu bahwa kita harus belajar tentang alam sekitar kita, lingkungan di mana kita hidup.

Seandainya saja yang namanya Muatan Lokal dalam sistem rapor nasional adalah bidang studi lingkungan dan budaya lokal, mungkin masyarakat akan lebih siap menghadapi apapun yang terjadi di sekitarnya. Sebagai contoh, masyarakat pesisir pantai memiliki mata pelajaran Lingkungan dan Budaya Masyarakat Pantai. Kira-kira isinya adalah mengeksplorasi kehidupan pantai dan laut, serta mempelajari kearifan budaya lokal tentang menyelamatkan lingkungan.

Misalnya pula, masyarakat daerah gunung berapi belajar tentang lingkungannya seperti belajar tentang gunung berapi aktif, prosedur evakuasi, dan juga cerita-cerita legenda atau teori-teori ilmiah.
Dalam hal gempa misalnya, para siswa perlu diajarkan tentang bagaimana bila terjadi gempa di rumah, di sekolah, di tempat umum. Apa yang harus dilakukan bila semua itu terjadi.

Yang terjadi kini, masyarakat mudah “lupa” akan fakta bahwa dari Sumatra hingga Flores adalah daerah rawan gempa. Di TV bahkan disebutkan bahwa seluruh Indonesia rawan gempa, kecuali beberapa daerah di Kalimantan dan Papua (Metro TV, 18 Desember 2006, 18:20WIB, wawancara dengan BMG). Kita mungkin bereaksi cepat akan musibah tsunami dan gempa itu. Sayang, tepat atau tidaknya reaksi itu, nantinya masyarakat akan tahu setelah peristiwanya terjadi, bukan sebelumnya.

Selama ini, kita diselamatkan oleh kebetulan semata-mata. Kebetulan ada anak yang pernah mendengar cerita tentang tsunami, sehingga semua orang selamat karena naik ke atas gunung. Kebetulan pernah membaca di internet tentang cara berlindung ketika gempa terjadi, sehingga seseorang selamat.

Kita harus mengubah serba kebetulan ini menjadi sesuatu yang terencana dan ter-sistem. Itulah salah satu tugas institusi pendidikan formal atau sekolah. Bukan hanya bereaksi terhadap bencana, tetapi juga merancang dan bersiap jika hal itu terjadi. Lebih dari itu, dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah, kita menjadikan ancaman bencana sebagai bagian nyata dari hidup. Apabila terjadi, para siswa tidak perlu panik menghadapinya. Mereka tahu apa yang harus dilakukan.

Jelaslah bahwa kesiapan menghadapi bencana, kesulitan hidup, dan mengatasi masa-masa kritis adalah sebuah kebutuhan.

Teori gempa, tsunami, gunung meletus, dan sebagainya idealnya diajarkan di sekolah sesuai dengan kebutuhan lokal. Kiat-kiat atau “resep” menghadapinya pun perlu dirumuskan, sehingga para siswa dapat membagikan itu kepada keluarganya, lingkungan rukun tetangga, desa, hingga seluruh wilayah dalam radius bahaya.

Mungkin beberapa sekolah mengambil jalan pintas seperti melatih siswa, membuat evakuasi buatan, atau memasukkan unsur-unsur pengenalan lingkungan itu ke dalam mata pelajaran yang sudah ada. Namun, latihan yang sifatnya kadang-kadang dan hanya prosedural saja, tidak memberikan wawasan kepada siswa tentang apa yang sebenarnya dihadapi.

Memasukkan informasi tentang tsunami atau gempa ke dalam mata pelajaran dengan tujuan memperkaya wawasan siswa, juga hanya membuat siswa mengerti setengah-setengah atau hanya sampai tataran teori karena pastilah jumlah jam pelajaran untuk itu sangat terbatas.Jika sekolah mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia nyata, bekerja, dan meraih karir, semestinya juga sekolah menyiapkan siswa untuk bagaimana hidup di lingkungannya. Oleh karena itu, mata pelajaran semacam pengenalan terhadap lingkungan dan budaya di sekitar kita perlu ada dan dipelajari sejak anak di usia dini. Kita membutuhkan mata pelajaran bencana untuk menghadapi bencana. (Sigit Setyawan)

1 komentar:

The Dodo mengatakan...

wow pak sigit. top banget. kenapa tidak ide bapak ini dibawa ke manajemen sekolah tempat bapak mengajar agar sedikit banyak mereka bisa mengerti kebobrokan sistem pelajaran sekolah yang digunakannya pak.

ayo ayo pak sigit. kalau perlu saya rela kalau terpaksa indonesian background speaker saya diganti dengan mata pelajaran mempelajari gempa pak. walaupun hati miris tanpa adanya pelajaran indonesian background speaker.

berjuang pak sigit!