Hirsch (Cultural Literacy, 1989:110) menulis bahwa sekolah adalah satu-satunya institusi paling penting untuk melatih dan menyiapkan anak-anak untuk berperan lebih luas dalam kehidupan nasional. Sayangnya, pendidikan kita masih jauh dari apa yang dikatakan Hirsch. Kita masih berkutat pada masalah administrasi, sertifikasi, dan hal-hal legal lain di atas kertas.
Peningkatan kualitas pendidikan kita dinilai dari angka-angka APBN sampai dengan angka-angka kelulusan. Praktik-praktik jalan pintas, dari bimbingan belajar agar sukses UN sampai dengan hal yang negatif seperti berbuat curang, tidak ada habisnya dilakukan oleh siswa. Sementara itu, kasus pemalsuan data sertifikasi oleh para guru, sampai pembocoran soal ujian, berulang kali kita baca di media massa. Kesemuanya itu merupakan sebagian dari banyaknya persoalan pendidikan.
Kotornya jalanan karena orang seenaknya membuang sampah, aksi vandalisme, semrawutnya orang berlalu-lintas, dan budaya suap untuk membuat KTP atau SIM seperti tidak ada kaitannya sama sekali dengan kurikulum atau sistem pendidikan kita. Maka, untuk meningkatkan mutu pendidikan, jalan pintasnya dikira semudah meningkatkan nilai kelulusan atau anggaran APBN. Seakan-akan, pendidikan di dalam kelas terpisah sama sekali dari realita kehidupan di jalanan. Kita berhenti pada “tahu” saja, bukan pada tahap aplikasi dan manivestasi pengetahuan.
Agaknya apa yang kita butuhkan sekarang ini mirip dengan apa yang dikemukakan Hirsch. Hirsch (hlm.126) menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah pendidikan untuk perubahan, bukan untuk menghasilkan kemampuan-kemampuan untuk bekerja secara statis semata-mata. Agaknya tidak ada pilihan lain, untuk meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia, mau tidak mau, pendidikan kita harus menyentuh kebutuhan mendasar kehidupan kita sebagai Indonesia yang multikultur dan kompleks ini. Salah satu caranya adalah dengan masuknya kurikulum yang relevan dengan kehidupan itu sendiri agar terjadi perubahan nyata dalam hidup sehari-hari.
Sekolah sudah seharusnya menyiapkan siswa-siswinya untuk hidup bermasyarakat, mengenal kebudayaan nasional, hidup berlalu-lintas dan menjaga lingkungan hidupnya. Hal itu telah seharusnya diatur juga oleh negara. Jadi, selain kesejahteraan guru, kualitas pendidikan itu semestinya juga dilihat dari outcomes yang dihasilkan, yaitu bagaimana generasi muda kita itu dapat hidup bermartabat dalam bermasyarakat.
Namun, masuknya peran negara dalam mengatur masyarakatnya melalui sekolah semacam itu dapat diartikan secara salah sebagai sebuah “instruksi”. Kita masih ingat semasa Orde Baru, kesan instruksi, keseragaman, indoktrinasi, atau apapun istilahnya, ditengarai muncul dalam bentuknya yang sistematis dalam pelajaran moral di sekolah dan penataran-penataran di perguruan tinggi waktu itu.
Bukan hanya di Indonesia, hal serupa terjadi di Italia era 20-an, terekam dari tulisan-tulisan Gramsci (1971) bahwa pendidikan pada waktu itu bukanlah “education” melainkan “instruction”. Sekolah kemudian menjadi alat politik untuk melatih masyarakat tertentu sesuai dengan kepentingan sekelompok orang atau negara.
Itulah mengapa, setelah reformasi terjadi di Indonesia, segala hal yang berbau pelajaran moral dan penataran dari pemerintah untuk dilakukan di sekolah atau perguruan tinggi, dengan serta merta ditolak oleh institusi pendidikan. Terkesan, dunia pendidikan trauma atau anti terhadap peran negara dalam penentuan substansinya atau kurikulumnya karena mungkin pada waktu itu kesan indoktrinasi dan “instruksi” itu begitu kuatnya. Selain itu, mungkin juga karena sangat jauh bedanya antara apa yang diajarkan di kelas dengan yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah garis tegas antara mengajarkan nilai-nilai berkehidupan sosial dengan memaksakan kepentingan politik praktis.
Pada kenyataannya, sekarang ini hidup kita mengalami banyak tantangan. Tantangan global yang paling nyata adalah bagaimana kita bisa bersaing dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura atau negara Asia kuat seperti China dan India. Sementara itu, tantangan dari dalam diri kita sendiri dalam berkehidupan sehari-hari perlu juga mendapat perhatian, seperti bagaimana mengelola lingkungan hidup kita, memilah sampah sampai menjaga hutan, mempertahankan identitas kebudayaan kita, mengatur kota kita, dan lain sebagainya.
Kualitas pendidikan jangan lagi dilihat dari angka-angka tinggi atau prestasi kompetisi saja. Hal itu hanya dicapai oleh sedikit siswa dari antara jutaan siswa. Kebutuhan kita adalah memberdayakan generasi muda kita pada umumnya, sehingga tidak ada lagi cerita tentang siswa yang belajar Bahasa Inggris selama enam tahun, yaitu sejak kelas satu SMP sampai tiga SMA, tetapi di perguruan tinggi tidak mampu lancar berbicara Bahasa Inggris, apalagi menulis esai dalam Bahasa Inggris.
Sudah saatnya ketika kita membicarakan soal kualitas pendidikan, kita memikirkan mengenai bagaimanakah sekolah berfungsi menyiapkan generasi muda itu untuk hidup di tengah masyarakat secara nyata. Selayaknya pelajaran di kelas mampu membawa perubahan di tengah-tengah masyarakat.
Daftar Pustaka
Gramsci, Antonio. 1971. Selection From the Prison Notebooks. Translated by Quintin Hoare and Geoffrey Smith, first edition. International Publishers: New York.
Hirsch, E.D. 1989. Cultural Literacy. Batam Books: Moorebank.
1 komentar:
Bagus. Ekselem. Pendidikan perlu redefinisi ya...
suyatno
www.garduguru.blogspot.com
Posting Komentar