Sigit Setyawan
Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global akan menciptakan suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jaringan komunikasi internasional yang begitu luas, dengan batas-batas yang tidak begitu jelas (Abdullah, 166). Kalimat itu telah menyeret saya ke dalam pikiran tatanan global yang dimaksud sebagai globalisasi bahasa. Izinkan saya menyorot dua fenomena umum yang sering kita lihat. Pertama, penggunaan bahasa Inggris yang terus meluas dan kedua, memudarnya identitas budaya dalam diri anak muda.
Fenomena yang berkembang adalah bahwa orang yang dapat memakai bahasa Inggris dengan sangat lancar atau cas-cis-cus, akan dianggap sebagai orang hebat. Pengguna bahasa Indonesia, meskipun dengan gagasan yang lebih cemerlang, kadang kala dianggap lebih inferior atau dipandang rendah. Hal itu seakan-akan merupakan sebuah proses pembangunan identitas budaya “baru”. Sama seperti ketika pembantu rumah tangga pulang kampung saat lebaran dan menggunakan bahasa gaul Jakarta, seperti “ngapain”, “elu”, “gue”, “nggak keren tuh”, status seorang dianggap akan lebih tinggi daripada menggunakan bahasa daerah karena bahasa Jakarta dianggap lebih “hebat”, demikian juga sekarang orang akan “dinilai tinggi” ketika mampu mempresentasikan dirinya dengan cas cis cus bahasa Inggris. Dengan demikian, perlu kita tanyakan dalam diri kita, bukankah itu sebuah awal bagi tercerabutnya seseorang dari komunitas budayanya?
Bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan dan transfer nilai, tetapi bahasa adalah pembangun nilai-nilai, makna dan pengetahuan tersebut (Barker, 69). Itulah mengapa bagi bapak Semiotika, Saussure, untuk memahami kebudayaan berarti harus mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis melalui pemakaian bahasa. Dari pemahaman itulah kita tahu bagaimana sulitnya menerjemahkan suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain berdasarkan maknanya karena setiap kata mengandung muatan kebudayaan yang begitu dalam. Itulah juga mengapa kita sering menemukan pemakaian bahasa Inggris di Indonesia lebih sering mencomot kata dan menempatkannya dalam alur pikiran bahasa Indonesia. Mengapa? Karena bahasa adalah makna dan pengetahuan, sebuah sistem berpikir.
Hal itu juga disinggung oleh Sugiharto (hlm.95) ketika membahas pendapat Rortry. Bahasa adalah apa yang biasa kita sebut “pikiran” dan tak ada cara lain untuk berpikir tentang kenyataan, selain lewat bahasa. Jadi, berbahasa adalah juga kegiatan berbudaya. Berbahasa bukan hanya sekedar ber-gaya, tetapi juga mengekspresikan diri dalam hidup ini.
Identitas budaya seorang anak memudar ketika seorang orangtua memutuskan untuk menggantikan bahasa ibu anaknya dan menggantinya dengan bahasa asing, bahkan sejak mereka belajar berbicara. Apalagi jika sang orangtua tidak pula fasih berbicara bahasa asing tersebut, gagap budaya akan dirasakan si anak ketika beranjak dewasa. Meskipun saya belum membaca riset tentang hal itu, saya mengamati fenomenanya. Fenomena lain adalah lebih sukanya anak muda berbahasa asing daripada bahasa ibu. Ini adalah concern saya pula.
Dalam hal meresponi perkembangan globalisasi, pertahanan kebudayaan akan menjadi semakin lemah. Bukankah peradaban akan runtuh bila gagal memunculkan kreativitas dalam menghadapi tantangan? (lih. Putranto, dalam Sutrisno: 71). Oleh karena itu, identitas budaya yang kuat justru dibutuhkan di tengah-tengah globalisasi informasi ini karena batas-batas budaya itu memudar dan orang yang tidak memiliki akar akan termakan oleh arus budaya yang menyeretnya.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, generasi muda sekarang perlu menempatkan dirinya dalam posisi budayanya masing-masing. Dengan budayanya, kelokalannya, komunitasnya, ke-nasional-annya, dan keseluruhan hidupnya di sini dan kini, akan membangun sebuah dasar yang teguh baginya kelak ketika bergaul dengan orang lain dari seluruh dunia.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik, diterjemahkan oleh Nurhadi, cetakan pertama. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Kanisius: Yogyakarta.
Sugiharto, I Bambang.1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Kanisius: Yogyakarta.
Sabtu, 24 Mei 2008
Kamis, 22 Mei 2008
Pendidikan untuk Kehidupan
Sigit Setyawan
Hirsch (Cultural Literacy, 1989:110) menulis bahwa sekolah adalah satu-satunya institusi paling penting untuk melatih dan menyiapkan anak-anak untuk berperan lebih luas dalam kehidupan nasional. Sayangnya, pendidikan kita masih jauh dari apa yang dikatakan Hirsch. Kita masih berkutat pada masalah administrasi, sertifikasi, dan hal-hal legal lain di atas kertas.
Peningkatan kualitas pendidikan kita dinilai dari angka-angka APBN sampai dengan angka-angka kelulusan. Praktik-praktik jalan pintas, dari bimbingan belajar agar sukses UN sampai dengan hal yang negatif seperti berbuat curang, tidak ada habisnya dilakukan oleh siswa. Sementara itu, kasus pemalsuan data sertifikasi oleh para guru, sampai pembocoran soal ujian, berulang kali kita baca di media massa. Kesemuanya itu merupakan sebagian dari banyaknya persoalan pendidikan.
Kotornya jalanan karena orang seenaknya membuang sampah, aksi vandalisme, semrawutnya orang berlalu-lintas, dan budaya suap untuk membuat KTP atau SIM seperti tidak ada kaitannya sama sekali dengan kurikulum atau sistem pendidikan kita. Maka, untuk meningkatkan mutu pendidikan, jalan pintasnya dikira semudah meningkatkan nilai kelulusan atau anggaran APBN. Seakan-akan, pendidikan di dalam kelas terpisah sama sekali dari realita kehidupan di jalanan. Kita berhenti pada “tahu” saja, bukan pada tahap aplikasi dan manivestasi pengetahuan.
Agaknya apa yang kita butuhkan sekarang ini mirip dengan apa yang dikemukakan Hirsch. Hirsch (hlm.126) menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah pendidikan untuk perubahan, bukan untuk menghasilkan kemampuan-kemampuan untuk bekerja secara statis semata-mata. Agaknya tidak ada pilihan lain, untuk meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia, mau tidak mau, pendidikan kita harus menyentuh kebutuhan mendasar kehidupan kita sebagai Indonesia yang multikultur dan kompleks ini. Salah satu caranya adalah dengan masuknya kurikulum yang relevan dengan kehidupan itu sendiri agar terjadi perubahan nyata dalam hidup sehari-hari.
Sekolah sudah seharusnya menyiapkan siswa-siswinya untuk hidup bermasyarakat, mengenal kebudayaan nasional, hidup berlalu-lintas dan menjaga lingkungan hidupnya. Hal itu telah seharusnya diatur juga oleh negara. Jadi, selain kesejahteraan guru, kualitas pendidikan itu semestinya juga dilihat dari outcomes yang dihasilkan, yaitu bagaimana generasi muda kita itu dapat hidup bermartabat dalam bermasyarakat.
Namun, masuknya peran negara dalam mengatur masyarakatnya melalui sekolah semacam itu dapat diartikan secara salah sebagai sebuah “instruksi”. Kita masih ingat semasa Orde Baru, kesan instruksi, keseragaman, indoktrinasi, atau apapun istilahnya, ditengarai muncul dalam bentuknya yang sistematis dalam pelajaran moral di sekolah dan penataran-penataran di perguruan tinggi waktu itu.
Bukan hanya di Indonesia, hal serupa terjadi di Italia era 20-an, terekam dari tulisan-tulisan Gramsci (1971) bahwa pendidikan pada waktu itu bukanlah “education” melainkan “instruction”. Sekolah kemudian menjadi alat politik untuk melatih masyarakat tertentu sesuai dengan kepentingan sekelompok orang atau negara.
Itulah mengapa, setelah reformasi terjadi di Indonesia, segala hal yang berbau pelajaran moral dan penataran dari pemerintah untuk dilakukan di sekolah atau perguruan tinggi, dengan serta merta ditolak oleh institusi pendidikan. Terkesan, dunia pendidikan trauma atau anti terhadap peran negara dalam penentuan substansinya atau kurikulumnya karena mungkin pada waktu itu kesan indoktrinasi dan “instruksi” itu begitu kuatnya. Selain itu, mungkin juga karena sangat jauh bedanya antara apa yang diajarkan di kelas dengan yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah garis tegas antara mengajarkan nilai-nilai berkehidupan sosial dengan memaksakan kepentingan politik praktis.
Pada kenyataannya, sekarang ini hidup kita mengalami banyak tantangan. Tantangan global yang paling nyata adalah bagaimana kita bisa bersaing dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura atau negara Asia kuat seperti China dan India. Sementara itu, tantangan dari dalam diri kita sendiri dalam berkehidupan sehari-hari perlu juga mendapat perhatian, seperti bagaimana mengelola lingkungan hidup kita, memilah sampah sampai menjaga hutan, mempertahankan identitas kebudayaan kita, mengatur kota kita, dan lain sebagainya.
Kualitas pendidikan jangan lagi dilihat dari angka-angka tinggi atau prestasi kompetisi saja. Hal itu hanya dicapai oleh sedikit siswa dari antara jutaan siswa. Kebutuhan kita adalah memberdayakan generasi muda kita pada umumnya, sehingga tidak ada lagi cerita tentang siswa yang belajar Bahasa Inggris selama enam tahun, yaitu sejak kelas satu SMP sampai tiga SMA, tetapi di perguruan tinggi tidak mampu lancar berbicara Bahasa Inggris, apalagi menulis esai dalam Bahasa Inggris.
Sudah saatnya ketika kita membicarakan soal kualitas pendidikan, kita memikirkan mengenai bagaimanakah sekolah berfungsi menyiapkan generasi muda itu untuk hidup di tengah masyarakat secara nyata. Selayaknya pelajaran di kelas mampu membawa perubahan di tengah-tengah masyarakat.
Daftar Pustaka
Gramsci, Antonio. 1971. Selection From the Prison Notebooks. Translated by Quintin Hoare and Geoffrey Smith, first edition. International Publishers: New York.
Hirsch, E.D. 1989. Cultural Literacy. Batam Books: Moorebank.
Hirsch (Cultural Literacy, 1989:110) menulis bahwa sekolah adalah satu-satunya institusi paling penting untuk melatih dan menyiapkan anak-anak untuk berperan lebih luas dalam kehidupan nasional. Sayangnya, pendidikan kita masih jauh dari apa yang dikatakan Hirsch. Kita masih berkutat pada masalah administrasi, sertifikasi, dan hal-hal legal lain di atas kertas.
Peningkatan kualitas pendidikan kita dinilai dari angka-angka APBN sampai dengan angka-angka kelulusan. Praktik-praktik jalan pintas, dari bimbingan belajar agar sukses UN sampai dengan hal yang negatif seperti berbuat curang, tidak ada habisnya dilakukan oleh siswa. Sementara itu, kasus pemalsuan data sertifikasi oleh para guru, sampai pembocoran soal ujian, berulang kali kita baca di media massa. Kesemuanya itu merupakan sebagian dari banyaknya persoalan pendidikan.
Kotornya jalanan karena orang seenaknya membuang sampah, aksi vandalisme, semrawutnya orang berlalu-lintas, dan budaya suap untuk membuat KTP atau SIM seperti tidak ada kaitannya sama sekali dengan kurikulum atau sistem pendidikan kita. Maka, untuk meningkatkan mutu pendidikan, jalan pintasnya dikira semudah meningkatkan nilai kelulusan atau anggaran APBN. Seakan-akan, pendidikan di dalam kelas terpisah sama sekali dari realita kehidupan di jalanan. Kita berhenti pada “tahu” saja, bukan pada tahap aplikasi dan manivestasi pengetahuan.
Agaknya apa yang kita butuhkan sekarang ini mirip dengan apa yang dikemukakan Hirsch. Hirsch (hlm.126) menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah pendidikan untuk perubahan, bukan untuk menghasilkan kemampuan-kemampuan untuk bekerja secara statis semata-mata. Agaknya tidak ada pilihan lain, untuk meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia, mau tidak mau, pendidikan kita harus menyentuh kebutuhan mendasar kehidupan kita sebagai Indonesia yang multikultur dan kompleks ini. Salah satu caranya adalah dengan masuknya kurikulum yang relevan dengan kehidupan itu sendiri agar terjadi perubahan nyata dalam hidup sehari-hari.
Sekolah sudah seharusnya menyiapkan siswa-siswinya untuk hidup bermasyarakat, mengenal kebudayaan nasional, hidup berlalu-lintas dan menjaga lingkungan hidupnya. Hal itu telah seharusnya diatur juga oleh negara. Jadi, selain kesejahteraan guru, kualitas pendidikan itu semestinya juga dilihat dari outcomes yang dihasilkan, yaitu bagaimana generasi muda kita itu dapat hidup bermartabat dalam bermasyarakat.
Namun, masuknya peran negara dalam mengatur masyarakatnya melalui sekolah semacam itu dapat diartikan secara salah sebagai sebuah “instruksi”. Kita masih ingat semasa Orde Baru, kesan instruksi, keseragaman, indoktrinasi, atau apapun istilahnya, ditengarai muncul dalam bentuknya yang sistematis dalam pelajaran moral di sekolah dan penataran-penataran di perguruan tinggi waktu itu.
Bukan hanya di Indonesia, hal serupa terjadi di Italia era 20-an, terekam dari tulisan-tulisan Gramsci (1971) bahwa pendidikan pada waktu itu bukanlah “education” melainkan “instruction”. Sekolah kemudian menjadi alat politik untuk melatih masyarakat tertentu sesuai dengan kepentingan sekelompok orang atau negara.
Itulah mengapa, setelah reformasi terjadi di Indonesia, segala hal yang berbau pelajaran moral dan penataran dari pemerintah untuk dilakukan di sekolah atau perguruan tinggi, dengan serta merta ditolak oleh institusi pendidikan. Terkesan, dunia pendidikan trauma atau anti terhadap peran negara dalam penentuan substansinya atau kurikulumnya karena mungkin pada waktu itu kesan indoktrinasi dan “instruksi” itu begitu kuatnya. Selain itu, mungkin juga karena sangat jauh bedanya antara apa yang diajarkan di kelas dengan yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah garis tegas antara mengajarkan nilai-nilai berkehidupan sosial dengan memaksakan kepentingan politik praktis.
Pada kenyataannya, sekarang ini hidup kita mengalami banyak tantangan. Tantangan global yang paling nyata adalah bagaimana kita bisa bersaing dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura atau negara Asia kuat seperti China dan India. Sementara itu, tantangan dari dalam diri kita sendiri dalam berkehidupan sehari-hari perlu juga mendapat perhatian, seperti bagaimana mengelola lingkungan hidup kita, memilah sampah sampai menjaga hutan, mempertahankan identitas kebudayaan kita, mengatur kota kita, dan lain sebagainya.
Kualitas pendidikan jangan lagi dilihat dari angka-angka tinggi atau prestasi kompetisi saja. Hal itu hanya dicapai oleh sedikit siswa dari antara jutaan siswa. Kebutuhan kita adalah memberdayakan generasi muda kita pada umumnya, sehingga tidak ada lagi cerita tentang siswa yang belajar Bahasa Inggris selama enam tahun, yaitu sejak kelas satu SMP sampai tiga SMA, tetapi di perguruan tinggi tidak mampu lancar berbicara Bahasa Inggris, apalagi menulis esai dalam Bahasa Inggris.
Sudah saatnya ketika kita membicarakan soal kualitas pendidikan, kita memikirkan mengenai bagaimanakah sekolah berfungsi menyiapkan generasi muda itu untuk hidup di tengah masyarakat secara nyata. Selayaknya pelajaran di kelas mampu membawa perubahan di tengah-tengah masyarakat.
Daftar Pustaka
Gramsci, Antonio. 1971. Selection From the Prison Notebooks. Translated by Quintin Hoare and Geoffrey Smith, first edition. International Publishers: New York.
Hirsch, E.D. 1989. Cultural Literacy. Batam Books: Moorebank.
Selasa, 13 Mei 2008
Mawar Layu
Cerpen Sigit Setyawan
Bunga mawar itu tak lagi merah. Ia telah layu. Telah kusimpan selama tiga tahun, empat belas Februari tiga tahun lalu. Bukan keputusannya untuk menjadi layu. Alam telah menentukan begitu. Dan aku tahu, sebenarnya ia tak ingin layu.
“Sayang, aku mencintaimu,” kata suamiku.
Siapa tidak bahagia jika suami mengatakan kalimat cinta di ulang tahun pernikahan kesepuluh?
“Jadi kita ke Bali?” tanyaku.
Suamiku tidak menjawab, ia memelukku, menitikkan air mata secara diam-diam. Air mata itu mengalir di pipinya, sebagian berhenti di pundakku. Perasaanku berkata, ia ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Setelah hatinya teguh, ia berkata, “Apakah kamu marah kalau kita batal ke Bali?”
“Tidak, Say. Ada sesuatu?”
“Aku harus ke Jogja.”
“Di ulang tahun pernikahan kita?”
Suamiku menarik nafas panjang, itu yang dilakukannya sebagai kebiasaan kalau dia takut, tersudut, ada hal yang tidak diharapkan terjadi dan kalau hal-hal buruk menimpanya. Kali ini aku menafsirkannya sebagai hal yang tidak dia harapkan. Jadi, aku maklum.
“Kamu boleh ikut kalau kamu mau,” katanya sambil menatapku, lalu dia menatap mawar layu di tembok itu.
Aku mengikuti tatapan matanya, kemudian aku berkata kepadanya, “Aku ikut.”
Ia menarik nafas panjangnya lagi.
“Tapi Say, tidak akan ada yang akan menemanimu.”
“Nggak apa-apa. Setidaknya aku bisa menemanimu waktu malam.”
Lagi-lagi dia menarik nafas panjang . Akhirnya dia mengiyakan aku untuk ikut.
***
Hari pertama di Jogja aku minta diantar ke Malioboro.
“Aku drop kamu, lalu aku rapat, oke?”
“Oke.”
“Apa perlu dijemput?”
“No. Nggak usah,” kataku.
Dia menurunkanku di Malioboro, mobil langsung meninggalkanku. Ketika itulah kusadari bahwa aku tidak membawa uang sepeserpun. Dompetku tertinggal di hotel. Aku menyesal mengapa tidak menginap di hotel sekitar Malioboro saja, sehingga kalau hal ini terjadi, aku tidak perlu repot.
Jadi aku harus kembali ke hotel sekarang juga. Sebuah taksi yang kebetulan lewat, kuhentikan, ia mengantarku hingga hotel. Di kamar hotel aku terkejut melihat kamar sedikit berantakan. Cleaning service belum membersihkan kamar ini, mungkin karena tanda di depan kamar lupa kami cabut. Hingga saat ini masih do not disturb.
Agaknya suamiku juga melupakan sesuatu setelah mengantarku tadi. Ah, benarkah kami sama-sama meninggalkan sesuatu? Aku tersenyum sendiri, dasar jodoh, agaknya kami mengalami hal yang sama.
Aku segera menuju taksi yang menungguku ketika aku melihat sekelebat bayangan suamiku menyeberangi jalan, ia sedang menuju sebuah Rumah Sakit di depan hotel.
Ketika yakin bahwa itu suamiku, aku meminta sopir berhenti dan kubayar dia. Kutunda keinginan belanjaku dan memilih untuk menuruti naluri wanitaku.
Aku mengikutinya dari jauh. Kulihat ada seorang ibu yang menyalaminya sambil mengusap air mata dan memeluk suamiku. Aku tidak mengenalnya dan belum pernah melihatnya. Mengapa dia memeluk suamiku? Siapa dia?
Semakin penasaran, aku mengikutinya. Mereka berbelok ke bagian inap ibu dan anak. Ada sesuatu menyusup ke dalam hatiku. Bau minyak telon, mengingatkanku pada bau bayi. Tujuh tahun pernikahan tanpa kehadiran seorang anak membuat bau itu menusuk-nusuk perasaanku. Tapi, juga membuai khayalan akan kehadiran seorang anak. Itu yang selalu kubayangkan, kehadiran seorang darah daging kami sendiri untuk memateraikan cinta kami.
Aku teringat ketika suamiku menguatkanku waktu itu, agar aku tidak kecewa dan marah dengan Tuhanku. Suami istri sudahlah sempurna, Tuhan membentuk keluarga Adam dan Eve. Anak adalah tambahan. Aku mengangguk, tapi hatiku menangisinya.
Kini di lorong rumah sakit ini, aku diingatkan pada masa-masa penantian dan keguguran kandungan beberapa tahun lalu. Menyakitkan, tapi menjadi tonggak kekuatan cinta kami. Suamiku sangat setia menemaniku. Aku keguguran di hari ulang tahun pernikahan kami, empat belas Februari. Waktu itulah dia memberikan mawar merah itu.
Aku tidak ingin kehilangan jejak suamiku. Mataku mengawasinya dengan seksama. Di ujung lorong sana, ada seorang pria yang menyalaminya dan memeluknya. Tapi, kali ini lelaki itu tertawa bahagia.
Aku semakin penasaran. Lalu aku beranikan diri untuk mendekati kamar itu.
“Cantik sekali, seperti ibunya,” terdengar suara lelaki dari dalam.
“Ya,” suara suamiku terdengar.
Mengapa suamiku tidak menghubungiku kalau ada temannya melahirkan? Kalau toh berbelanjanya nanti sore, aku tidak akan keberatan. Bahkan aku mau memilihkan kado untuknya. Atau, setidaknya aku masuk dalam lingkaran teman-teman suamiku.
Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Bagaimana jika suamiku tahu aku ada di sini?
Ketika itulah sapaan seseorang tiba-tiba mengejutkanku.
“Chaterine? Kamu di sini?”
“Bobby?” melihat kehadiran sahabat suamiku di situ, sungguh membuatku merasa gundah.
“Suamimu sudah bercerita tentang apa yang terjadi?”
“Bercerita apa?” kukira ekspresi mukaku tidak dapat menyembunyikan ketidaktahuanku.
“Dia tidak bercerita?”
Aku menggeleng.
“Bahkan dia tidak tahu kalau aku ada di sini,” kataku setengah berbisik, “Aku harus pergi.”
Aku melangkahkan kakiku diiringi pandangan mata Bobby. Tapi, rupanya Bobby segera masuk ke ruangan dan memberi tahu suamiku, karena itu aku mendengar ada suara memanggil namaku.
“Chaterine!” teriak suamiku.
Aku menghentikan langkahku. Suamiku menuju ke arahku dan aku bingung bagaimana harus bersikap.
Aku membalikkan badan dan berkata, “Aku ketinggalan dompetku. Jadi, aku melihatmu...” tapi belum selesai kalimatku itu, dia telah berada di depanku dan tiba-tiba memelukku. Lagi-lagi air matanya meleleh dalam diam. Air mata itu untuk dirinya sendiri, aku merasakan sebagian tetesannya membasahi pundakku.
“Aku ingin mengatakan sesuatu,” katanya.
“Katakan, Say.”
Tangannya menggandeng tanganku. Dingin dan basah.
Taman dan bunga-bunga, bau bayi, suara dentingan mainan anak-anak, dan air mancur di taman menjadi saksiku.
“Sembilan bulan lalu waktu aku ke Eropa, aku melakukan kesalahan,” kata suamiku memulai pembicaraan, “Aku melakukan kesalahan yang tidak seharusnya dilakukan oleh lelaki manapun, termasuk diriku. Seharusnya aku tidak boleh pergi bersama sekretarisku. Seharusnya aku pergi bersamamu,” dia menarik nafas panjangnya.
Sekarang aku tahu, nafas panjang itu adalah nafas beban. Beban berat yang selama ini tersembunyi di balik air matanya.
“Aku hanya melakukannya sekali saja. Tapi, itu kesalahan. Aku tahu, itu salahku.”
Jadi, selama ini dia menarik nafas panjangnya dan menyimpan air matanya. Dan air mata itu adalah karena ini. Ia telah menghamili seseorang?
“Jadi, kamu ke Jogja untuk melihat anakmu,” kataku lirih menahan gejolak perasaanku.
Dia mengangguk.
Aku terdiam. Air mataku meleleh, seperti lilin meleleh karena api. Tangannya menggenggam tanganku, tapi ingin rasanya kucampakkan.
Pria laknat. Teganya kamu mengkhianatiku, tidur dengan sekretarismu. Sekali katamu? Tidak mungkin. Tidak mungkin kamu melakukannya hanya sekali, kamu di sana selama lima belas hari.
Aku ingin mencampakkannya, membuangnya, menguburnya hidup-hidup, menginjaknya.
“Aku tahu saat ini akan terjadi. Aku telah merasa terhukum beberapa bulan ini. Aku rela kaucerai, tapi aku mencintaimu. Aku ingin bersamamu hingga kita tua. Itu sebuah kecelakaan yang tidak kuharapkan.”
Kecelakaan? Pria gombal. Semua pria di seluruh dunia ini gombal.
Tiba-tiba saja semua bau itu, semua suara itu, dan semua bunga yang kulihat membuatku merasa muak. Dunia ini telah memusuhiku.
Suamiku menatapku. Kini air matanya dibagikan juga untukku. Dia akan memelukku, tapi aku menampiknya.
“Aku pulang,” kataku.
***
Sesampainya di Jakarta, mawar layu itu kutatap begitu lama. Dia menjadi saksi dan bukti cinta kami. Perasaan hatiku mulai tenang dan berubah. Bagaimana kalau perempuan itu merayunya. Mungkin suamiku benar, perempuan itu merayu dan mereka melakukan sekali saja lalu hamil? Bagaimana kalau perempuan itu memang sengaja menjebak suamiku? Bukankah dia tampan, kaya, dan berkedudukan? Bukankah hatinya begitu lembut dan baik? Ya, perempuan itu telah merebut suamiku dengan cara memberinya anak.
Aku tidak boleh kalah. Aku ingin menjadikan anak itu sebagai anakku. Akan kurebut dia dari tangan ibunya. Aku membulatkan tekad. Mereka berdua harus menjadi milikku, akan kucampakkan perempuan itu.
Jadi, kuhubungi segera suamiku, “Halo, Say. Aku ingin bicara,” kataku di telepon, “Kalau anak itu kita bawa ke Jakarta dan menjadi anak kita, apa kau keberatan?”
“Kamu sungguh-sungguh?” katanya dengan nada keheranan bercampur kegembiraan.
“Ya, pulanglah ke Jakarta, aku akan menyiapkan kamar bayi untuk kita.”
Beberapa jam kemudian suamiku mengabarkan kalau dirinya sudah berada di pesawat, ia membawa seorang bayi. Anaknya, bukan anakku, tapi akan menjadi anak kami.
Dia mengatakan kepada ibu bayi itu bahwa dia boleh melihatnya kapanpun, meskipun sang ibu menangis dan menolak, tetap saja suamiku meninggalkannya dan mengisi tiga ratus juta di rekening perempuan itu.
Anak yang ingin kujadikan sebagai anak kami akan tiba. Perasaanku bercampur antara sedih, marah, cinta, benci, dan gembira.
Beberapa jam telah berlalu dan telepon bernyanyi. Nyanyian telepon itulah yang kutunggu dari tadi. Tapi, yang kulihat adalah nama Bobby yang muncul di sana.
“Kamu lihat tivi?”
“Kenapa?”
“Ada pesawat jatuh.”
Aku memindah tivi ke chanel berita, menyaksikan sebuah pesawat yang telah habis terbakar. Lalu presenter manampilkan daftar nama korban. Aku melihat nama suamiku di sana.
Tiba-tiba saja semua bayang-bayang memudar, melayang, menguap. Tak ada lagi suara, tak ada lagi rasa. Semua begitu gelap. Dan di dalam kegelapan yang dalam itu aku terdiam.
Kesadaranku terjaga ketika semua prosesi pemakaman telah usai. Ketika tanah telah memeluk kekasihku di dalamnya, merebutnya dariku, kuletakkan mawar layu itu di atasnya. (Sigit di Jakarta, Januari 2008).
Sebenernya Cerpen ini mau kukirimkan ke Majalah atau Koran, tapi bingung, mau dikirim ke mana. Ya Sudah... terbitkan saja di sini.
Bunga mawar itu tak lagi merah. Ia telah layu. Telah kusimpan selama tiga tahun, empat belas Februari tiga tahun lalu. Bukan keputusannya untuk menjadi layu. Alam telah menentukan begitu. Dan aku tahu, sebenarnya ia tak ingin layu.
“Sayang, aku mencintaimu,” kata suamiku.
Siapa tidak bahagia jika suami mengatakan kalimat cinta di ulang tahun pernikahan kesepuluh?
“Jadi kita ke Bali?” tanyaku.
Suamiku tidak menjawab, ia memelukku, menitikkan air mata secara diam-diam. Air mata itu mengalir di pipinya, sebagian berhenti di pundakku. Perasaanku berkata, ia ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Setelah hatinya teguh, ia berkata, “Apakah kamu marah kalau kita batal ke Bali?”
“Tidak, Say. Ada sesuatu?”
“Aku harus ke Jogja.”
“Di ulang tahun pernikahan kita?”
Suamiku menarik nafas panjang, itu yang dilakukannya sebagai kebiasaan kalau dia takut, tersudut, ada hal yang tidak diharapkan terjadi dan kalau hal-hal buruk menimpanya. Kali ini aku menafsirkannya sebagai hal yang tidak dia harapkan. Jadi, aku maklum.
“Kamu boleh ikut kalau kamu mau,” katanya sambil menatapku, lalu dia menatap mawar layu di tembok itu.
Aku mengikuti tatapan matanya, kemudian aku berkata kepadanya, “Aku ikut.”
Ia menarik nafas panjangnya lagi.
“Tapi Say, tidak akan ada yang akan menemanimu.”
“Nggak apa-apa. Setidaknya aku bisa menemanimu waktu malam.”
Lagi-lagi dia menarik nafas panjang . Akhirnya dia mengiyakan aku untuk ikut.
***
Hari pertama di Jogja aku minta diantar ke Malioboro.
“Aku drop kamu, lalu aku rapat, oke?”
“Oke.”
“Apa perlu dijemput?”
“No. Nggak usah,” kataku.
Dia menurunkanku di Malioboro, mobil langsung meninggalkanku. Ketika itulah kusadari bahwa aku tidak membawa uang sepeserpun. Dompetku tertinggal di hotel. Aku menyesal mengapa tidak menginap di hotel sekitar Malioboro saja, sehingga kalau hal ini terjadi, aku tidak perlu repot.
Jadi aku harus kembali ke hotel sekarang juga. Sebuah taksi yang kebetulan lewat, kuhentikan, ia mengantarku hingga hotel. Di kamar hotel aku terkejut melihat kamar sedikit berantakan. Cleaning service belum membersihkan kamar ini, mungkin karena tanda di depan kamar lupa kami cabut. Hingga saat ini masih do not disturb.
Agaknya suamiku juga melupakan sesuatu setelah mengantarku tadi. Ah, benarkah kami sama-sama meninggalkan sesuatu? Aku tersenyum sendiri, dasar jodoh, agaknya kami mengalami hal yang sama.
Aku segera menuju taksi yang menungguku ketika aku melihat sekelebat bayangan suamiku menyeberangi jalan, ia sedang menuju sebuah Rumah Sakit di depan hotel.
Ketika yakin bahwa itu suamiku, aku meminta sopir berhenti dan kubayar dia. Kutunda keinginan belanjaku dan memilih untuk menuruti naluri wanitaku.
Aku mengikutinya dari jauh. Kulihat ada seorang ibu yang menyalaminya sambil mengusap air mata dan memeluk suamiku. Aku tidak mengenalnya dan belum pernah melihatnya. Mengapa dia memeluk suamiku? Siapa dia?
Semakin penasaran, aku mengikutinya. Mereka berbelok ke bagian inap ibu dan anak. Ada sesuatu menyusup ke dalam hatiku. Bau minyak telon, mengingatkanku pada bau bayi. Tujuh tahun pernikahan tanpa kehadiran seorang anak membuat bau itu menusuk-nusuk perasaanku. Tapi, juga membuai khayalan akan kehadiran seorang anak. Itu yang selalu kubayangkan, kehadiran seorang darah daging kami sendiri untuk memateraikan cinta kami.
Aku teringat ketika suamiku menguatkanku waktu itu, agar aku tidak kecewa dan marah dengan Tuhanku. Suami istri sudahlah sempurna, Tuhan membentuk keluarga Adam dan Eve. Anak adalah tambahan. Aku mengangguk, tapi hatiku menangisinya.
Kini di lorong rumah sakit ini, aku diingatkan pada masa-masa penantian dan keguguran kandungan beberapa tahun lalu. Menyakitkan, tapi menjadi tonggak kekuatan cinta kami. Suamiku sangat setia menemaniku. Aku keguguran di hari ulang tahun pernikahan kami, empat belas Februari. Waktu itulah dia memberikan mawar merah itu.
Aku tidak ingin kehilangan jejak suamiku. Mataku mengawasinya dengan seksama. Di ujung lorong sana, ada seorang pria yang menyalaminya dan memeluknya. Tapi, kali ini lelaki itu tertawa bahagia.
Aku semakin penasaran. Lalu aku beranikan diri untuk mendekati kamar itu.
“Cantik sekali, seperti ibunya,” terdengar suara lelaki dari dalam.
“Ya,” suara suamiku terdengar.
Mengapa suamiku tidak menghubungiku kalau ada temannya melahirkan? Kalau toh berbelanjanya nanti sore, aku tidak akan keberatan. Bahkan aku mau memilihkan kado untuknya. Atau, setidaknya aku masuk dalam lingkaran teman-teman suamiku.
Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Bagaimana jika suamiku tahu aku ada di sini?
Ketika itulah sapaan seseorang tiba-tiba mengejutkanku.
“Chaterine? Kamu di sini?”
“Bobby?” melihat kehadiran sahabat suamiku di situ, sungguh membuatku merasa gundah.
“Suamimu sudah bercerita tentang apa yang terjadi?”
“Bercerita apa?” kukira ekspresi mukaku tidak dapat menyembunyikan ketidaktahuanku.
“Dia tidak bercerita?”
Aku menggeleng.
“Bahkan dia tidak tahu kalau aku ada di sini,” kataku setengah berbisik, “Aku harus pergi.”
Aku melangkahkan kakiku diiringi pandangan mata Bobby. Tapi, rupanya Bobby segera masuk ke ruangan dan memberi tahu suamiku, karena itu aku mendengar ada suara memanggil namaku.
“Chaterine!” teriak suamiku.
Aku menghentikan langkahku. Suamiku menuju ke arahku dan aku bingung bagaimana harus bersikap.
Aku membalikkan badan dan berkata, “Aku ketinggalan dompetku. Jadi, aku melihatmu...” tapi belum selesai kalimatku itu, dia telah berada di depanku dan tiba-tiba memelukku. Lagi-lagi air matanya meleleh dalam diam. Air mata itu untuk dirinya sendiri, aku merasakan sebagian tetesannya membasahi pundakku.
“Aku ingin mengatakan sesuatu,” katanya.
“Katakan, Say.”
Tangannya menggandeng tanganku. Dingin dan basah.
Taman dan bunga-bunga, bau bayi, suara dentingan mainan anak-anak, dan air mancur di taman menjadi saksiku.
“Sembilan bulan lalu waktu aku ke Eropa, aku melakukan kesalahan,” kata suamiku memulai pembicaraan, “Aku melakukan kesalahan yang tidak seharusnya dilakukan oleh lelaki manapun, termasuk diriku. Seharusnya aku tidak boleh pergi bersama sekretarisku. Seharusnya aku pergi bersamamu,” dia menarik nafas panjangnya.
Sekarang aku tahu, nafas panjang itu adalah nafas beban. Beban berat yang selama ini tersembunyi di balik air matanya.
“Aku hanya melakukannya sekali saja. Tapi, itu kesalahan. Aku tahu, itu salahku.”
Jadi, selama ini dia menarik nafas panjangnya dan menyimpan air matanya. Dan air mata itu adalah karena ini. Ia telah menghamili seseorang?
“Jadi, kamu ke Jogja untuk melihat anakmu,” kataku lirih menahan gejolak perasaanku.
Dia mengangguk.
Aku terdiam. Air mataku meleleh, seperti lilin meleleh karena api. Tangannya menggenggam tanganku, tapi ingin rasanya kucampakkan.
Pria laknat. Teganya kamu mengkhianatiku, tidur dengan sekretarismu. Sekali katamu? Tidak mungkin. Tidak mungkin kamu melakukannya hanya sekali, kamu di sana selama lima belas hari.
Aku ingin mencampakkannya, membuangnya, menguburnya hidup-hidup, menginjaknya.
“Aku tahu saat ini akan terjadi. Aku telah merasa terhukum beberapa bulan ini. Aku rela kaucerai, tapi aku mencintaimu. Aku ingin bersamamu hingga kita tua. Itu sebuah kecelakaan yang tidak kuharapkan.”
Kecelakaan? Pria gombal. Semua pria di seluruh dunia ini gombal.
Tiba-tiba saja semua bau itu, semua suara itu, dan semua bunga yang kulihat membuatku merasa muak. Dunia ini telah memusuhiku.
Suamiku menatapku. Kini air matanya dibagikan juga untukku. Dia akan memelukku, tapi aku menampiknya.
“Aku pulang,” kataku.
***
Sesampainya di Jakarta, mawar layu itu kutatap begitu lama. Dia menjadi saksi dan bukti cinta kami. Perasaan hatiku mulai tenang dan berubah. Bagaimana kalau perempuan itu merayunya. Mungkin suamiku benar, perempuan itu merayu dan mereka melakukan sekali saja lalu hamil? Bagaimana kalau perempuan itu memang sengaja menjebak suamiku? Bukankah dia tampan, kaya, dan berkedudukan? Bukankah hatinya begitu lembut dan baik? Ya, perempuan itu telah merebut suamiku dengan cara memberinya anak.
Aku tidak boleh kalah. Aku ingin menjadikan anak itu sebagai anakku. Akan kurebut dia dari tangan ibunya. Aku membulatkan tekad. Mereka berdua harus menjadi milikku, akan kucampakkan perempuan itu.
Jadi, kuhubungi segera suamiku, “Halo, Say. Aku ingin bicara,” kataku di telepon, “Kalau anak itu kita bawa ke Jakarta dan menjadi anak kita, apa kau keberatan?”
“Kamu sungguh-sungguh?” katanya dengan nada keheranan bercampur kegembiraan.
“Ya, pulanglah ke Jakarta, aku akan menyiapkan kamar bayi untuk kita.”
Beberapa jam kemudian suamiku mengabarkan kalau dirinya sudah berada di pesawat, ia membawa seorang bayi. Anaknya, bukan anakku, tapi akan menjadi anak kami.
Dia mengatakan kepada ibu bayi itu bahwa dia boleh melihatnya kapanpun, meskipun sang ibu menangis dan menolak, tetap saja suamiku meninggalkannya dan mengisi tiga ratus juta di rekening perempuan itu.
Anak yang ingin kujadikan sebagai anak kami akan tiba. Perasaanku bercampur antara sedih, marah, cinta, benci, dan gembira.
Beberapa jam telah berlalu dan telepon bernyanyi. Nyanyian telepon itulah yang kutunggu dari tadi. Tapi, yang kulihat adalah nama Bobby yang muncul di sana.
“Kamu lihat tivi?”
“Kenapa?”
“Ada pesawat jatuh.”
Aku memindah tivi ke chanel berita, menyaksikan sebuah pesawat yang telah habis terbakar. Lalu presenter manampilkan daftar nama korban. Aku melihat nama suamiku di sana.
Tiba-tiba saja semua bayang-bayang memudar, melayang, menguap. Tak ada lagi suara, tak ada lagi rasa. Semua begitu gelap. Dan di dalam kegelapan yang dalam itu aku terdiam.
Kesadaranku terjaga ketika semua prosesi pemakaman telah usai. Ketika tanah telah memeluk kekasihku di dalamnya, merebutnya dariku, kuletakkan mawar layu itu di atasnya. (Sigit di Jakarta, Januari 2008).
Sebenernya Cerpen ini mau kukirimkan ke Majalah atau Koran, tapi bingung, mau dikirim ke mana. Ya Sudah... terbitkan saja di sini.
Rabu, 07 Mei 2008
Diari Jakarta
Diari Mini Sigit Setyawan
Jakarta, 16 April 2008
Klakson berbunyi, orang-orang marah. Waktu itu aku berada di dekat Slipi Jaya. Eh, ternyata ada seorang bapak pengendara sepeda motor jatuh di depan sebuah taksi. Bapak itu membawa bawaan berat di motornya, seperti karung-karung.
Satu orang yang membantunya berdiri, yaitu seorang petugas pengatur lalu lintas (DLLAJR). Nah, mobil yang lain meraung-raung dengan suara nyaring klaksonnya berteriak, seolah bapak yang jatuh itu melakukan kejahatan.
Dasar kota besar.
Tenggang rasa sudah mati.
Jakarta, 18 April 2008
Anakku dirawat di rumah sakit karena demam berdarah Dengue. Ini untuk kedua kalinya, setelah bulan lalu dirawat karena penyakit yang sama. Waktu masuk, trombosit 144 ribu, lalu kemarin 128 ribu. Ya Tuhan, turun lagi?
Nah, ketika dokter datang, dia tanya, sekarang berapa? “50 Dok,” katanya. Saya terkejut, lemas. Untunglah ada seorang dokter junior yang sedang belajar untuk praktik (KOAS) bilang, “150 dok”. Gawat! 150 ditulis 50. Gawat dan bahaya sekali...
Akhirnya kutulis di lembar evaluasi Rumah Sakit: lain kali hati-hati....
Jakarta, 6 Mei 2008
Hujan.
Hujan?
Ya Hujan.
Di bualan Mei?
Ya.
Global warming?
Entahlah.
Waktu saya kecil, kakek saya bilang kalau April itu singkatan dari Ana udan, tapi Pral-Pril (Ada hujan tapi kadang ada kadang tidak). Jadi, Mei biasanya tidak hujan. Namun, Mei sekarang seperti November, dan Februari seperti Desember.
Parahnya lagi, di Jakarta sampah memenuhi selokan dan sungai. Itu membuat banyak sumbatan dan banjir. Kalau tidak banjir, sungai akan bau sampah nan busuk.
2 Februari lalu saya kebanjiran. Komputer saya terendam air banjir. Rupanya, itu baru permulaan penderitaan. Selanjutnya: tempat tidur harus diganti, komputer tidak lagi bisa dipakai, bau busuk dan jamur tumbuh bagai benalu di mana-mana...
Sampah. Nyampah. Sungai dan Selokan. Bukan cuma sampah domestik (rumah tangga) tapi juga sampah kata-kata. Di jalan sampai di selokan.
Banyak ruang untuk berdosa. Sedikit ruang untuk berdoa.
Tapi, kepada siapa?
Jakarta, 16 April 2008
Klakson berbunyi, orang-orang marah. Waktu itu aku berada di dekat Slipi Jaya. Eh, ternyata ada seorang bapak pengendara sepeda motor jatuh di depan sebuah taksi. Bapak itu membawa bawaan berat di motornya, seperti karung-karung.
Satu orang yang membantunya berdiri, yaitu seorang petugas pengatur lalu lintas (DLLAJR). Nah, mobil yang lain meraung-raung dengan suara nyaring klaksonnya berteriak, seolah bapak yang jatuh itu melakukan kejahatan.
Dasar kota besar.
Tenggang rasa sudah mati.
Jakarta, 18 April 2008
Anakku dirawat di rumah sakit karena demam berdarah Dengue. Ini untuk kedua kalinya, setelah bulan lalu dirawat karena penyakit yang sama. Waktu masuk, trombosit 144 ribu, lalu kemarin 128 ribu. Ya Tuhan, turun lagi?
Nah, ketika dokter datang, dia tanya, sekarang berapa? “50 Dok,” katanya. Saya terkejut, lemas. Untunglah ada seorang dokter junior yang sedang belajar untuk praktik (KOAS) bilang, “150 dok”. Gawat! 150 ditulis 50. Gawat dan bahaya sekali...
Akhirnya kutulis di lembar evaluasi Rumah Sakit: lain kali hati-hati....
Jakarta, 6 Mei 2008
Hujan.
Hujan?
Ya Hujan.
Di bualan Mei?
Ya.
Global warming?
Entahlah.
Waktu saya kecil, kakek saya bilang kalau April itu singkatan dari Ana udan, tapi Pral-Pril (Ada hujan tapi kadang ada kadang tidak). Jadi, Mei biasanya tidak hujan. Namun, Mei sekarang seperti November, dan Februari seperti Desember.
Parahnya lagi, di Jakarta sampah memenuhi selokan dan sungai. Itu membuat banyak sumbatan dan banjir. Kalau tidak banjir, sungai akan bau sampah nan busuk.
2 Februari lalu saya kebanjiran. Komputer saya terendam air banjir. Rupanya, itu baru permulaan penderitaan. Selanjutnya: tempat tidur harus diganti, komputer tidak lagi bisa dipakai, bau busuk dan jamur tumbuh bagai benalu di mana-mana...
Sampah. Nyampah. Sungai dan Selokan. Bukan cuma sampah domestik (rumah tangga) tapi juga sampah kata-kata. Di jalan sampai di selokan.
Banyak ruang untuk berdosa. Sedikit ruang untuk berdoa.
Tapi, kepada siapa?
Langganan:
Postingan (Atom)