Aku, digital imigrant Indonesia
Anakku mungkin akan mengerutkan dahi kalau dengar ceritaku tentang masa lalu. Jadi, ini kutulis agar anak-anak zaman ini, yang oleh Marc Prensky disebut sebagai digital native, memahami masa lalu orangtuanya.
Waktu itu 1988, aku duduk di bangku SMP kelas 7. Sebuah surat cinta kutulis di atas kertas yang kuning nan wangi. Temankulah yang memberikannya kepada cewek itu, soalnya aku nggak berani. Maklum, cinta monyet. Dua hari kemudian, sebuah surat penolakan yang cukup panjang kuterima. Ah, kesal sekali rasanya. Surat penolakan cinta yang pertama itupun kusobek-sobek.
Menulis dengan tangan, panjang lebar, sudah biasa. Memilih kertas wangi untuk merayu, menjadi keasyikan tersendiri. Mau bagaimana lagi, memang begitulah lumrahnya. Namun, tahun 1994, waktu masuk kuliah, ceritanya agak lain. Berbeda dengan pengalaman di SMP nan wangi dan ditulis tangan, kali ini semua harus ditulis dengan mesin ketik. Mesin ketik adalah syarat mutlak bagi lancarnya kuliah, soalnya makalah dan tugas-tugas musti pakai mesin tik, nggak boleh ditulis tangan.
Memang waktu itu komputer sudah cukup banyak. Aku pun beruntung karena bersekolah di SMA yang terbilang bagus yang sudah ada lab komputernya. Waktu itu, layar komputer tuh warnanya hitam, tulisannya ijo. Lalu, keluar yang baru, layar hitam, tulisannya putih. Kalau mau ngetik, ada program chiwriter yang bisa masuk ke disket gede, gunanya untuk ngetik, nulis. Lalu, muncul program wordstar yang lebih “canggih” bersama dengan populernya disket kecil. OS Windows belum ada, mouse juga belum ada. Jadi masih pakai sistem kontrol+b untuk tebal, kontrol +i biar hurufnya miring. Celakanya, semua ketahuan benar atau salah waktu udah diprint.
Harga komputer mahal banget. Sebagai mahasiswa miskin, aku cuma bisa beli mesin tik yang harganya enam puluh ribu. Pilihan lain adalah ke rental komputer, jadi bisa bawa disket (waktu itu nggak ada USB), lalu data disimpan di disket.
Di sekitar tahun 1994 kerasa banget kalau komputer mulai menjamur, rental-rental komputer dan warnet-warnet di Jogja muncul di mana-mana. Yang "gila", warnet-warnet itu sampai di tingkat RT. Aku minta diajarin temenku, apa sih internet? Lalu aku bikin akun e-mail untuk pertama kalinya. Masalahnya, temenku kan juga nggak banyak yang punya e-mail, jadi sebenernya waktu itu cuma ingin tahu. Lagian, waktu itu kalau yang namanya punya e-mail tuh keren. Jadi, apa alamat e-mailmu? Adalah pertanyaan yang gaul. Begitulah, aku ingat waktu teman-teman punya e-mail, aku bisa berkirim e-mail ke temanku.
Setelah e-mail jadi jamak dan hal lumrah, sekitar 97an sampai 99an itu, chatting di internet menjamur dan banyak yang kecanduan. Teman-temanku hampir tiap hari chatting di internet. Padahal, nama atau identitas di chatting itu kan bisa asal dan bahkan kita nggak ngerti yang kita ajak ngobrol itu siapa. Jadi cuman gini…
Gits> kamu di mana?
Djoes> di jogja….
*
Pada tahun-tahun itu (sekitar tahun 97-98) hape mulai dikenal. Yang paling kuingat, dulu ada yang namanya AMPS, yaitu kayak hape tapi cuman bisa nerima doang. Temenku punya, tapi kalau ditelepon suaranya berisik seperti walkie-talkie. Lalu, hape gsm mulai bermunculan. Waktu itu temanku punya hape yang layarnya cuman bisa buat satu line text. Nggak banyak mahasiswa punya hape soalnya, untuk dapat nomor hp waktu itu musti antre dan harganya kalau nggak salah sampai 600an ribu (waktu itu dolar nggak nyampe berkisar Rp 2.450-an, nasi plus lauk lele goreng sekitar Rp 900). Untuk bisa punya nomor hape, hmmm mahal….jadi musti agak kaya gitu lah.
Jadi, alamat e-mail dan no hape adalah hal keren, status sosial: gaul, tajir.
Di tahun itu pula aku suka fotografi. Jadi, kalau belajar memotret, musti catat diafragma-nya berapa di frame nomer berapa, lalu kecepatannya berapa. Masalahnya, kita musti nunggu sampai film-nya habis. Bisa seminggu, bahkan sebulan agar bisa ngeluarin klise dari kamera, lalu klise itu dicuci. Ada yang 24 dan 36 frame negative film. Muridku hari ini (tahun 2011) nggak ngerti apa itu klise dan apa itu afdruk foto. Dulu, di sekitar kampus di Jogja banyak tuh kios afdruk foto hitam putih. Kiosnya kecil ada tulisan “Afdruk Foto” lalu ada yang khas: lampu petromaks buat mempercepat proses pengeringan foto. Jadi aku musti menjelaskan kalau yang namanya klise atau negative film itu perlu diafdruk atau dicetak dan hasilnya adalah foto.
Ada yang menarik dari kisah memakai kamera dengan rol film itu. Dulu aku dan beberapa teman naik gunung Sumbing di Temanggung. Udah foto-foto tuh, gaya banget. Temenku (laki-laki) telanjang dada dan bergaya di atas gunung yang super dingin. Tragisnya, sesampainya di rumah ketahuan kalau rol filmnnya tuh nggak nyantol di tuas menggerak alias masangnya nggak bener. Jadi, kita udah ngira foto-fotonya keren habis…. Alamak, ternyata hangus semua. Kini Cuma tertiggal kenangan di otak saja.
Migrasi
Remaja sekarang mungkin nggak bakal menggunakan kertas warna kuning nan wangi untuk melamar kekasih hatinya agar jadi pacarnya. Jadi, mungkin para cewek juga tidak terbiasa menikmati “gombal” sang cowok lewat kata-kata berbunga-bunga nan puitis. Komputer juga sudah bukan teknologi heboh lagi, melainkan sudah merupakan bagian dari hidup. Itu sama seperti lampu neon lah, nggak ada yang istimewa. Dulu waktu lampu neon ditemukan, heboh banget, sekarang bahkan kita nggak sadar kalau itu istimewa. Sama, komputer dan foto digital juga seperti itu kan?
Jadi, mau tidak mau aku harus bermigrasi ke kebiasaan ini: dari yang serba manual dan cetak ke serba digital. Yang tadinya musti nulis surat panjang lebar, musti nulis SMS yang bahkan disingkat-singkat, misalnya “gw dh prgi ke rmh lu tp lu gk ada”.
Aku dilahirkan di era ketika semua serba tercetak, serba sabar menunggu, sekarang sadar kalau era itu telah berlalu. Aku, digital imigran Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar