Rabu, 01 September 2010
Akhlak Mulia Jangan Sebatas Teori
Sebuah sharing. Merupakan makalah di bidang evaluasi dan pengukuran. Tulisan akademik tentunya.
Hermeneutika Cicak Buaya dan Perlawanan di Ruang Publik
Cicak melawan buaya yang bergulir beberapa waktu lalu.
Aplikasi Moodle dan Desknow dalam Pendidikan
Sekedar sharing makalah yang agak serius mengenai Teknologi Informasi dalam dunia pendidikan.
Kamis, 08 Juli 2010
Kebenaran dalam Sepak Bola
Menyaksikan laga sepak bola melalui televisi membuka mata saya pada sebuah “kebenaran” di lapangan permainan. Sepak bola adalah sebuah “permainan manusia”, di dalamnya ada kesalahan dan ketidaksempurnaan. Sebagai contoh, pemain dalam posisi off side tidak dilihat oleh wasit, gol yang telah masuk dan memantul keluar dan wasit mengira memang itu bukan gol, keduanya adalah peristiwa yang dilihat “jelas” oleh kita yang berada di rumah.
Persoalannya adalah, kita di rumah melihat dengan mata kamera. Fakta itu diulang-ulang dalam gerak lambat dari berbagai sisi, sementara para wasit melihat dari mata mereka dalam sudut yang terbatas.
Ada wacana untuk menggunakan teknologi, sehingga keputusan wasit menjadi akurat. Namun, apa makna dari akurat itu?
Jika wasit menggunakan teknologi dan “kebenaran” yang sebenar-benarnya menjadi acuan, maka sepak bola menjadi kehilangan makna kemanusiaannya. Terlihat jelas bahwa paradigma bermain bola adalah semata-mata untuk sebuah kemenangan. Hal seperti itu adalah sebuah kemunduran bagi sepak bola karena keindahan permainan menjadi hilang.
Kemunduran itu muncul dari permainan beberapa kesebelasan yang bermain sangat pragmatis, yaitu bermain untuk menang. Hal itu mengingatkan saya pada belajar hanya untuk nilai. Saya juga teringat ada siswa yang bermain tidak untuk having fun, tetapi semata-mata untuk sebuah kompetisi. Betapa ruginya kita sebagai manusia telah gagal melihat keindahan dari sebuah kompetisi.
Itu semua membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang rapuh yang takut untuk gagal. Padahal, bukan hanya berhasil atau gagal sehingga seseorang akan diingat dalam sejarah, melainkan juga karena karakter dan bagaimana mereka melakukan semuanya dengan hati dan keindahan. (Sigit Setyawan)
Persoalannya adalah, kita di rumah melihat dengan mata kamera. Fakta itu diulang-ulang dalam gerak lambat dari berbagai sisi, sementara para wasit melihat dari mata mereka dalam sudut yang terbatas.
Ada wacana untuk menggunakan teknologi, sehingga keputusan wasit menjadi akurat. Namun, apa makna dari akurat itu?
Jika wasit menggunakan teknologi dan “kebenaran” yang sebenar-benarnya menjadi acuan, maka sepak bola menjadi kehilangan makna kemanusiaannya. Terlihat jelas bahwa paradigma bermain bola adalah semata-mata untuk sebuah kemenangan. Hal seperti itu adalah sebuah kemunduran bagi sepak bola karena keindahan permainan menjadi hilang.
Kemunduran itu muncul dari permainan beberapa kesebelasan yang bermain sangat pragmatis, yaitu bermain untuk menang. Hal itu mengingatkan saya pada belajar hanya untuk nilai. Saya juga teringat ada siswa yang bermain tidak untuk having fun, tetapi semata-mata untuk sebuah kompetisi. Betapa ruginya kita sebagai manusia telah gagal melihat keindahan dari sebuah kompetisi.
Itu semua membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang rapuh yang takut untuk gagal. Padahal, bukan hanya berhasil atau gagal sehingga seseorang akan diingat dalam sejarah, melainkan juga karena karakter dan bagaimana mereka melakukan semuanya dengan hati dan keindahan. (Sigit Setyawan)
Selasa, 08 Juni 2010
Luar Biasa
Puisi Sigit Setyawan
Kupandangi gedung tinggi
rumah tinggal di langit
mewah, agung, kejayaan
luar biasa pembangunan negeri ini
Kuamati mobil mewah
orang-orang gagah
luar biasa kayanya
Kudengar radio pagi ini
pejabat dan ahli kenyang berteori
merancang sejahteranya semua orang
kelak kemudian hari
luar biasa pintarnya mereka
Sambil aku kagum
aku bersyukur dalam hati
karena masih ada sisa roti
di tong sampah itu
pagi ini
Jakarta Metropolitan, Juni 2010
Kupandangi gedung tinggi
rumah tinggal di langit
mewah, agung, kejayaan
luar biasa pembangunan negeri ini
Kuamati mobil mewah
orang-orang gagah
luar biasa kayanya
Kudengar radio pagi ini
pejabat dan ahli kenyang berteori
merancang sejahteranya semua orang
kelak kemudian hari
luar biasa pintarnya mereka
Sambil aku kagum
aku bersyukur dalam hati
karena masih ada sisa roti
di tong sampah itu
pagi ini
Jakarta Metropolitan, Juni 2010
Jumat, 02 April 2010
Hidup ini Adil
Puisi Sigit Setyawan
Adil jika kita binasa, sebab kita tak layak hidup
sejak Adam memakan buah terlarang di taman Eden.
Tapi justru Sang Pencipta mencintai manusia yang telah melanggar
jelas-jelas perintahNya.
Jika aku adalah Dia, maka kuhapus saja. Untuk apa menciptakan sesuatu
tapi seenaknya melanggar perintah? Robot tak mau kerja dimusnahkan,
pot yang mencong dihancurkan, salah tulis dihapus.
Oh, itu bukti kalau yang diciptakan adalah: manusia.
Adil, jika manusia dimatikan saja. Tapi ternyata dicintaiNya juga.
Lalu, seorang tanpa tangan dan kaki melangkah depan kamera dan berkata,
hidup ini sungguh indah kawan, lihatlah, kita hidup!
Lalu, orang di pinggir jalan yang tadinya mengeluh karena mengorek sampah
hanya demi mengganjal perut berkata, benar juga.
Lalu, seorang remaja yang mau bunuh diri karena ditolak pujaan hati
mengurungkan niatnya.
Lalu, seorang yang sakit kanker tersenyum. Ia yang tadinya melihat kalau
hidupnya tinggal sebentar lagi, berubah melihat bahwa hidupnya ternyata
sudah lebih lama dari prediksi dokter menuju kematiannya.
Lalu, seorang yang dari kemarin iri melihat kekayaan tetangganya,
berkaca di depan cermin dan berkata,
apalah artinya, toh aku masih hidup juga.
Dikasih hati merogoh ampela,
dikasih hidup meminta kenikmatan
dikasih uang meminta korupsi
dikasih istri meminta selingkuh
dikasih kenikmatan meminta ekstasi
Lalu, ketika semua tak sesuai keinginan, yang dikasih itu
mencaci maki Penciptanya
yang seharusnya
telah membunuh ciptaan itu
sejak dahulu kala.
Awal April 2010
Adil jika kita binasa, sebab kita tak layak hidup
sejak Adam memakan buah terlarang di taman Eden.
Tapi justru Sang Pencipta mencintai manusia yang telah melanggar
jelas-jelas perintahNya.
Jika aku adalah Dia, maka kuhapus saja. Untuk apa menciptakan sesuatu
tapi seenaknya melanggar perintah? Robot tak mau kerja dimusnahkan,
pot yang mencong dihancurkan, salah tulis dihapus.
Oh, itu bukti kalau yang diciptakan adalah: manusia.
Adil, jika manusia dimatikan saja. Tapi ternyata dicintaiNya juga.
Lalu, seorang tanpa tangan dan kaki melangkah depan kamera dan berkata,
hidup ini sungguh indah kawan, lihatlah, kita hidup!
Lalu, orang di pinggir jalan yang tadinya mengeluh karena mengorek sampah
hanya demi mengganjal perut berkata, benar juga.
Lalu, seorang remaja yang mau bunuh diri karena ditolak pujaan hati
mengurungkan niatnya.
Lalu, seorang yang sakit kanker tersenyum. Ia yang tadinya melihat kalau
hidupnya tinggal sebentar lagi, berubah melihat bahwa hidupnya ternyata
sudah lebih lama dari prediksi dokter menuju kematiannya.
Lalu, seorang yang dari kemarin iri melihat kekayaan tetangganya,
berkaca di depan cermin dan berkata,
apalah artinya, toh aku masih hidup juga.
Dikasih hati merogoh ampela,
dikasih hidup meminta kenikmatan
dikasih uang meminta korupsi
dikasih istri meminta selingkuh
dikasih kenikmatan meminta ekstasi
Lalu, ketika semua tak sesuai keinginan, yang dikasih itu
mencaci maki Penciptanya
yang seharusnya
telah membunuh ciptaan itu
sejak dahulu kala.
Awal April 2010
Senin, 08 Maret 2010
Puisi dalam UN: Soal Objektif yang Sangat Subjektif
Izinkan saya menginterpretasikan puisi berikut ini.
Lentera Hati
(Puisi Desi Yunita)
Bening kristal
Lentera hati
Kala deras rinai hujan
Kelabu menutup langit
Percikan laut
Selaksa peristiwa hilir mudik
Di dasar relungku
Ketika cakrawala menyentuh langit
Dalam dentingan waktu menghiba
Aku bosan
Menebar asa binasa
Dalam kejam dunia
(Diambil dari Soal UN Bahasa Indonesia SMA 2008/2009)
Puisi ditutup dengan pernyataan yang merupakan pernyataan akhir si aku dalam puisi “Aku bosan/Menebar asa binasa/Dalam kejam dunia”. Jika diparafrasekan akan berbunyi “Aku (telah) bosan (untuk) (menyebarkan keinginan) untuk (mati) dalam dunia yang kejam.” Jadi, si aku dalam puisi merasa tidak lagi ingin mati karena kejamnya dunia.
Mengapa dia “tidak jadi ingin mati”? Jawabannya ada di bait kedua dan pertama.
Di bait kedua, “Ketika cakrawala menyentuh langit” (ketika dia melihat jauh di tepi pantai, tatapannya ke arah cakrawala)/ “Dalam dentingan waktu menghiba” (ketika dia memikirkan tentang kesedihannya), dia mendengar suara deru ombak yang digambarkan pengarang sebagai “Percikan laut” yang mengingatkan dirinya tentang peristiwa yang terjadi di dalam kehidupannya yang sedang dipikirkannya di dalam lubuk hatinya (“Di dasar relungku”). Apakah itu membuatnya ingin mati? Tidak.
Di bait pertama, “Kala derai rinai hujan/ Kelabu menutup langit” yang jika diartikan dalam lapis makna pertama, “Saat itu sedang hujan dan langit sangat mendung”, si aku menemukan sesuatu yang sangat kontras, yaitu “Bening kristal/ Lentera hati”. Sesuatu yang kontras terlihat di sini, yaitu di tengah derai hujan turun dan langit mendung, dia seperti menemukan “pencerahan”. Jadi, “Bening kristal/ Lentera hati” itu adalah suatu pencerahan yang dialami si aku di dalam puisi yang sedang terpuruk dalam kesedihan. Si aku ini tiba-tiba merasa menemukan sesuatu yang sangat “bening” yang dapat menuntun dia ke arah lain dalam kehidupannya. Sesuatu yang bening itu adalah “Lentera hati”, yaitu sesuatu ilham yang menerangi hatinya.
Sungguh sayang, di UN SMA 2008/2009 lalu ada soal seperti ini…
No. 23
Makna lambang kata bening Kristal pada puisi tersebut adalah
A. Kekecewaan
B. Kesedihan
C. Kemarahan
D. Kebosanan
E. Kekejaman
Buat saya, bening kristal adalah sebuah kontras, sebuah penemuan, sebuah pencerahan. Jawaban A s.d. E sama sekali tidak masuk akal.
No. 24
Maksud isi puisi tersebut adalah…
A. Seseorang yang telah merasa bosan hidup di dunia.
B. Seseorang yang dendam karena berbagai persoalan dalam hidup.
C. Seseorang yang berada dalam kesedihan dan keputusasaan.
D. Kekelaman dan selaksa peristiwa yang silih berganti.
E. Suasana bosan menghadapi kelamnya dunia.
Buat saya, jawaban A s.d. E sama sekali tidak mewakili maksud maupun isi. Selain “maksud” maupun “isi” itu perkara berbeda, jawaban di atas sama sekali tidak masuk dalam intrepretasi saya.
Puisi Diobjektifkan?
Puisi ingin diukur dengan A, B, C, D, dan E? Sungguh tidak dapat dimengerti dari sisi teori pengkajian puisi manapun. Jadi, terlepas dari pro dan kontra UN diadakan atau tidak, nasib ratusan ribu bahkan jutaan siswa disandarkan pada soal yang menurut saya tidak valid sebagai sebuah soal yang objektif. Semoga di tahun-tahun mendatang, soal Objektif hanya untuk hal-hal yang objektif saja. (Sigit, alumnus Fakultas Sastra UGM)
Lentera Hati
(Puisi Desi Yunita)
Bening kristal
Lentera hati
Kala deras rinai hujan
Kelabu menutup langit
Percikan laut
Selaksa peristiwa hilir mudik
Di dasar relungku
Ketika cakrawala menyentuh langit
Dalam dentingan waktu menghiba
Aku bosan
Menebar asa binasa
Dalam kejam dunia
(Diambil dari Soal UN Bahasa Indonesia SMA 2008/2009)
Puisi ditutup dengan pernyataan yang merupakan pernyataan akhir si aku dalam puisi “Aku bosan/Menebar asa binasa/Dalam kejam dunia”. Jika diparafrasekan akan berbunyi “Aku (telah) bosan (untuk) (menyebarkan keinginan) untuk (mati) dalam dunia yang kejam.” Jadi, si aku dalam puisi merasa tidak lagi ingin mati karena kejamnya dunia.
Mengapa dia “tidak jadi ingin mati”? Jawabannya ada di bait kedua dan pertama.
Di bait kedua, “Ketika cakrawala menyentuh langit” (ketika dia melihat jauh di tepi pantai, tatapannya ke arah cakrawala)/ “Dalam dentingan waktu menghiba” (ketika dia memikirkan tentang kesedihannya), dia mendengar suara deru ombak yang digambarkan pengarang sebagai “Percikan laut” yang mengingatkan dirinya tentang peristiwa yang terjadi di dalam kehidupannya yang sedang dipikirkannya di dalam lubuk hatinya (“Di dasar relungku”). Apakah itu membuatnya ingin mati? Tidak.
Di bait pertama, “Kala derai rinai hujan/ Kelabu menutup langit” yang jika diartikan dalam lapis makna pertama, “Saat itu sedang hujan dan langit sangat mendung”, si aku menemukan sesuatu yang sangat kontras, yaitu “Bening kristal/ Lentera hati”. Sesuatu yang kontras terlihat di sini, yaitu di tengah derai hujan turun dan langit mendung, dia seperti menemukan “pencerahan”. Jadi, “Bening kristal/ Lentera hati” itu adalah suatu pencerahan yang dialami si aku di dalam puisi yang sedang terpuruk dalam kesedihan. Si aku ini tiba-tiba merasa menemukan sesuatu yang sangat “bening” yang dapat menuntun dia ke arah lain dalam kehidupannya. Sesuatu yang bening itu adalah “Lentera hati”, yaitu sesuatu ilham yang menerangi hatinya.
Sungguh sayang, di UN SMA 2008/2009 lalu ada soal seperti ini…
No. 23
Makna lambang kata bening Kristal pada puisi tersebut adalah
A. Kekecewaan
B. Kesedihan
C. Kemarahan
D. Kebosanan
E. Kekejaman
Buat saya, bening kristal adalah sebuah kontras, sebuah penemuan, sebuah pencerahan. Jawaban A s.d. E sama sekali tidak masuk akal.
No. 24
Maksud isi puisi tersebut adalah…
A. Seseorang yang telah merasa bosan hidup di dunia.
B. Seseorang yang dendam karena berbagai persoalan dalam hidup.
C. Seseorang yang berada dalam kesedihan dan keputusasaan.
D. Kekelaman dan selaksa peristiwa yang silih berganti.
E. Suasana bosan menghadapi kelamnya dunia.
Buat saya, jawaban A s.d. E sama sekali tidak mewakili maksud maupun isi. Selain “maksud” maupun “isi” itu perkara berbeda, jawaban di atas sama sekali tidak masuk dalam intrepretasi saya.
Puisi Diobjektifkan?
Puisi ingin diukur dengan A, B, C, D, dan E? Sungguh tidak dapat dimengerti dari sisi teori pengkajian puisi manapun. Jadi, terlepas dari pro dan kontra UN diadakan atau tidak, nasib ratusan ribu bahkan jutaan siswa disandarkan pada soal yang menurut saya tidak valid sebagai sebuah soal yang objektif. Semoga di tahun-tahun mendatang, soal Objektif hanya untuk hal-hal yang objektif saja. (Sigit, alumnus Fakultas Sastra UGM)
Langganan:
Postingan (Atom)