Ujian Nasional SD tak terelakkan, demikian pula dengan penambahan mata pelajaran dalam UN di tingkat SMP dan SMA. Lupakan proses kreatif dan inovatif di dalam kelas. Lupakan pula impian untuk mengalahkan negara-negara lain dalam hal sumber daya manusia, kita sedang akan menghadapi Ujian Nasional.
Meskipun UN ditentang, ditolak, dan dikritik pelaksanaannya, toh ketika para siswanya lulus seratus persen, sekolah akan bangga dengan “prestasi” kelulusan para siswanya itu. Guru-gurunya bangga, sekolahnya bangga, dan orangtua siswa akan berbondong-bondong menyekolahkan anaknya ke sekolah itu dengan alasan siswanya lulus seratus persen. Seringkali, itu pula yang dijadikan sebagai “iklan” sekolah kepada masyarakat.
Pemerintah pun demikian. Dari tahun ke tahun meningkatkan standar nilai yang lebih tinggi. Sehingga, menurut logika pemerintah, semakin tinggi standar nilai kelulusannya semakin tinggi pula kualitas orang Indonesia.
Memang benar jika standar semakin tinggi, maka kemungkinan lulusan semakin pandai. Tetapi, pandai dalam hal apa? Apakah dalam hal critical and analytical thinking skills ataukah dalam hal menjawab soal pilihan ganda?
Tantangan global yang menghadang para siswa kita ke depan setidak-tidaknya ada dua hal penting. Yang pertama adalah persoalan persaingan teknologi. Kita membutuhkan siswa yang nantinya dapat bersaing dalam hal penguasaan dan inovasi teknologi. Jika berhadapan dengan bangsa lain, siswa kita nantinya harus memiliki kapabilitas untuk lebih inovatif dan kreatif. Persoalan lain adalah masalah penguasaan pasar global. Idealnya, nantinya kelas-kelas kita melahirkan para siswa yang mampu bernegosiasi dan berstrategi dalam hal perdagangan atau industri di tataran global. Atau, minimal regional. Dalam hal ini siswa harus memiliki kepekaan sosial dan budaya yang tinggi, kreativitas dan keuletan. Pertanyaannya, apakah kelas kita sudah demikian?
Yang kedua adalah persoalan pengembangan sumber daya alam. Kita kaya akan pertambangan, hutan, dan pertanian yang saat ini menuju ke kehancuran. Padahal, sesungguhnya itulah kekuatan kita. Apa yang telah terjadi di kelas kita, tidakkah para siswa belajar tentang hal itu? Idealnya di masa depan para siswa kita mampu mengambil langkah-langkah berani menyelamatkan sumber daya alam kita, bahkan secara terampil mengolahnya. Apakah kelas kita sudah menyiapkan hal yang demikian?
Pertanyaannyaa lain yang tak kalah penting adalah apakah UN menyiapkan siswa kita untuk menghadapi tantangan di atas?
Kenyataannya tidak. UN justru menjadi momok bagi siswa, orangtua, dan guru. Hal itu karena kurikulumnya dengan ujiannya berbeda. Darmaningtyas pernah mengatakan bahwa pendidikan kita ini kurikulumnya ke selatan, sedangkan model evaluasinya ke utara (Kompas, 18 Oktober 2007). Jadi, UN bukanlah ujung dari kurikulum itu. Hasilnya, UN menjadi sebuah tes khusus dari pemerintah yang harus disiapkan secara khusus pula. Jadilah para guru menyusun drill soal, membuat rumus-rumus pendek, dan mengakali bagaimana agar soal pilihan ganda itu dapat disiasati. Kelas jadi penuh siasat dan hafalan.
Kita butuh UN yang bermutu. Sebuah ujian yang merangsang kegiatan kelas agar lebih dinamis dan kreatif. Sesungguhnya modalnya sudah ada, yuitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu. Sayangnya, UN-nya justru berbeda.
Ambillah contoh UN ala Australia, khususnya negara bagian New South Wales. Kebetulan penulis telah mengalami mengajarkan kurikulum tersebut hampir selama lima tahun. Sejak awal dimulai pelajaran, siswa selalu diarahkan pada outcomes atau apa yang harus dikuasai oleh siswa. Outcomes itu pasti akan keluar pada saat ujian nantinya. Hal itu membuat guru di dalam kelas mengupayakan berbagai metode untuk membantu siswanya mencapai outcomes itu. Seringkali guru harus secara kreatif menggali potensi siswa untuk mencapai outcomes itu. Di sisi lain, siswa tahu apa yang akan dihadapi di ujian nantinya. Assessment Outcomes selalu menggambarkan apa yang dipelajari di dalam kelas.
Seandainya saja UN kita didasarkan pada KTSP dan merupakan ujung dari KTSP, maka sebenarnya UN kita dapat memicu kreativitas dan memetakan kemampuan siswa secara lebih akurat. Dapat dikatakan, jika hal itu terjadi, benang merah pendidikan kita akan mulai terlihat.
Namun, toh apa yang akan terjadi nanti dalam UN kita tentunya tidak akan jauh berbeda dari UN-UN sebelumnya. Semoga saja tidak terjadi kecurangan, sehingga kisah Air Mata Guru tahun lalu tidak perlu terulang lagi. Atau, jika terjadi kecurangan lagi, semoga air mata para guru terus mengalir di seluruh nusantara, agar bangsa kita memiliki guru-guru yang terus berani menjadi pahlawan, meskipun tanpa tanda jasa. Apa boleh buat, jika UN akhirnya dilaksanakan, lagi-lagi para guru harus bersama-sama dengan para siswa menghadapinya, meskipun dengan getir.